Foto Kegiatan

Selasa, 20 Maret 2012

Filsafat Pendidikan


PENANAMAN NILAI HUMANISME DAN RELEGIUS
MENUJU PENDIDIKAN  MULTIKULTURAL
oleh Rasmian



A.   

A.    Pendahuluan
Sudah kita sadari bersama bahwa Indonesia adalah Negara yang terdiri atas beribu pulau yang terhampar luas di katatulistiwa. Jumlah pulau yang dimiliki Indonesia adalah 13.0000 (Antara News, 2010). Di setiap pulau terdiri atas berapa suku, ras, bahasa, adat istiadat. Terdapat 1.128 suku bangsa yang hidup di Indonesia, dan memiliki 746 bahasa daerah (Melayu Online, 2008). Sementara itu dilihat dari pemeluk agama, terdapat beberapa agama  (yang diakui pemerintah) dan dipeluk oleh penduduk Indonesia yakni: Islam 88,1%, Kristen  dan  Katolik 7,89%, Hindu 2,5%, Budha 1% dan yang lain 1%. Itu pun sebetulnya kurang akurat mengingat ada pula penduduk yang menganut agama tertentu dan diyakini kebenarannya oleh penganutnya, kendatipun tidak ada pengakuan resmi dari pemerintah, misalnya Konghucu, yang baru-baru ini saja diakui secara “malu-malu” sebagai agama. Secara latar belakang  kultural,  Indonesia dibangun atas dasar kultur Nusantara asli, Hindu, Islam, Kristen dan juga  barat modern (Soetapa, 1991:1-2) dalam ( Zubair,2003:113).
Kemajemukan tersebut merupakan potensi, tantangan dan bencana. Banyak bangsa lain mengagumi kemajemukan tersebut, kemudia mereka ingin belajar ke bangsa Indonesia, berarti kemajemukan tersebut merupakan potensi yang dapat dimanfaatkan untuk kemajuan bangsa. Akan tetapi kenyataan di lapangan saat ini masih banyak kasus yang sangat meprihatinkan  bamgsa. Sebut  saja kasus pertikean antar etnis dan agama di Poso, pertikaian antaretnis di Kalimantan, berbagai perangang antar etnis di Papua, dan perkelaian antarkampung di Jakarta dan masih banyak lagi kasus yang  serupa.
Fenomena konflik sosial ini merupakan peristiwa yang bersifat insidental  dengan motif tertentu dan kepentingan sesaat, ataukah justru  merupakan  budaya  dalam  masyarakat  yang  bersifat  laten. Realitas ini juga menunjukkan kepada kita bahwa masih ada problem yang mendasar yang belum terselesaikan.
Berdasarkan kenyataan-kenyataan tersebut, perlu dipertanyakan mengapa terjadi demikian. Padahal mereka yang melakukan tindak tersebut bukanlah orang yang rendah pendidikannya, mereka yang melakukan pertikain  bukanlah orang yang kurang pendidikannya. Kiranya perlu dipertanyakan mengapa hasil pendidikan kita demikian? Padahal pendidikan merupakan upaya sadar membimbimg jasmani rohani menuju terbentuknya kepribadian utama menurut ketentuan-ketentuan yang berlaku. Kepribadian utama adalah kepribadian yang sesuai   dengan nilai-nilai pendidikan. ( Solahuddin, 2011:20)
Mendorong warga negara untuk dapat menghargai “kemajemukan” adalah sangat penting segera dilakukan, terutama sekali di negara Indonesia yang pluralistik ini. Upaya tersebut salah satunya dengan pendidikan yang menjujung tinggi harkat martabat manusia sebagai individu dan manusia sebagai sebuah kelempok masyarakat. Nilai tersebut adalah yang sering disebut nilai humanisme dan relegius.
Dibutuhkan sebuah konsep pendidikan yang mampu menanamkan nilai-nilai tertentu, sehingga masyarakat dapat menghargai perbedaan  untuk hidup bersama saling membutuhkan. Konsep pendidikan tersebut bisa disebut sebagai konsep pendidikan Multikultural. 
Sehubungan dengan hal tersebut penulis  tertarik untuk menulis dengan judul “Penanaman Nilai Humanisme dan Relegius Menuju Pendidikan Indonesia Yang Multikultural”

B.     Nilai Humanisme dan Relegius
1)      Nilai  Humanisme
Untuk menjelaskan makna nilai humanism perlu dipahami terlebih dahulu pengertian istilah humanism. Istilah “humanisme” berasal dari bahasa Latin “humanitas”yang bermakna pendidikan manusia( Abidin,2009:41).
Aliran humanistik muncul pada tahun 1940-an sebagai reaksi ketidak puasan terhadap pendekatan psikoanalisis dan behavioristik. Sebagai sebuah aliran dalam psikologi,  aliran ini sangat menekankan pentingnya kesadaran, aktualisasi diri,dan hal-hal yang bersifat positif tentang manusia.(Rachmahana, 2008:99)
Humanisme memandang manusia sebagai sentral atau pusat dari realitias. Sebab itu humanis menjujung tinggi  nilai dan martabat manusia( Abidin, 2009: 39). Sedangkan menurut Lorens Bagus (1992:235) dalam Santoso (2003:31) berpendapat humanis memerupakan sebuah filsafat yang;(1) memandang individu rasional sebagai nilai tertinggi, (2) memandang individu sebagai sumber nilai tertinggi, dan(3) ditujukan untuk membina perkembangan kreatif dan moral individu dengan cara yang bermakna dan rasional tanpa menunjuk pada konsep-konsep adikodrati. Makna humanisme dengan demikian jelas menunjuk pada kemampuan manusia sebagai individu yang rasional dan dipakai  sebagai  ukuran  segala  bentuk  pemahaman  terhadap  realitas.
Nilai humanis berarti adalah nilai yang digali dari aliran humanisme. Intinya nilai humanisme adalah menjunjung tinggi martabat manusia sebagai mahluk yang  bebas dan merdeka.
Nilai apa saja ada dalam pandangan humanisme? Magin  Suseno (2001) melalui Budiningsih (2010:5) seorang pribadi yang humanis berarti pribadi yang memiliki sikap-sikap tahu diri. Bijaksana, bertolak dari keterbatasanya maka mengambil sikap yang wajar, terbuka, dan melihat berbagai kemungkinan. Bersikap positif terhadap sesama, tidak terhalang oleh kepicikan primordialisme, suku, bangsa, agama, etnik, warna kulit, dan lain-lain. Ia anti kepicikan, fanatisme,kekerasan, penilaian-penilaian mutlak, tidak mudah mengutuk pandangan orang lain. Sebaliknya, ia bersikap terbuka, toleran, mampu menghormati keyakinan orang lain termasuk jika ia tidak menyetujuinya, dan mampumelihat yang positif dibalik perbedaan.

            2. Nilai Relegius
Religius adalah kata kerja yang berasal dari kata religion. Bertens  (2007:140) menjelaskan pengertian nilai melalui cara memperbandingkannya   dengan  fakta. Fakta menurutnya adalah sesuatu yang ada atau berlangsung begitu saja. Sementara nilai adalah sesuatu yang berlaku, sesuatu yang memikat atau menghimbau kita. Fakta dapat ditemui dalam konteks deskripsi semua unsurnya dapat dilukiskan satu demi satu  dan  uraian  itu  pada  prinsipnya  dapat  diterima  oleh  semua  orang.  Nilai berperanan  dalam  suasana  apresiasi  atau  penilaian dan  akibatnya  sering  akan dinilai secara berbeda oleh orang banyak. Nilai selalu berkaitan dengan penilaian seseorang,  sementara fakta menyangkut ciri-ciri obyektif saja. 
Sedangkan menurut  Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008:1286) relegi bermakna ‘kepercayaan akan adanya Tuhan’, sedangkan relegius bermakna  ‘taat agama’. Dasuki (2011) mendefinisikan nilai-nilai religius  sebagai sesuatu yang menempati peringkat yang sangat tinggi dalam kehidupan seorang yang beradab. Dikatakan demikian karena nilai-nilai religius berkaitan dengan kebenaran Ilahi yang bersifat absolut dan universal yang berangkat dari dan bermuara pada hak asasi manusia yang paling asasi, yaitu hubungan seseorang dengan Penciptanya. Sesungguhnya nilai religius tidak semata berkaitan dengan kehidupan ritual keagamaan seseorang, tetapi tercermin juga dalam kehidupan sehari-hari seperti menjunjung tinggi nilai-nilai luhur tertentu, seperti kejujuran, keikhlasan, kesediaan berkorban, kesetiaan dan lain sebagainya.
Nilai-nilai religius merupakan nilai yang dapat mendorong manusia selalu dapat mengontrol kehidupannya. Sebab dengan nilai relegius seseorang akan merasa semua perbuatannya diawasi oleh Sang pencipta. Nilai ini telah terbukti menjadi motivator utama dan kuat dalam sejarah umat manusia yang hidup dimasa nabi-nabi, telah menjadi energi stimulus dan sangat kuat dalam membangun sikap dan perilaku individu manusia di zaman itu sampai zaman sekarang.
Sedangkan kemendiknas (2010:9) menjelaskan indikator indicator religius sebagai sikap dan perilaku yang patuh dalam melaksanakan ajaran agama yang dianutnya, toleran terhadap pelaksanaan ibadah agama lain, dan hidup rukun dengan pemeluk agama lain.

C.     Multikultural.
Multikulturalisme dapat dipandang dari dua pengertian. Yang pertama multikultural ditinajau dari segi etimologi, dan yang kedua dipandang dari Sosial budaya dan politik. Istilah mulitikultur berasal dari kata kultur yang bermakna ’budaya’.(Ainul Yaqin melalui Sardjiyo, 2009:187), dan mendapat awalan multi yang bermakna bayak.
Sedangkan multikulturalisme berarti berasal dari kata multikultur dan imbiham isme. Multikultur bermakna ’banyak suku’ dan isme yang bermakna aliran atau faham (Tilar dalam Sardjiyo, 2009:187). Dengan demikian multikulturalime berarti faham atau aliran yang menganut konsep  keragaman budaya.
Dari sudut pandang sosial politik, multkultural dipandang sebagai sebuah ideologi. Sebagai ideologi, konsep multikulturalisme tidaklah dapat disamakan dengan konsep keanekaragaman secara sukubangsa atau kebudayaan  sukubangsa yang menjadi ciri masyarakat majemuk, karena multikulturalisme menekankan keanekaragaman kebudayaan dalam kesederajatan
Sedangkan menurut Parsudi Suparlan (2001) kata dari multikulturalisme adalah kebudayaan, yaitu kebudayaan yang dilihat dari fungsinya sebagai pedoman bagi kehidupan manusia. Dalam konteks pembangunan bangsa, istilah multikultural ini telah membentuk suatu ideologi yang disebut multikulturalisme. Konsep multikulturalisme tidaklah dapat disamakan dengan konsep keanekaragaman secara sukubangsa atau kebudayaan  sukubangsa yang menjadi ciri masyarakat majemuk, karena multikulturalisme menekankan keanekaragaman kebudayaan dalam kesederajatan. Ulasan mengenai multikulturalisme mau tidak mau akan mengulas berbagai permasalahan yang mendukung ideologi  ini, yaitu politik dan demokrasi, keadilan dan penegakan hukum, kesempatan kerja dan berusaha, HAM, hak budaya komuniti dan golongan minoritas, prinsip-prinsip etika dan moral, dan tingkat serta mutu produktivitas.
Selanjutnya Suparlan mengutip Fay (1996), Jary dan Jary (1991), Watson (2000) dan Reed (ed. 1997) menyebutkan bahwa multikulturalisme ini akan menjadi acuan utama bagi terwujudnya masyarakat multikultural, karena multikulturalisme sebagai sebuah ideologi akan mengakui dan mengagungkan perbedaan dalam kesederajatan baik secara individual maupun secara kebudayaan.


D.    Penanaman Nilai Humanisme dan Relegius Menuju Pendidikan Multikultural.
1.      Pendidikan Multikultural
Multikultural sebagaimana yang telah diuraikan di atas bagi bangsa Indonesia merupakan sebuah fakta empiris.  Keberadaanya tidak lagi merupakan opini dan tidak hanya menjadi bahan diskusi saja. Disadari atau tidak  bangsa Indonesia telah merasakan pahit getir menjadi Negara yang multukultur. Segala potensi juga ada dipelupuk mata jika saja keberadaan multikultur tersebut dikelola dengan baik. Maka perlu ada upaya dari bangsa ini untuk memanfaatkan potensi tersebut sehingga akan menjadi modal pembangunan.
Upaya yang dapat diimplementasikan salah satunya adalah melalui pendidikan. Pendidikan adalah  suatu  usaha  yang  sadar  dan  sistematis  dalam  mengembangkan potensi  peserta  didik.  Pendidikan  juga dapat diatikan sebagai  suatu  usaha  masyarakat  dan  bangsa dalam mempersiapkan generasi mudanya bagi keberlangsungan kehidupan masyarakat dan  bangsa  yang  lebih  baik  di  masa  depan.  Keberlangsungan  itu  ditandai  oleh pewarisan  budaya  dan  karakter  yang  telah  dimiliki  masyarakat  dan  bangsa.  Oleh karena  itu,  pendidikan  adalah  proses  pewarisan  budaya  dan  karakter  bangsa  bagi generasi  muda  dan  juga  proses  pengembangan  budaya  dan  karakter  bangsa  untuk peningkatan kualitas kehidupan masyarakat dan bangsa di masa mendatang. Dalam proses pendidikan budaya dan karakter bangsa, secara aktif        peserta didik mengembangkan  potensi  dirinya,  melakukan  proses  internalisasi,  dan  penghayatan nilai-nilai menjadi kepribadian mereka dalam bergaul di masyarakat, mengembangkan kehidupan masyarakat yang lebih sejahtera, serta mengembangkan kehidupan bangsa yang bermartabat(Kemendiknas, 2010:4).
Sebagaimana dijelaskan di bagian sebelumnya bahwa multikultul bermakna banyak budaya. Dalam konsep multikultur akan munsul konsep kultural, pluralitas,dan pendidikan. Sementra pluralitas dimaknai sebagai keragaman atau perbedaan. Dipihak lain kultur tidak akan lepas dari konsep aliran agama, ras, suku (etnis) dan budaya (Sardjiyo, 2009:185).
Sehingga pendidikan multikultual  dapat dikatakan sebagai usaha  yang  sadar  dan  sistematis  dalam  mengembangkan potensi  peserta  didik yang mengakui atas konsep aliran keagamaam, ras, suku dan budaya tersebut. Atau dapat pula dikatakan pendidikan multikultural mengakui adanya keragaman etnik dan budaya masyarakat suatu bangsa.

2.      Humanisme dan  Multikultural
Di bagian sebelumnya telah dijelaskan  apa dan bangaimana humaniisme. Dapat diringkas bahwa humanisme adalah aliran yang menghargai manusia dan menanusiakan manusia. Manusia dipandang sebagai mahlik yang sempurna  dan merupakan pusat dari realitas.
Pribadi yang humanis adalah pribadi yang memiliki sikap-sikap tahu diri. bijaksana, bertolak dari keterbatasanya maka mengambil sikap yang wajar, terbuka, dan melihat berbagai kemungkinan. Bersikap positif terhadap sesama, tidak terhalang oleh kepicikan primordialisme, suku, bangsa, agama, etnik, warna kulit, dan lain-lain. Ia anti kepicikan, fanatisme,kekerasan, penilaian-penilaian mutlak, tidak mudah mengutuk pandangan orang lain. Sebaliknya, ia bersikap terbuka, toleran, mampu menghormati keyakinan orang lain termasuk jika ia tidak menyetujuinya, dan mampumelihat yang positif dibalik perbedaan.
Pribadi yang demikian adalah pribadi yang mampu beradaptasi dengan lingkungan yang pruralis. Dengan demikian pribadi yang humanis akan bersikap menghargai berbedaan dan keberagaman. Perbedaan dan keberagaman akan menjadi potensi persatuan dan menciptaan keindahan dalam kehidupan sosial.
Dengan demikian pribadi yang humanis akan menjadi akan menjadi bagian  dalam masyarakat yang multikultur.

3.      Peran Penanaman Nilai Humanis dalam Pendidikan Multikultural
Budiningsih (2010:6) menjelaskan bahwa menurut teori humaistik, proses belajar harus dimulai dan ditujukan untuk kepentingan memanusiakan manusia itu sendiri. Oleh sebab itu, teori kepribadian, dan psikoterapi, dari pada kajian priskologi belajar.Teori humastik sangat mementingkan isi yang dipelajari dari pada proses belajar itu sendiri. Teori belajar humustik lebih banyak berbicara tenteng konsep-konsep pendidikan untuk membentuk manusia yang dicita-citakan, manusia yang humastik, serta proses belajar dalam bentuknya yang paling ideal.
Dengan pribadi yang humanis yaitu pribadi memiliki sikap-sikap tahu diri, bijaksana, wajar, terbuka, dan melihat berbagai kemungkinan, bersikap positif terhadap sesama, tidak terhalang oleh kepicikan primordialisme, suku, bangsa, agama, etnik, warna kulit, anti kepicikan, fanatisme,kekerasan, penilaian-penilaian mutlak, tidak mudah mengutuk pandangan orang lain, maka usaha   sadar  dan  sistematis  dalam  mengembangkan potensi  peserta  didik yang mengakui konsep aliran keagamaam, ras, suku dan budaya dapat terwujud. Semakin banyak nilai humanistik ditanamkan maka akan semakin cepat terwujudnya pendidikan yang multikuturalis.

4.      Relegius dan Multikulrural
Menurut Ali, dkk,( 1994) dalam  Supratno ( 2010:373) konsep nilai relegius dapat berarti bersifat religi, bersifat keagamaan yang bersangkut paut dengan religi. Sebagaimana telah dijelaskan dimuka oleh Dasuki (2011) mendefinisikan nilai-nilai religius  sebagai sesuatu yang menempati peringkat yang sangat tinggi dalam kehidupan seorang yang beradab. Dikatakan demikian karena nilai-nilai religius berkaitan dengan kebenaran Ilahi yang bersifat absolut dan universal yang berangkat dari dan bermuara pada hak asasi manusia yang paling asasi, yaitu hubungan seseorang dengan Penciptanya. Sesungguhnya nilai religius tidak semata berkaitan dengan kehidupan ritual keagamaan seseorang, tetapi tercermin juga dalam kehidupan sehari-hari seperti menjunjung tinggi nilai-nilai luhur tertentu, seperti kejujuran, keikhlasan, kesediaan berkorban, kesetiaan dan lain sebagainya.
Nilai-nilai religius merupakan nilai yang dapat mendorong manusia selalu dapat mengontrol kehidupannya. Sebab dengan nilai relegius seseorang akan merasa semua perbuatannya diawasi oleh Sang pencipta. Nilai ini telah terbukti menjadi  motivator  utama dan kuat dalam sejarah umat manusia yang hidup dimasa nabi-nabi,  telah menjadi energi stimulus dan sangat kuat dalam membangun sikap dan perilaku individu manusia di zaman itu sampai zaman sekarang.
Yang dimaksud  nilai- nilai relegius dalam tulisan ini adalah  ajaran yang berhubungan dengan nilai agama baik Islam, Kristen, Protestan, Hindu, maupun Budha. Indikator nilai salah satunya adalah perilaku  yang  baik,  berharga,  pantas,  dan  dianjurkan  dalam kehidupan bermasyarakat yang bersumber dari ajaran agama-agama tersebut.
Agama-gama yang timbuh dan hidup di Negara kesatauan Republik Indonesia dalam sejarahnya telah dappat hidup berdampingan. Hal ini sebahaimana dikemukakan Mathar (2009:2) agama-agama yang ada di Indonesia pada masa ini yang diakui oleh undang-undang yang berlaku telah tumbuh dan berkembang secara damai dalam masa yang amat panjang.Dapat dikatakan bahwa semua agama masuk ke negeri ini sejak negeri ini belum bernama Indonesia.
Sementara itu semua agama tersebut memiliki semangat kebersamaan dan toleransi  umat beragama. Hal ini ditunjukkan dengan bukti dalam Islam misalnya dikenal ajaran tidak boleh memaksakan ajaran Islam kepada orang lain sebagaimana Quran Surat Al-Baqoroh ayat 256.
Tidak paksaan untuk (memasuki) agama (islam); sesungguhnya  telah jelas jalan yang benar dari pada jalan yang sesat. Karena itu barang siapa yang ingkar kepada thaghut  dan beriman kepada allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan allah maha mendengar lagi maha mengetahui”
Ajaran lain misalnya terdapat pada kutipan berikut ini.

“Maka  berilah peringatan, karna sesunggunya kamu hanyalah orang yang memberi peringatan .kamu bukanla orang yang berkuasa atas mereka” (Qur’an surat Al gasyiyah: 21-22)
Berdasarkan kutipan tersebut Islam tidak memaksakan orang masuk agama Islam. Islam telah member ruang kebebasan bagi umat untuk memilih agama sebagaimana yang tertuang dalam surat Al Kahfi ayat 18 yang artinya “ dan katakana, kebenaran dating dari Tuhanmu, maka siapa yang mau, silahkan beriman, siapa yang tidak mau silahkan kufur”.
Sementara itu Mathar (2009:3) menjelaskan bahwa umat Katolik dan Protestan meyakini bahwa para rosul juga tidak perna memaksa kekristenan .umat Kristen juga sadar bahwa perbuatan umat kristenakan menjadi faktor yang penting bagi orang lain untuk mengatur agama Kristen .orang Kristen menyakini bahwa Iman tanpa perbuatan adalah mati(Yakobus 2:14). Yesus selalu menekankan kepada perbuatan . bukan setiap orang yang burseru Tuhan… Tuhan…yang akan masuk surga, melainkan yang melakukan kehendak bapa”,(Matius 7:21).”Celakalah kamu  yang mentaubatkan satu orang saja menjadikan ia orang neraka yang dua kali lebih jahat dari kamu”(Matius 23:15). Karena itu, biarlah seseorang memutuskan menjadi Kristen atau tidak setelah dia melihat pebuatan orang Kristen. Dengan kata lain, ajaran tersebut mengadung semangat kebebasan setiap orang untuk menjadi kisten atau tidak.

5.      Peran Penanaman Nilai Relegius dalam Pendidikan Multikultural
Seorang yang memiliki jiwa relegius berarti ia semakin dapat mengontrol kehidupannya. Jiwa relegius adalah jiwa yang selalu taat kepada Tuhannya. Keyakinan akan kebenaran Tuhan merupakan modal seseorang selalu dapat berhubungan dengan mahluk lain termasuk dengan sesame manusia.
Di bagian sebelumnya juga telah disingung  bahwa relegiusitas dalam makalah ini juga termasuk ajaran yang berkaitan dengan nilai-nilai semua agama. Dalam pandangan semua agama, konsep mutikultural adalah memahami perbedaan dan tidak boleh memaksakan kehendak dalam beragama.
Dengan demikian orang memahami nilai-nilai relegius tinggi, ia kan semakin dapat menghargai perbedaan. Maka dengan menanamkan nilai-nilai relegius akan segera dicapai pendidikan berbasis multikultural yaitu pendidikan yang menerapkan konsep menghargai perbedaan.
                                                         
E.     Simpulan
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa
a.      Humanisme adalah aliran yang menghargai manusia dan menanusiakan manusia. Manusia dipandang sebagai mahlik yang sempurna  dan merupakan pusat dari realitas.
b.      Nilai-nilai religius berkaitan dengan kebenaran Ilahi yang bersifat absolut dan universal yang berangkat dari dan bermuara pada hak asasi manusia yang paling asasi.
c.       Penenaman nilai humanisme dan relegius mampu merupakan wujud pendidikan multikultural.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

COACHING DALAM PENDIDIKAN

A. Pendahuluan            Senin, 1 Februari 2021 merupakan hari bersejarah bagi pendidikan Indonesia. Pada hari itu Menteri Pendidikan dan K...