Foto Kegiatan

Jumat, 22 April 2022

COACHING DALAM PENDIDIKAN

A. Pendahuluan 

        Senin, 1 Februari 2021 merupakan hari bersejarah bagi pendidikan Indonesia. Pada hari itu Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud), Nadiem Anwar Makarim meluncurkan Merdeka Belajar Episode 7: Program Sekolah Penggerak, secara daring di Jakarta. Dalam kesempatan itu Mendikbud menyampaikan, “Program ini dirancang sebagai upaya untuk mewujudkan Indonesia maju yang berdaulat, mandiri, dan berkepribadian melalui terciptanya Pelajar Pancasila yang beriman, bertakwa kepada Tuhan YME, dan berakhlak mulia, mandiri, bernalar kritis, kreatif, bergotong royong, dan berkebinekaan global” Selain itu, program ini bertujuan mengembangkan SDM sekolah. SDM yang dikembangkan pada program ini mulai dari siswa, guru, sampai kepala sekolah. Kualitas siswa diukur melalui pencapaian hasil belajar di atas level yang diharapkan dengan menciptakan lingkungan belajar yang aman, nyaman, inklusif, dan menyenangkan. Melalui pembelajaran yang berpusat pada murid, Mendikbud melakukan perencanaan program dan anggaran yang berbasis pada refleksi diri, refleksi guru, sehingga terjadi perbaikan pada pembelajaran. 

        Hasil yang diharapkan dari perbaikan pembelajaran adalah peningkatan kualitas hasil pembelajaran. Untuk meningkatkan kualitas hasil pembelajatan tersebut, peran kepala sekolah dan guru sangtlah strategis. Kepala sekolah dan guru merupakan dua factor yang dapat meningkatkan kualitas hasil pembelajaran. Menurut Leithwood, dkk (2006) kepala sekolah dan guru memiliki peran besar dalam peningkatan kualitas pembelajaran. Hal tersebut sebagaimana bagan berikut ini.

Sumber :Leithwood, dkk. 2006 
        Bagan 1. Penyebab Rendahnya Siswa Belajar Bagan 1 di atas, menunjukkan peran guru dan kepala sekolah dalam pembelajaran yang dilakukan siswa. Rendahnya perencanaan dan motivasi yang diberikan guru sangat berpengaruh terhadap tinggi rendahnya siswa dalam belajar. Demikian juga kepala sekolah memikili peran meningkatkan proses belajar siswa. Peran utama kepala sekolah sebagai pemimpin pendidikan adalah mengatur managemen sekolah sehingga tercipta situasi belajar mengajar yang kondusif. Situasi yang kondusif yang dimaksud adalah situasi yang mampu menciptakan guru-guru dapat mengajar dan murid-murid dapat belajar dengan baik. Dalam melaksanakan peran tersebut, kepala sekolah memiliki dua tanggung jawab yaitu melaksanakn administrasi sekolah sehingga tercipta situasi belajar mengajar yang baik, dan melaksanakan supervisi sehingga guru mampu menjalankan tugas-tugas pengajaran dan dalam membimbing pertumbuhan murid-murid. 

        Di pihak lain, guru memiliki peran menciptakan pebelajaran yang berkualitas. Pembelajaran berkualitas adalah pebelajaran yang mampu menciptakan situasi belajar yang menyenangkan serta sesuai dengan kebutuhan murid dengan hasil belajar yang tinggi. Berbagai upaya dapat dilakukan untuk mencapai hal di atas. Misalnya guru mengajar dengan berbagai metode, media, dan strategi. Salah satu strategi yang dapat dipakai seorang guru adalah coaching. Coaching merupakan salah satu materi pada Program Guru Penggerak (PGP). Pemilihan materi tersebut didasarkan pada alasan bahwa coaching merupakan salah satu alternatif yang dapat dilakukan agar meningkatkan hasil belajar siswa. Apa yang dimaksud coaching? Bagaimana coaching dilaksanakan? Apa dampak coaching bagi murid? Berikut ini penjelasannya. 

 B. Pengertian Coaching 

        Secara etomologi, coaching berasal dari bahasa Inggris coach yang berarti pelatih, sedang coaching berarti pelatihan. Jika kita melihat sejarah coaching, istilah coaching sangat dekat dengan dunia olah raga. Dalam bidang olah raga, seseorang yang disebut sebagai coach adalah orang yang memiliki otoritas mengajari atlet. Coach adalah orang yang memberi instruksi ketika melatih (Yuliawan, 2011). Perubahan istilah terjadi setelah terbitnya sebuah karya dalam bidang coaching berjudul “The Inner Game of Tennis”. Timothy Gallwey, seorang pelatih tenis, menyatakan bahwa proses melatih seorang atlet profesional tidak bisa dijalankan secara instruksional. Menurut Gallwey (1974) atlet adalah orang yang telah memiliki pengetahuan dan keterampilan yang cukup untuk menampilkan performa optimal. Gallwey (1974) melanjutkan, seorang atlet tidak dapat memunculkan kemampuannya disebabkan apa yang disebutnya sebagai ‘inner game’, yaitu kondisi mental dan emosional seorang atlet. 

        Berdasarkan hal tersebut, Gallwey mengubah gaya melatihnya dari proses memberi instruksi menjadi proses memfasilitasi, dari memberi petunjuk menjadi mengajukan pertanyaan (Hall & Duval, 2004). Definisi coaching salah satunya disampaikan oleh Grant dalam (Wijayanti, dkk, 2020:9), coaching merupakan sebuah proses kolaborasi yang berfokus pada solusi, berorientasi pada hasil dan sistematis, dimana coach memfasilitasi peningkatan atas performa kerja, pengalaman hidup, pembelajaran diri, dan pertumbuhan pribadi dari coachee. Berdasarkan pendapat tersebut, coaching merupakan kegiatan kolaboratif antara coach dengan coachee. Bentuk kolaborasi yang dimaksud adalah komunikasi antara coach dan coachee dalam sebuah diskusi yang berfokus pada solusi dari kesulitan atau masalah coachee yang dilaksananakan secara sistematis dengan tujuan meningkatkan performa kerja sang coachee. Ahli lain, Whitmore, menjelaskan coaching sebagai kunci pembuka potensi seseorang untuk untuk memaksimalkan kinerjanya. Coaching lebih kepada membantu seseorang untuk belajar dari pada mengajarinya (Wijayanti, dkk, 2020:9). 

        Berdasarkan beberapa sumber di atas, penulis menyimpulkan definisi coaching. Coaching dalam makalah ini dimaknai sebagai pembinaan atau pembelajaran. Coaching merupakan suatu pendekatan kemitraan antara dua orang atau lebih yang salah satu pihaknya disebut coach dan pihak lainnya disebut coache (peserta didik). Peran pembina dalam program coaching adalah untuk membimbing dan menggali potensi serta kemampuan yang dimiliki oleh peserta didik untuk mencapai tujuan yang telah dirumuskan sebelumnya. Setiap coache memiliki potensi dan kemampuan yang berbeda-beda, disinilah peran coach menjadi penting untuk menigkatkan kemampuan, motivasi, bakat dan minat dari seorang coachee. 

        Istilah coaching, selama ini tumpang tindih dengan istilah mentoring dan konseling. Ketiga istilah tersebut memang memiliki beberapa persamaan dan perbedaan. Untuk memhamami ketiga istilah tersebut, mari kita lihat table berikut ini.


C.Coaching dalam Konteks Pendidikan

Penjelasan mengenai coaching dalam dunia pendidikan tidak terlepas dari filosofi pendidikan yang disampaikan oleh Ki Hajar Dewantara. Menurut Ki Hajar Dewantara tujuan pendidikan itu ‘menuntun’ tumbuhnya atau hidupnya kekuatan kodrat anak sehingga dapat memperbaiki lakunya (Wijayanti, dkk, 2020:11). Berdasarkan pandangan tersebut pendidik merupakan seorang coach. Coach memiliki peran menuntun.

Apa yang dimaksud menuntun? Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia menuntun dimaknai membimbing dan menunjuk. Membimbing dalam pengertian di atas adalah mengarahkan dengan cara menggandeng tangan. Sedangkan menunjuk dimaknai mengarahkan ke jalan yang benar. Oleh karena itu (Wijayanti, dkk, 2020:11) menjelaskan peran seorang coach (pendidik) adalah menuntun segala kekuatan kodrat (potensi) agar mencapai keselamatan dan kebahagiaan sebagai manusia maupun anggota masyarakat.

Selanjutnya (Wijayanti, dkk, 2020:11) menjelaskan, dalam proses coaching, murid diberi kebebasan namun pendidik sebagai ‘pamong’ dalam memberi tuntunan dan arahan agar murid tidak kehilangan arah dan membahayakan dirinya. Seorang ‘pamong’ dapat memberikan ‘tuntunan’ melalui pertanyaan-pertanyaan reflektif agar kekuatan kodrat anak terpancar dari dirinya.

Dikaitkan dengan pendidikan saat ini, coaching merupakan praktik implementasi merdeka belajar. Di era merdeka belajar, murid diberikan  kebebasan dalam proses pembelajaran di sekolah. Namun demikian seorang guru diberikan kewajiban menuntun siswa agar potensi yang dimiliki siswa dapat berkembang secara optimal menurut kodratnya.

Siswa dapat berkembang secara optimal menurut kodratnya manakala guru menerapkan pembelajaran berdiferensiasi dan pembelajaran sosial emosiaonal. Melalui pembelajaran bersiferensiasi dan soasial emosional, kebutuhan individu dapat terlayani. Demikian halnya dengan coaching, coaching merupakan praktik layanan pembelajaran yang berfirensiasi sebab melalui coaching kebutuhan individu siswa dapat dilayani.

Masih terkait dengan kemerdekaan belajar, proses coaching merupakan proses untuk mengaktivasi kerja otak murid. Pertanyaan-pertanyaan reflektif dapat membuat murid melakukan metakognisi. Selain itu, pertanyaan-pertanyaan dalam proses coaching juga membuat murid lebih berpikir secara kritis dan mendalam. Yang akhirnya, murid dapat menemukan potensi dan mengembangkannya (Wijayanti, dkk, 2020:12).

Coaching, sebagaimana telah dijelaskan pengertiannya dari awal memiliki peran yang sangat penting dalam dunia pendidikan. Data penelitian yang dilakukan Ummayyah (2018) program coaching di bimbingan belajar Smartplus Indonesia berpengaruh terhadap nilai try out SBMPTN bidang bahasa Indonesia siswa kelas XII IPA SMA.

Coaching juga berpengaruh terhadap proses pembelajaran yang menyenangkan. Hal ini disampaikan  (Yahya, Rachmi Nursifa dan Triana Lestari, 2021) bahwa hasil dari berbagai temuan memperlihatkan  metode coaching di dalam pembelajaran mampu menjadikan pengajaran yang diberikan oleh guru lebih menyenangkan dan memerdekakan peserta didik.

Mengingat pentingnya proses coaching ini sebagai alat untuk memaksimalkan potensi murid, guru hendaknya memiliki keterampilan coaching. Keterampilan coaching  seperti apa yang perlu dimiliki guru?  Menurut International Coach Federation (ICF), ada empat kompetensi dasar bagi seorang coach (Wijayanti, dkk, 2020:11). Empat kompetensi tersebut yaitu a) keterampilan membangun dasar proses coaching, b) keterampilan membangun hubungan baik, c) keterampilan berkomunikasi, dan d) keterampilan memfasilitasi pembelajaran.


D. Keterampilan Membangun Dasar Proses Coachi

Keterampilan membangun dasar proses coaching meliputi dua aspek yaitu: a) mengikuti pedoman etik, b) membuat kesepakatan sebelum coaching. Etika adalah ilmu yang membahas perbuatan baik dan perbuatan buruk manusia sejauh yang dapat dipahami oleh pikiran manusia seperti prinsip-prinsip moral dan pedoman perilaku. Kesepakatan adalah perjanjian dan kesepakatan atas aturan main antara coach dengan coachee.

Seorang coach seyogyanya memahami etika-etika yang berlaku di lingkungan di mana coach sedang melakukan coaching. Misalnya saja, coach berada di lingkungan pendidikan berbasis pondok pesantren, maka coach harus memahami kebiasaan-kebiasaan seorang santri, kyai, hubungna santri dan kyai serta hal-hal yang tabu dilaksanakan oleh santri atau kyai. Dengan memahami hal-hal tersebut, coach akan lebih optimal dalam menjalankan tugasnya.

Mengenai kesepakatan, coach seyogyanya juga membuat kesepakan dengan coachee mengenai hak dan kewajiban coach dan coachee. Dengan demikian,  baik coach maupun coachee akan dapat memahami posisi masing-masing.

E. Keterampilan Membangun Hubungan Baik 

Coach yang baik adalah coach yang mampu membangun hubungan baik dengan coachee. Hubungan antara coach dengan coachee berdampak pada rasa percaya coachee kepada sang coach.

Dalam tahap awal melakukan coaching, seorang seharusnya membangun  sebuah hubungan yang baik dan terbuka. Adanya pengungkapan diri secara timbal balik juga sangat penting karena seseorang akan mau membuka diri apabila orang lain juga membuka dirinya. Seseorang akan lebih tertutup karena ada kemungkinan orang lain dapat mengkhianati kepercayaan atau menolak orang lain karena adanya fakta yang disembunyikan.

Perasaan tersebut dapat dikurangi apabila orang lain juga mengurangi kerentanan tersebut dengan membuka diri. Coach dapat meningkatkan hubungan dan kepercayaan tersebut melalui hubungan saling terbuka satu sama lain.


F.  Keterampilan Berkomunikasi 

Berkomunikasi merupakan proses menyampaikan gagasan, ide kepada orang lain. Pernyataan tersebut sejalan dengan pandangan A.W. Wijaya sebagaimana dikutip Dwihartanti (2004) komunikasi adalah penyampaian informasi dan pengertian dari seseorang kepada orang lain. Komunikasi akan dapat berhasil apabila sekiranya timbul saling pengertian, yaitu jika kedua belah pihak, si pengirim dan si penerima informasi dapat memahaminya.

Dalam proses coaching, pasti terjadi sebuah proses komunikasi antara coach dengan coachee. Oleh karena itu seorang coach seyogyanya memiliki keterampilan berkomunikasi. Pada bagian ini, dibahas tiga hal berkaitan dengan keterampilan komunikasi yang perlu dipahami seorang coach. Tiga hal tersebut sebagaimana disampaikan (Wijayanti, dkk, 2020:21-37).

Coach yang baik menurut Wijayanti (2020) memiliki tiga keterampilan dasar, yaitu: a) komunikasi yang memberdayakan/ komunikasi asertif, b) pendengar aktif, c) bertanya efektif. Pertama, komunikasi yang memberdayakan. Untuk memahami komunikasi yang memberdayakan, perlu disampaikan beberapa jenis komunikasi. Sebagai ilustrasi, Amin berbicara dengan Ahmad. Ahmad tidak mendengarkan pembicaraan Amin. Beberapa menit kemudian Ahmad mendengarkan, tetapi tidak merespon pembicaraan Amin.

Jika Anda menjadi Amin, Apa yang akan Anda lakukan? Bagaimana tanggapan Anda? Situasi yang dialami oleh Amin merupakan situasi komunikasi yang tidak baik. Komunikasi yang baik, kuminkasi yang baik ditandai keaktifan kedua belah pihak dalam merespon topik komunikasi. Jika kita mengalami hal yang demikian, seyogyanya kita meningkatkan kemampuan kita menjadi seorang komunikator yang asertif.

Untuk memahami makna komunikasi asertif, perlu dijelaskan beberapa bentuk komunikasi. Menurut (Wijayanti, dkk, 2020:21), ada tiga tipe orang berkomunikasi, yaitu berkomunikasi tipe agresif, berkomunikasi tipe pasif dan berkomunikasi tipe asertif. Komunikasi agresif terjadi manakala komunikator lebih menguasi atau mendominasi proses komunikasi.  Komunikator agresif akan cenderung mendominasi pembicaraan dan menghakimi permasalahan yang sedang diskusikan. Umumnya komunikator yang agresif ditunjukkan oleh seorang pimpinan.

Ada juga tipe orang yang berkomunikasi dengan gaya pasif. Orang tersebut cenderung diam, kurang berekspresi dan tidak mau menyuarakan apa yang dirasakan. Orang pasif akan menerima apa yang dikatakan orang lain atau mengikuti suara mayoritas. Mereka yang di posisi sebagai staf akan cenderung bersifat pasif. Hal tersebut terkadang membuat mereka sulit untuk berkembang.

Diantara dua tipe komunikasi di atas, ada yang disebut sebagai komunikasi asertif. Komunikasi asertif merupakan komunikasi yang memberdayakan (Wijayanti, dkk, 2020:22). Komunikator asertif adalah seorang komunikator yang memiliki kepercayaan diri dalam menyampaikan pendapat dan melihat bahwa status mereka (komunikator dan komunikan) sama sama-sama berhak untuk menyampaikan pendapat.  Komunikasi yang demukian disebut sebagi komunikasi asertif. Komunikasi yang asertif akan selalu mencari jalan tengah dalam penyelesaian masalah. Mereka akan berpendapat namun juga belajar mendengarkan pendapat orang lain. Mereka akan mencari pendapat yang terbaik dan tepat untuk penyelesaian masalah.

Seorang coach yang baik, ia akan menjalankan komunikasi dengan coachee dengan komunikasi asertif. Kedudukan coach dan coachee dipandang mitra yang saling mebutuhkan.

Kedua, pendengar aktif. Coach yang baik memiliki keterampilan menjadi pendengar aktif. Coba kita lebih mendalami makna sebuah proses mendengarkan. Mari kita mendalami perbedaan mendengar dan mendengarkan. Kegiatan mendengar merupakan proses fisiologis saat gelombang bunyi sampai kepada telinga manusia. Hal tersebut senada dengan pendapat Moeliono (1988:246),  mendengar diartikan sebagai menangkap bunyi (suara) dengan telinga.

Sementara mendengarkan, menyangkut penerimaan rangsangan. Pengertian menerima di sini menegaskan bahwa seseorang dalam aktivitas mendengarkan itu berarti menyerap rangsangan yang diterima kemudian memprosesnya dengan cara tertentu. Setidaknya selama beberapa waktu, isyarat yang diterima itu ditahan dan mengalami proses (Martoredjo, 2014).

Berdasarkan penjelasan tersebut, mendengarkan merupakan sebuah keterampilan yang dapat dipelajari, terdapat proses mendengar, berpikir, memilih, mengorganisasi, menterjemahkan, merespon dan mengingat. Intinya mendengarkan bersifat aktif, sementara mendengar bersifat pasif.

Ketiga, bertanya efektif. Wijayanti, dkk, (2020:33) memberikan penjelasan bertanya efektif dalam coaching sebagai berikut, bertanya pada coaching merupakan kemampuan bertanya dengan tujuan tertentu. Bukan sekedar jawaban singkat yang diharapkan, namun pertanyaan yang diberikan dapat menstimulasi pemikiran coachee, memunculkan hal-hal yang mungkin belum terpikirkan sebelumnya, mengungkapkan emosi atau nilai dalam diri dan yang dapat mendorong coachee untuk membuat sebuah aksi bagi pengembangan potensi diri.

Menurut Wijayanti, dkk, (2020:33-34) ada enam jenis pertanyaan yang perlu dikuasai coach, yaitu: a) pertanyaan terbuka, b) pertanyaan berfokus pada tujuan, c) pertanyaan reflektif, d) pertanyaan eksploratif, e) pertanyaan mengukur pemahaman, f) pertanyaan aksi.

Berikut ini table tentang keenam pertanyaan di atas.


G. Keterampilan Memfasilitasi Pembelajaran

Saat ini berkembang istilah pendidikan menggunakan paradigm baru. Istilah paradigma baru merujuk pada peran guru di kelas atau sekolah. Dulu guru merupakan subjek pembelajaran atau sering disebut dengan pembelajaran berpusat pada guru. Saat ini pembelajaran diharapkan berpusat pada siswa. Artinya proses pembelajaran seyogyanya mengedepankan kepentingan dan kebutuhan siswa. Oleh sebab itu, kedudukan guru tidak lagi menjadi actor, tetapi guru sebagai fasilitator.

Guru sebagai fasilitator artinya guru memfasilitasi proses pembelajaran. Fasilitator bertugas memfasilitasi kegiatan belajar peserta didik. Sebagai fasilitator guru berperan memfasilitasi kegiatan pembelajaran dalam rangka mencapai tujuan pendidikan. Guru sebagai fasilitator tugasnya bukan sekedar mengajarkan pengetahuan melainkan membina, membimbing, memotivasi serta memberikan penguatan-penguatan positif kepada peserta didik.

Ada lima indikator keberhasilan guru sebagai fasilitator, yaitu: 1) Guru menyediakan seluruh perangkat pembelajaran sebelum pembelajaran dimulai (seperti silabus, kurikulum, RPP, bahan evaluasi dan penilaian), 2) Guru menyediakan fasilitas pembelajaran berupa metode, media serta peralatan belajar, 3) Guru bertindak sebagai mitra, bukan atasan, 4) Guru melaksanakan tugas dan fungsinya yang telah ditentukan dalam Undang-undang, dan 5) Guru tidak bertindak sewenang-wenang kepada peserta didik (Wina Sanjaya:2008:42).

Untuk mencapai hal di atas, seorang guru seyogyanya dapat memerankan diri menjadi seorang coach, selain sebagi mentor yang baik. Jika guru sudah berberan menjadi coach, maka guru telah bentindak menjadi fasilitator.


 H. Teknik Coaching Model TIRTA

Teknik coaching model TIRTA dijelaskan dengan panjang lebar oleh Wijayanti, dkk. Wijayanti, dkk, (2020:38-42) menyatakan bahwa TIRTA dikembangkan dari satu model coaching yang dikenal sangat luas dan telah diaplikasikan, yaitu GROW model. GROW adalah kepanjangan dari Goal, Reality,Options dan Will. Pada tahapan 1) Goal (Tujuan): coach perlu mengetahui apa tujuan yang hendak dicapai coachee dari sesi coaching ini, 2) Reality (Hal-hal yang nyata): proses menggali semua hal yang terjadi pada diri coachee, 3) Options (Pilihan): coach membantu coachee dalam memilah dan memilih hasil pemikiran selama sesi yang nantinya akan dijadikan sebuah rancangan aksi. Will (Keinginan untuk maju): komitmen coachee dalam membuat sebuah rencana aksi dan menjalankannya.

TIRTA kepanjangan dari T: Tujuan, I: Identifikasi, R: Rencana aksi, dan TA: Tanggung jawab.

Tabel 3 Langkah Coaching Model TIRTA dan Contoh Pertanyaanya.

Langkah Coaching Model TIRTA


I. Manajemen Coaching di Sekolah

 Coaching memiliki dua fungsi, sebagai metode menyampaikan materi pembelajaran dan sebagai instrumen manajemen dalam melakukan monitoring dan evaluasi. Sebagai metode menyampaikan materi pembelajaran coaching dilakukan guru (coach) kepada siswa (coachee). Sementara sebagai alat monitoring dan evaluasi, coaching dapat dilakukan oleh pimpinan sekolah, yayasan, pengawas sekolah dan lain sebagainya.

Menurut Firdaus (tth: 39) prinsip yang harus dipegang oleh seorang Coach dalam konteks pembelajaran yaitu a)mendengarkan secara aktif apa yang ingin disampaikan oleh cache, b) memperlakukan hasil diskusi secara rahasia, kecuai jika ada kesepakatan dengan Coachee untuk membukanya ke public, c)memberi insprasi agar Coachee memiliki kemauan dan motivasi untuk menemukan sendiri solusi terhadap permasalahannya, d) mendorong Coachee untuk melihat gambaran besar pengembangan karir dan peribadinya, e)memberi umpan balik yang jujur, akurat dan konstruktif untuk menantang perspektif dan kepercayaan Coachee yang sempit dan membantunya untuk mengeksplorasi berbagai opsi yang dapat digunakan untuk mengatasi permasalahannya.

Bagian ini hanya akan mebahas coaching sebagai metode menyampaikan materi pembelajaran. Guru sebagai coach akan banyak memperoleh gambaran bagaimana coaching dilakukan di kelas. Beberapa hal yang akan dibahas yaitu a) siswa sebagai coachee, b) pemilihan waktu coaching, c) pengadminitrasian coaching.

Pertama, siswa sebagai coachee. Coachee adalah orang yang menerima bantuan dari coach untuk memaksimalkan kemampuannya melalui proses coaching. Jadi guru harus menyadari bahwa coachee bukanlah siswa yang bermasalah, bodoh atau nakal.

Kedua, pemilihan waktu coaching. Pemilihan waktu coaching pembelajaran dapat pilih oleh guru dalam beberapa bentuk pilihan, yaitu a) dilaksanakan di luar jam intrakurikuler, b) dilaksanakan pada jam intrakurikuler.  Pemilihan waktu tersebut harus disesuaikan dengan kondisi siswa dan permasalahan yang akan didiskusikan. Manakala permasalahan yang didiskusikan menyangkut hal-hal yang bersifat pribadi sebaiknya guru memilih waktu di luar jam intrakurikuler dan dilaksanakan secara individu. Tetapi jika masalah yang didiskusikan menyangkut masalah yang bukan rahasia, guru dapat menyelenggarakan coaching kelompok di ruang kelas. Itu pun harus dihitung penggunaan waktu agar tidak mengganggu target kurikulum.

Ketiga, pengadminitrasian coaching. Penjelasan mengenai pengadminitrasian coaching diadopsi dari buku “Pedoman Pembelajaran di Tempat Kerja" ditulis oleh Muhammad Firdaus, diterbitkan Lembaga Administrasi Negara RI.

Tahapan coaching dalam pembelajaran ada tiga langkah: a) Persiapan Coaching, b) Pelaksanaan, c) Monitoring dan Evaluasi.

Tahap persiapan coaching meliputi kegiatan a) identifikasi dan pemilihan Coachee, b) penyiapan dan penandatanganan kontrak komitmen tiga pihak: yang mewakili sekolah, coachee dan coach sesuai contoh instrument 3, c) untuk memastikan setiap pihak memahami ketentuan, hak dan kewajiban masing-masing maka perlu ada kerangka acuan kerja yang minimal memuat 1) mengapa coaching penting diprogramkan, 2) tujuan dan sasaran program Coaching, 3) hak dan kewajiban masing-masing pihak, 4) durasi dan jumlah sesi Coaching yang harus dipenuhi, dan 5) pelaporan; d) jika diperlukan siapkan surat tugas dari kepala sekolah kepada coach dan coachee.

Tahap pelaksanaan Coaching, pada tahap ini sebaiknya direncanakan pertemuan coaching dengan beberapa tahapan, misal a) tahap perkenalan, b) tahap coaching berkelanjutan.

Pada tahap perkenalan, coach dapat melakukan hal-hal berikut ini a) saling berkenalan dan menunjukkan sikap terbuka dan komitmen untuk bersama-sama menjalani peroses Coaching, b) menyusun bersama dan menyepakati tata-tertib dan tujuan dari Coaching, c) menyepakati peran dan tanggung jawab masing-masing, tetapi tetap terbuka untuk di ditinjau ulang bilamana diperlukan, d) menyepakati target hasil yang ingin dicapai. Hal ini sangat menentukan efektivitas Coaching dan manfaat yang diperoleh, e) menyusun dan menyepakati jadwal untuk beberapa sesi kedepan, f) membicarakan dan menyepakati hal-hal yang harus dirahasiakan, yang hanya boleh dibuka kepada pihak ketiga jika ada kesepakatan bersama.

Tahap coaching berkelajutan, tahap ini guru melaksanakan coaching dengan model TIRTA.  Lakukan pencatatan coaching pada “ Coaching Log” sebagimana contoh Instrumen 4.

Coachee juga perlu menyusun Jurnal Coaching Reflektif untuk merekam dan merefleksikan apa saja yang dipelajari dari setiap sesi dan bagaimana agar dia dapat memperoleh pembelajaran secara maksimal pada sesi berikutnya. Format Jurnal Coaching Reflektif dapat dilihat pada Instrumen 5.

Untuk mengakhiri kegiatan coaching dilaksanakan tahap monitoring dan evaluasi. Pada tahap ini guru melakukan monitoring dan evalauasi keberhasilan coaching. Monitoring dan evaluasi dapat dibantu teman sejawat atau kepala sekolah.


Ikhtisar

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpuklan sebagai berikut.

  1. Coaching merupakan suatu pendekatan kemitraan antara dua orang atau lebih yang salah satu pihaknya disebut coach dan pihak lainnya disebut coache (peserta didik). Peran pembina dalam program coaching adalah untuk membimbing dan menggali potensi serta kemampuan yang dimiliki oleh peserta didik untuk mencapai tujuan yang telah dirumuskan sebelumnya.
  2. Coaching dalam dunia pendidikan dapat dipandang dari dua fungsi, a) coaching sebagai metode pembelajaran, b) coaching sebagai instrument monitoring dan evaluasi program pendidikan di sekolah.
  3. Empat kompetensi seorang coach yaitu a) keterampilan membangun dasar proses coaching, b) keterampilan membangun hubungan baik, c) keterampilan berkomunikasi, dan d) keterampilan memfasilitasi pembelajaran.
  4. Coaching Model TIRTA merupakan adopsi GROW model. TIRTA kepanjangan dari T: Tujuan, I: Identifikasi, R: Rencana aksi, dan TA: Tanggung jawab.
  5. Tahapan coaching dalam pembelajaran ada tiga langkah: a) Persiapan Coaching, b) Pelaksanaan, c) Monitoring dan Evaluasi.
Contoh Coaching Pendidikan

Coaching di SMAS Simanjaya Sekaran







Daftar Bacaan

Dwihartanti, Muslikhah. 2004. Komunikasi Yang Efektif . (Makalah) disampaikan pada kegiatan Pengabdian Kepada Masyarakat Tahun 2004 “Penyuluhan tentang Komunikasi yang Efektif bagi Guru TK di Kecamatan Panjatan.

Firdaus, Muhammad. Tth. Pedoman Pembelajaran di Tempat Kerja. Jakarta: Lembaga Administrasi Negara RI.

Leithwood, dkk. 2006. Learning to Realize Education Promise. World Bank World Development

Gallwey, T. 2008. The Inner Game of Tennis. New York: Random House Trade Paperbacks

Hall, L. M., & Duval, M. 2004. Meta Coaching Vol I: Coaching Change. Colorado: Neuro Semantic Publication.

Martoredjo, Nikodemus Thomas. 2014. Keterampilan Mendengarkan Secara Aktif dalam Komunikasi Interpersonal.  Jakarta: Jurnal Humaniora Vol.5 No.1 April 2014, hal.501-509.

Moeliono, A. M. 1988. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.

Sanjaya, Wina. 2006. Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan. Jakarta: Kencana.

Siti Sayyidah Ummayyah. 2018. Pengaruh Program Coaching (Pembinaan) di Bimbingan Belajar Smartplus Indonesia terhadap Nilai Try Out (Uji Coba) SBMPTN Bidang Bahasa Indonesia Siswa Kelas XII IPA SMA (Skripsi). Jakarta: Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, UIN Syarif Hidayatullah.

Yahya, Rachmi Nursifa dan Triana Lestari. 2021. Pengaruh Guru Menyenangkan Melalui Metode Coaching Terhadap Proses Perkembangan Daya Pikir Anak Sekolah Dasar. Bandung: DWIJA CENDEKIA: Jurnal Riset Pedagogik, Volume 5 Nomor 2 Tahun 2021.

Yuliawan, Teddi Prasetya. 2011. Coaching Psychology: Sebuah Pengantar. Yogyakarta: Buletin Psikologi Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada. Volume 19, NO. 2.hal.45 – 54.

Wijayanti, Murti Ayu, dkk. 2020Paket Modul 2, Praktik Pembelajaran yang Berpihak Pada Murid, Modul 2.3 Coaching (Modul Program Guru Penggerak). Jakarta: Direktur Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan, Kemendikbud.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar

COACHING DALAM PENDIDIKAN

A. Pendahuluan            Senin, 1 Februari 2021 merupakan hari bersejarah bagi pendidikan Indonesia. Pada hari itu Menteri Pendidikan dan K...