Foto Kegiatan

Selasa, 20 Maret 2012

Stategi Penanaman Nilai Relegius


STRATEGI PENANAMAN NILAI RELEGIUS DAN HUMANISME
DALAM  PENDIDIKAN
oleh Rasmian
      A.    Pengantar
Untuk memahami masalah pedidikan akhir-akhir ini perhatikan kutipan berita berikut ini.
Tahun 2008 ditenggarai menjadi catatan buram pendidikan Indonesia. Di tahun ini pendidikan dinilai gagal mencetak output yang berkualitas . Terbukti hasil UN SLTA tahun 2008 yang diumumkan pada 14 Juni 2008 menunjukkan kurva penurunan kelulusan dibanding tahun 2007. Hampir diseluruh wilayah Indonesia, baik Jawa, Sumatra, Kalimantan, maupun wilayah lainnya, persentase kelulusannya mengalami penurunan dibanding tahun kemarin. Termasuk Yogyakarta yang selama ini menjadi rambu-rambu pendidikan Indonesia, persentase kelulusan untuk UN SLTA juga mengalami penurunan , mengapa bisa terjadi seperti itu ? ("Koran Jakarta", 26 Juni 2008).
Berdasarkan kutipan di atas dapat disimpulkan bahwa pendidikan  Indonesia sampai tahun 2008 masih menyisakan masalah besar. Bahwa Pendidikan kita masih mementingkan aspek kognitif dibandingkan aspek  lain misalnya aspek sikap peserta didik.
Hal itu terlihat dari upaya guru/ sekolah yang mengupayakan pencapaian hasil Ujian Nasional dengan berbagai cara misalnya dril soal, bersikap tidak jujur dalam ujian, dll. Dalam kasus  tersebut telah terjadi kesalahan  orientasi  dalam dunia pendidikan. Dalam hal ini,  berarti pendidikan hanya dipakai sebagai alat untuk mencari izajah bukan sebagai alat menanamkan nilai-nilai  kepada siswa.
Selain berita di atas, ada realitas lain dalam masyarakat Indonesia. Masyarakat kita saat ini masih dihapkan pada krisis moral seperti korupsi, penyalahgunaan uang negara, penyalahgunaan narkoba, tawuran antar kampong dan lain sebagainya.
Berdasarkan kenyataan-kenyataan tersebut, perlu dipertanyakan mengapa terjadi demikian. Padahal mereka yang melakukan tindak korupsi bukanlah orang yang rendah pendidikannya, mereka yang melakukan penculikan, penyalahgunaan narkotik bukanlah orang yang kurang pendidikannya. Kiranya perlu dipertanyakan mengapa hasil pendidikan kita demikian? Padahal pendidikan merupakan upaya sadar membimbimg jasmani rohani menuju terbentuknya kepribadian utama menurut ketentuan-ketentuan yang berlaku. Kepribadian utama adalah kepribadian yang sesuai   dengan nilai-nilai pendidikan. ( Solahuddin, 2011:20)
 Perlunya kesadaran menggembalikan  dunia pendidikan sebagai upaya menanamkan nilai  relegius dan humanis.

      B.     Nilai Relegius
1.      Makna Nilai Relegius
Berten (2007:   140)   menjelaskan pengertia nila melalu cara memperbandingkanny denga fakta Fakta menurutnya adalah sesuatu yang ada atau berlangsung begitu saja. Sementara nilai adalah sesuatu yang berlaku, sesuatu yang memikat atau menghimbau kita. Fakta dapat ditemui dalam konteks deskripsi semua unsurnya dapat dilukiskan satu demi satu  dan  uraian  itu  pada  prinsipnya  dapat  diterima  oleh  semua  orang.  Nilai berperanan  dalasuasana  apresiasatau  penilaian daakibatnya  sering  akan dinilai secara berbeda oleh orang banyak. Nilai selalu berkaitan dengan penilaian seseorang,   sementara  fakta  menyangkut  ciri-ciri  obyektif  saja.  
Menurut Kuntjaraningrat (1992:26) menyebutkan sisten nilai budaya terdiri dari konsepi-konsepi yang hidup dalam alam pikiran sebagian besar keluarga masyarakat, mengenai hal-hal yang harus mereka anggap bernilai dalam hidup.
Dengan demikian,  nilai adalah sesuatu yang subjektif, sesuatu yang dianggap benar, berlaku dalam kelompok masyarakat tertentu yang berkaitan dengan hak manusia sebagai individu.
Menurut  Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008:1286) relegi bermakna ‘kepercayaan akan adanya Tuhan’, sedangkan relegius bermakna  ‘taat agama’. Dasuki (2011) mendefinisikan nilai-nilai religius  sebagai sesuatu yang menempati peringkat yang sangat tinggi dalam kehidupan seorang yang beradab. Dikatakan demikian karena nilai-nilai religius berkaitan dengan kebenaran Ilahi yang bersifat absolut dan universal yang berangkat dari dan bermuara pada hak asasi manusia yang paling asasi, yaitu hubungan seseorang dengan Penciptanya.
Sesungguhnya nilai religius tidak semata berkaitan dengan kehidupan ritual keagamaan seseorang, tetapi tercermin juga dalam kehidupan sehari-hari seperti menjunjung tinggi nilai-nilai luhur tertentu, seperti kejujuran, keikhlasan, kesediaan berkorban, kesetiaan dan lain sebagainya.
Nilai-nilai religius merupakan nilai yang dapat mendorong manusia selalu dapat mengontrol kehidupannya. Sebab dengan nilai relegius seseorang akan merasa semua perbuatannya diawasi oleh Sang pencipta. Nilai ini telah terbukti menjadi motivator utama dan kuat dalam sejarah umat manusia yang hidup dimasa nabi-nabi, telah menjadi energi stimulus dan sangat kuat dalam membangun sikap dan perilaku individu manusia di zaman itu sampai zaman sekarang.


2.      Tokoh  Filsafat Relegius
a.      Al Ghozali
Abu Hamid Muhammad bin Muhammad Al Ghozali di lahirkan di Tunisia sebuah kota di Khurasan, Persia tahun 450 H atau 1058 M. Ayahnya seorang pemintal wool. Al Ghozali sejak kecil dikenal sebagai seorang anak pecinta ilmu. Di  masa kecil Al Ghozali belajar kepada Ahmad bin Muhammad Ar-Radziki tentang agama dan pengetahuan. Saat dewasa Al ghozali dikenalsebagai seorang pemikir Islam sehingga diberi gelar “hujatul  Islam”.
Pandangan  Al Ghozali tentang pengetahuan adalah bahwa pengetahuan tidak ada yang dapat memenuhi maksud hatinya kecuali hanya memuaskan  akal dan indra. Sedangkan agidah atau agama adalah alat  untuk menyucikankan jiwa serta membersihkan diri dari karat kehidupan (Sulaiman, 1986:39)
Pandangan Imam Ghozali tentang nilai relegius tertuang  dalam pendapatnya  tentang pembagian ilmu pengetahuan. Al Ghozali membagi ilmu pengtahuan menjadi  tiga yaitu ilmu pengetahuan yang secara mutlak  tercela, ilmu pengetahuan yang terpuji, dan ilmu pengetahuan yang dalam kadar tetentu terpuji ( Sulaiman, 1986 :27).
Lebih lanjut dijelaskan bahwa ilmu pengetahuan yang secara mutlak terpuji adalah pelajaran-peajaran agama dan berbagai macam ibadah. Ilmu pengetahuan tersebut dapat menyucikan jiwa, melepaskan diri dari perbuatan tercela, membantu mengetahui  kebaikan dan mengerjakannya, membantu manusia ke jalan mendekatkan diri kepada Allla SWT ( Sulaiman, 1986 :29).

3.      Pentingnya Nilai Relegius dalam  Pendidikan
Arus informasi yang semakin cepat pada awalnya diperuntukkan mengatasi hambatan komunikasi karena kendala jarak. Teknologi informasi (TI) memungkinkan komunikasi yang cepat, akurat, fleksibel dan mobil. Tak dipungkiri kegunaannya sangat bermanfaat bagi pengembangan kehidupan masyarakat. Namun dampak  negatifnya  memprihatinkan semua kalangan,  salah satu yang paling menonjol yakni berupa pornografi. Di dalam perangkat TI seperti internet,  sangat mudah kita mengakses beribu-ribu situs-situs porno. Belum lagi materi/konten porno dari sebuah Hand Phone (HP) baik bertipe gambar maupun video yang dapat beredar diantara pengguna HP dengan sangat mudah dan cepat. Jelas hal  ini sangat mempengaruhi bahkan mengikis nilai-nilai luhur di kalangan masyarakat.
Di sisi lain, tayangan-tayangan televisi, terasa sekali pihak pengelola televisi  bersikap mendua. Dalam suatu waktu  media elektronenik  menyuguhkan berbagai siaran  siraman rohani dan menawarkan nilai agama, beberapa jam kemudian menjadi ajang efektif bagi penawaran gaya hidup hedonistis yang kadang berlawanan dengan nilai-nilai agama. Bahkan di beberapa stasiun televisi pada jam 22.00 ke atas, menampilkan tayangan yang mengumbar syahwat baik berupa musik yang mengusung artis-artis pendukung pornoaksi maupun berupa film yang bagi orang waras agamanya jelas merupakan tayangan porno. Hal-hal di atas merupakan sebagian sebab perubahan sikap masyakakat kita menjadi masyarakat yang kurang bermoral.
Menjadi tugas utama dunia pendidikan untuk menjadi agen perubahan sikap masyarakat tersebut. Sebab menurut Imam Ghozali pendidikan bertujuan  mendekatkan diri kepada Allah SWT, menjadikan insan purna yang mendapatkan kebahagian hidup di dunia dan di akhirat. ( Sulaiman, 1986:24).
Pendidikan agama dimaksudkan untuk peningkatan potensi religius dan membentuk peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berakhlak mulia. Akhlak mulia mencakup etika, budi pekerti, dan moral sebagai perwujudan dari pendidikan agama. Peningkatan potensi religius mencakup pengenalan, pemahaman, dan penanaman nilai-nilai keagamaan,  serta pengamalan  nilai-nilai tersebut dalam kehidupan individual ataupun kolektif kemasyarakatan. Peningkatan potensi religius tersebut pada akhirnya bertujuan pada optimalisasi berbagai potensi yang dimiliki manusia yang aktualisasinya mencerminkan harkat dan martabatnya sebagai makhluk Tuhan.

4.      Berbagai  Nilai  Relegius  yang  Perlu  Ditanamkan  kepada  Siswa
Nilai relegius yang  perlu ditamanamkan kepda siswa sangat beragam. Diantara nilai tersebut adalah  berupa  ketaqwaan,  kejujuran,  keikhlasan,  dan tanggungjawab.  Ini sesuai dengan pernyataan Murdiono ( 2008) bahwa nilai relegius  yang dapat diterapkan dalam pembelajaran di perguruan tinggi meliputi  nilai  moral  religius  berupa  ketaqwaan,  kejujuran,  keikhlasan,  dan tanggung jawab.
Menurut Imam Ghozali yang perlu ditanamkan kepada siswa adalah keyakinan dan keimanan kepada Tuhan,  setelah anak memeroleh keimanan yang kuat ditamamkan dalil logika dan argumentasi (Sulaiman, 1986: 65).
Sementara itu menurut kemendiknas nilai relegius yang perlu ditanamkan dalam pembentukan karakter bangsa adalah nilai

      C.    Nilai Humanisme
1.      Makna Nilai Humanisme
Untuk menjelaskan pengertian nilai humanism perlu dipahami terlebih dahulu pengertian istilah humanism. Istilah “humanisme” berasal dari bahasa Latin “humanitas” yang bermakna pendidikan manusia ( Abidin,2009:41).
Aliran humanistik muncul pada tahun 1940-an sebagai reaksi ketidakpuasan terhadap pendekatan psikoanalisis  dan behavioristik. Sebagai sebuah aliran dalam psikologi,  aliran ini  sangat  menekankan  pentingnya kesadaran, aktualisasi diri, dan hal-hal yang bersifat positif tentang manusia.( Rachmahana, 2008:99)
Humanisme memandang manusia sebagai sentral atau pusat dari realitias. Sebab itu humanis menjujung tinggi  nilai dan martabat manusia( Abidin, 2009: 39). Sedangkan menurut Lorens Bagus (1992: 235) dalam Santoso (2003:31) berpendapat humanisme merupakan sebuah filsafat yang; (1) memandang  individu rasional sebagai nilai tertinggi, (2) memandang individu sebagai sumber nilai tertinggi, dan (3) ditujukan untuk membina perkembangan kreatif  dan  moral  individu  dengan  cara  yang  bermakna  dan  rasional  tanpa menunjuk pada konsep-konsep adikodrati. Makna humanisme  dengan demikian jelas menunjuk pada kemampuan manusia sebagai individu  yang  rasional dan dipakai  sebagai  ukuran  segala  bentuk  pemahaman  terhadap  realitas.
Nilai humanis berarti adalah nilai yang digali dari aliran humanisme. Intinya nilai humanisme adalah menjunjung tinggi martabat manusia sebagai mahluk yang  bebas dan merdeka.


2.      Tokoh Filsafat Humanisme
a.      Abraham Maslow
Abraham H. Maslow adalah tokoh yang  menonjol  dalam psikologi  humanistik.  Karyanya  di bidang pemenuhan kebutuhan berpengaruh sekali terhadap upaya memahami motivasi manusia. Sebagian dari teorinya yang penting didasarkan atas asumsi bahwa dalam diri manusia terdapat dorongan positif untuk tumbuh dan kekuatan-kekuatan yang melawan atau menghalangi pertumbuhan.
Maslow berpendapat,  bahwa manusia memilikhierarki kebutuhan  yang  dimulai dari kebutuhan  jasmaniah-yang  paling asasi- sampai dengan kebutuhan tertinggi yakni kebutuhan estetis.
Implikasi dari teori Maslow dalam dunia pendidikan sangat penting. Dalam proses belajar-mengajar  misalnya,  guru mestinya memperhatikan teori ini.  Apabila  guru menemukan  kesulitan untuk memahami mengapa anak-anak tertentu tidak mengerjakan pekerjaan rumah, mengapa anak tidak dapat tenang di dalam kelas, atau bahkan mengapa anak-anak  tidak memiliki motivasi untuk belajar. (Rachmahana, 2008:100)

b.      Carl R. Rogers
Perasaan,  persepsi,  keyakinan  dan  maksud  merupakan perilaku-perilaku batiniah  yang menyebabkan  seseorang  berbeda dengan yang lain. Agar dapat memahami orang lain, seseorang harus melihat dunia orang lain tersebut, bagaimana ia berpikir dan merasa tentang dirinya. Itulah sebabnya, untuk mengubah perilaku orang lain, seseorang harus mengubah persepsinya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

COACHING DALAM PENDIDIKAN

A. Pendahuluan            Senin, 1 Februari 2021 merupakan hari bersejarah bagi pendidikan Indonesia. Pada hari itu Menteri Pendidikan dan K...