Foto Kegiatan

Sabtu, 01 Desember 2012

ASPEK BUNYI DALAM PUISI



Aspek Bunyi dalam Teks Puisi
Rasmian, Curnia 2012

1.    Pendahuluan
Dalam puisi, bunyi berfungsi untuk memperdalam ucapan, menimbulkan bayangan angan yang jelas,dan suasana yang khusus (Pradopo, 1997: 22). Apalagi dalam sastra romantik (abad ke-18 s.d 19) dan aliran simbolis, para penyairnya ingin menciptakan puisi yang mendekati musik; merdu bunyinya dan berirama kuat. Lebih lanjut, teori simbolisme (Slametmuljana, 1956:57 dalam Pradopo, 1997: 22) menyatakan bahwa; (1) setiap kata itu menimbulkan asosiasi dan menciptakan tanggapan di luar arti yang sebenarnya, (2) untuk mencapai asosiasi, dapat menggunakan gaya bahasa, (3) tugas puisi adalah mendekati kenyataan dengan cara tidak perlu memikirkan arti katanya melainkan mengutamakan suara, lagu, irama, dan rasa yang timbul karenanya dan tanggapan-tanggapan yang mungkin dibangkitkannya.
Bagaimanapun pentingnya anasir bunyi/musik dalam puisi, puisi tetap berbeda dengan musik (Slametmuljana, 1956: 61 dalam Pradopo, 1997: 32). Bunyi kata tidak sanggup menjelmakan perasaan girang, sedih, gundah, murung, dll sekuat musik. Bunyi kata hanya dapat digunakan untuk memberi sugesti tentang suara riang dan sedih. Bunyi kata lepas dari artinya tidak dapat memberikan suasana sedih dan gembira seperti suara musik.

2.    Pembahasan
Di dalam puisi, bunyi kata bertugas sebagai simbol arti, orkestrasi, peniru bunyi (onomatope), lambang suara (klanksymboliek), dan kiasan suara (klankmetaphoor) (Slametmuljana, 1956: 61 dalam Pradopo, 1997: 32). Onomatope dapat menimbulkan tanggapan yang jelas dari kata-kata yang tidak menunjukkan adanya hubungan dengan hal yang ditunjuk. Klankmetaphoor tidak begitu banyak digunakan dalam puisi.  Lambang rasa banyak digunakan oleh penyair dalam sajak-sajaknya. Lambang rasa dihubungkan dengan suasana hati (Slametmuljana, 1956: 72 dalam Pradopo, 1997: 33).
Suasana hati yang ringan, riang dapat dilukiskan dengan bunyi vokal e dan i yang terasa ringan, tinggi, dan kecil. Misalnya pada kata-kata; sepi, kering, seni, pekik, perih, detik, rintik, gerimis, renik, terik, dll. Konsonan b-d-g-z-v-w dan vokal a, o, dan u terasa berat dan rendah yang dapat menyatakan perasaan sedih, gundah, dan murung. Misalnya pada kata-kata; gajah, gunung, gulung, salung, guruh, aduh, seru, debur, gaung, raung, dll.
Unsur kepuitisan bunyi yang lain ialah sajak (rima). Sajak ialah pola estetika bahasa yang berdasarkan ulangan suara yang diusahakan dan dialami dengan kesadaran (Slametmuljana, 1956:75). Sajak digunakan untuk mempertinggi mutu dan menimbulkan pengertian. Sajak dapat berupa ulangan suara yang diusahakan dengan penuh kesadaran.
Dalam kepuisian di Indonesia, terdapat sajak akhir, sajak dalam, sajak tengah, aliterasi, dan asonansi. Asonansi dan aliterasi berfungsi untuk memperdalam rasa selain untuk orkestrasi dan memperlancar ucapan. Asonansi dan aliterasi banyak digunakan oleh Amir Hamzah. Sajak akhir mengandung ekspresi apabila dapat membantu melahirkan dan melancarkan imajinasi dari penyairnya. Dengan demikian, sajak dapat memberikan dan memperkuat kepuitisan apabila mengandung hakikat ekspresi dan daya evokasi.
Sajak sebagai sarana estetika dibantah oleh aliran ekspresionis. Menurut aliran ekspresionis, sajak dapat menghalangi penjelmaan angan yang harus timbul oleh ucapan yang spontan keluar dan tepat (Slametmuljana, 1956: 93). Akibatnya, timbul sajak-sajak bebas yang tidak mementingkan pola sajak pada bagian akhir. Tokohnya antara lain Chairil Anwar.
Perkembangan selanjutnya, pemakaian bunyi dan persajakan dihidupkan kembali sesudah tahun 1950. Perbedaannya, tidak semata-mata memperhatikan pembuatan pola-pola bunyi yang teratur. Bunyi digunakan sebagai orkestrasi, menimbulkan bunyi musik yang merdu, dan disesuaikan dengan anasir-anasir kepuitisan yang lain. Apabila bunyi menghalangi ekspresi, dapat ditinggalkan. Asrul Sani, Sitor Situmorang, Toto Sudarto Bachtiar, W.S Rendra merupakan penyair-penyair yang mempergunakan unsur bunyi dengan baik sehingga sajak-sajaknya kedengaran merdu, kaya orkestrasi, dan melodius.  
Kreasi penulisan sastra tidak dapat dilepaskan dari penggunaan bahasa dengan berbagai bentuk manipulasinya berupa unsur kebahasaan. Unsur kebahasaan tersebut meliputi bunyi, kata, kalimat, maupun hubungan dalam satuan lain yang lebih besar (Aminuddin, 1995: 125). Dalam penulisan puisi, intensitas pemanipulasian bunyi sangat tinggi dan dalam penulisan prosa fiksi, yang dominan adalah pemanipulasian kalimat sebagai dialog ( Aminuddin, 1995:125). Unsur kebahasaan yang dipakai oleh pengarang dan penyair tidak dapat dilepaskan dari konteks keberadaan penutur sesuai dengan karakteristik zamannya ( Aminuddin, 1995: 125) sehingga perbedaan zaman juga ikut menentukan perbedaan ciri karya sastranya.
Dalam perkembangannya, bunyi dimanfaatkan sebagai sarana penciptaan suasana maupun kesamaran hubungan semantis (Aminuddin, 1995: 129). Misalnya pada puisi Sutardji Calzoum Bachri bunyi lebih penting daripada arti atau penampikan kekuatan kata atau bahasa sebagai alat estetik satu-satunya (Aminuddin, 1995: 129). Di tengah keterbatasan bahasa, gaya dapat membuka peluang penutur mengatasi keterbatasan bahasa sebagai sarana ekspresi.
Pemahaman bunyi dalam teks sastra dalam konteks kajian Stilistik  meliputi:
1.     memahami bunyi sebagai unsur yang terpisah  dan memelajari ciri hubungannya dengan unsur lain dalam satuan teksnya,
2.    bunyi dalam teks sastra keberadaannya bukan disikapi sebagai benda melainkan sebagai tanda yang secara asosiatif berperan sebagai unsur dalam merealisasikan gagasan, suasana, dll. yang terkait dengan tujuan dan motif penuturnya,
3.    kajian bunyi dalam karya sastra tidak dapat dilepaskan dari hubungan fungsionalnya dengan unsur lain dalam satuan sistem tandanya, hubungan fungsionalnya dengan tujuan dan motif penutur, dan efek yang ditimbulkannya pada pembaca (Aminuddin, 1995: 132).
Cara lain yang dapat digunakan untuk mengkaji pemahaman bunyi dalam teks sastra dalam konteks kajian Stilistik,  yaitu;
1.    pemenggalan hubungan antar larik atau enyambemen,
2.    penggunaan tanda baca titik atau huruf besar di awal urutan kata,
3.    penggunaan enyambemen yang disertai oleh penggunaan tanda baca koma,
4.    penggunaan tanda titik dua maupun tanda pisah (Aminuddin, 1995: 136).
Penggunaan bunyi dalam karya sastra, khususnya puisi memiliki beberapa ciri antara lain;
1.    paduan bunyi vokal dari kata yang berbeda, baik itu dikuti oleh konsonan yang sama atau berbeda dalam satuan larik yang sama yang lazim disebut asonansi,
2.    perulangan satuan bunyi pembentuk kata dalam larik yang sama yang lazim disebut mesodiplosis,
3.    paduan bunyi konsonan pada akhir kata dalam larik yang sama, baik itu diawali oleh vokal yang sama atau berbeda yang lazim disebut konsonansi,
4.    paduan bunyi konsonan pada awal kata dalam satuan larik  yang sama yang lazim disebut aliterasi,
5.    paduan bunyi konsonan pada akhir larik  yang berbeda tetapi berurutan dan diawali oleh vokal yang sama yang lazim disebut rima,
6.    paduan bunyi vokal pada akhir larik yang berbeda tetapi berurutan, baik itu diawali oleh konsonan yang sama atau berbeda yang lazim disebut rima vokal,
7.    paduan bunyi vokal pada akhir larik yang berbeda tetapi diselingi oleh larik yang diakhiri oleh bunyi vokal yang berbeda,
8.    bunyi suprasegmental meliputi penyendian, penjedaan, tempo, dan intonasi yang ditandai lewat cara penulisan dan tipografi (Aminuddin, 1995: 147).
Efek manipulasi bunyi dalam teks sastra dapat mengakibatkan:
1.    efek keindahan yang terjadi akibat adanya paduan bunyi yang memberikan unsur musikalitas,
2.    gambaran dunia acuan tertentu secara imajinatif  yang tertampil lewat penciptaan anomatopoeia,
3.    gambaran arti tertentu sejalan dengan gambaran makna yang dinuansakan kata-kata pembentuk paduan bunyinya,
4.    gambaran suasana tertentu sebagaimana tertampilkan lewat ciri artikulasi, bentuk, dan cara penulisan,
5.    gambaran hubungan kata atau unsur pembentuk teks sastra secara paradigmatis,
6.    gambaran kemungkinan pemilahan satuan-satuan hubungan sintagmatis yang dapat dianalogikan sebagai satuan kalimat maupun paragraf,
7.    gambaran gejala yang bersifat khas dan baru sesuai dengan etos penciptaan yang melatarbelakangi kreasi penciptaan yang dilakukan pengarangnya,
8.    memberi horison lain untuk mencoba keluar dari keterbatasan bahasa sebagai wahana ekspresi sejalan dengan motif maupun tujuan penuturnya (Aminuddin, 1995: 155).
Cara penggunaan bunyi dapat digunakan untuk menandai; (1) ciri teks yang terkait dengan ciri intensionalitas pengarangnya, (2) ciri referensialitas yaitu ciri karya sastra sebagai gejala komunikasi yang memiliki objek tuturan, (3) ciri keberterimaan dari penikmat karya sastra tersebut, (4) ciri kohesifitas ditandai oleh kesatuan hubungan unsur pembentuk teks sastra sebagai kesatuan yang muncul secara serempak, (5) ciri koherensifitas yaitu kesatuan hubungan konfigurasi gagasan yang ditampilkan lewat sistem tandanya, (6) ciri informativitas yaitu kebermaknaan teks sebagai sarana penyampaian pesan, dan (7) ciri intertekstualitas merujuk pada ketergantungan dan hubungan pemahaman suatu teks dengan teks lainnya.[1] 


4.      Kajian Puisi Berjudul Seribu Masjid Satu Jumlahnya karya Emha Ainun Najib dengan Menggunakan Aspek Bunyi
Puisi berjudul Seribu Masjid Satu Jumlahnya karya Emha Ianun Najib yang dianalisis dalam makalah ini  merupakan salah satu puisi  yang terkumpul dalam  buku Seribu Mesjid Satu Jumlahnya: Tahajjud Cinta Seorang Hamba yang diterbitkan oleh penerbit Mizan Bandung tahun 1990. Dalam buku tersebut termuat lima puluh judul puisi. Puisi ini dipilih dengan pertimbangan bahwa puisi tersebut dianggap puisi yang paling menarik. Hal tersebut masuk akal, buktinya penerbit memilih judul puisi tersebut sebagai judul buku antologi puisi tersebut.
Puisi ini sebenarnya merupakan sembilan judul puisi. Hal ini terlihat dari penggunaan kata satu, dua, tiga sampai sembilan yang diletakkan dibagian awal bait sebagai tanda pergantian judul. Seribu Masjid Satu Jumlahnya Satu terdiri atas dua bait, Seribu Masjid Satu Jumlahnya Tiga terdiri atas satu bait, Seribu Masjid Satu Jumlahnya Satu terdiri atas tiga bait, Seribu Masjid Satu Jumlahnya Empat terdiri atas dua bait, Seribu Masjid Satu Jumlahnya Lima terdiri atas tiga bait, Seribu Masjid Satu Jumlahnya Enam terdiri atas dua bait, Seribu Masjid Satu Jumlahnya Tujuh terdiri atas tiga bait, Seribu Masjid Satu Jumlahnya Delapan terdiri atas tiga bait, Seribu Masjid Satu Jumlahnya Sembilan terdiri atas empat bait. Sehinggga jumlah seluruhnya menjadi dua puluh empat bait.
Dalam makalah ini akan diulas aspek bunyi dan efek yang ditimbulkkannya. Berikut ini data aspek bunyi dalam puisi Seribu Masjid Satu Jumlahnya.

a)      Aspek Bunyi ( Asonansi dan Konsonansi)
Pemanfaatan bunyi dengan cara lain dapat pula dilakukan, yaitu dengan cara mengulang pemakaian bunyi. Pengulangan bunyi itu berupa pengulangan bunyi yang sama. Paduan bunyi konsonan pada akhir kata dalam larik yang sama, baik itu diawali oleh vokal yang sama atau berbeda yang lazim disebut konsonansi.
Sedangkan asonansi merupakan pemanfaatan unsur bunyi vokal secara berulang –ulang dalam satu baris sajak. Paduan bunyi vokal dari kata yang berbeda, baik itu dikuti oleh konsonan yang sama atau berbeda dalam satuan larik yang sama yang lazim disebut asonansi.




Tabel 1 Aspek Bunyi Asonansi dan Konsonansi Puisi Seribu Masjid Satu Jumlahnya.
Bait
Bunyi Dominan
Temuan Data
Vokal
Konsonan
Ke-1

[a] [u] [i]
-

Dua, macamnya, satu, ruh, di, berdiri, di, hati

Ke-2
[u] [a]
[n]
Kalau, ruh, batu ;kalau, hantu ; kepada, bisa ; badan, didikan ;
Ke-3
[a]

dua, macamnya ;
Ke-4
[a]

antara, ada, tiada
Ke-5
[a] [i]

Di, hati ;jiwa, sukma ;membisikkanya, allah, taala ;kita,-nya, di,di ;diajri, menggali
Ke-6
[a] [i]

Memasuki, sunyi, tanpa, tanpa, warna

Ke-7
[a]
[n]
temboknya, karena ;bisa, kerena, asma,-Nya, kita ; dengan, ketakjuban
Ke-8
[a]
[k]
ketika, gentingnya ;gempa dindingnya ; bisa, membidiknya ; politik, tak
Ke-9
[a]

kita, bawa, mana-mana ; kita, bawa, sepeda, kota ; tanpa, mencopetnya
Ke-10
[a]

dada, cakrawala ; para, penguasa, betapa, kerdilnya ; semesta, raya
Ke-11
[a]
[n]
Jika, kita ;kuasa, para, kita ; kita,-nya ; mereka, hanya, kita ; terjun, genggaman
Ke-12
[a]
[n]
Dua, macamnya ; mungkin, kuburan
Ke-13
[a] [u]

Seribu, seribu ; cinta, -nya
Ke-14
[a]

Dua, macamnya ; hanya, punya, pertama ; segera, semesta ; karena, kiblatnya, hanya, berhala
Ke-15
[a]
[n]
Mereka, kedua ; sehingga, kakinya ; berkeliaran, gentayangan 
Ke-16
[a]
[t]
maka, waspada ; dua, jumlahnya ; syariat, hakekat ; tarikat, makrifat
Ke-17
[a]
[d] [h]
niscaya, hanya, belaka, jumlahnya ; masjid,masjid ; tujuh,sejarah ; ukhuwah, islamiyah
Ke-18
[i]
[h] [t]
Suami, istri ; jumlah, sebuah, sunah ; rakaat, shalat
Ke-19
[a]

Para, bercuriga 
Ke-20

[n]
Pesan, ubun-ubun ; tagihan, depan, cicilan
Ke-21
[u] [a]
[n]
Seribu, satu ; ketika, kepada ; peradapan, kebuntuan
Ke-22
[a]
[h] [n]
Digemgamnya, dunia ; sejumlah, allah, tumbuh, sejarah ; melainkan, dengan, kepemimpinan
Ke-23
[a]
[h] [n]
Kepada, berjuta ; kita, hayya ; allah, kalah ; muadzin, mengumandangkan

Puisi “Seribu Masjid Satu Jumlahnya” secara keseluruhan didominasi dengan adanya vocal /a/ /i/ dan /u/. Hal ini terlihat dari data pada tabel di atas vokal /a/terdapat pada bait 1,2,3,4,5,6,7,8,9,10,11,12,14,15,16,17, dan 19. Sedangkan vocal /i/ ada di bait 1,5,6, dan 10, serta vocal /u/ ada di bait 1, 2, 13, dan 14. Berdasarkan hal di atas asonansi dalam puisi ini didominasi oleh volak /a/, /i/, /u/.
Asonansi dalam puisi ini secara keseluruhan menciptakan efek estetika. Misalnya saja pasa bait pertama penggunaan  kata dua, macamnya, satu, ruh, di, berdiri, di, hati menimbukan efek bunyi yang merdu menyerupai  musik, sehingga menimbulkan efek keindahan dalam bait ini. Sedangkan penggunaan kata kita, bawa, mana-mana ; kita, bawa, sepeda, kota ; tanpa, mencopetnya pada bait kesembilan menimbulkan efek suasana bersemangat. Hal tersebut terutama didukung pilihan kata sekolah, kantor, pasar dan tamasya di baris kedua bait kesembilan.
Sedangkan bunyi konsonan yang dominan yaitu bunyi  /n/ dan /h/.  Vokal /n/  terdapat di bait 1, 7, 11, 12, 15, 20, 21, 22, dan 23, sedangkan vocal /h/ terdapat di bait 17, 18, 22, dan 23. Meski tidak dominan konsonan /d/, /k/ dan /t/ juga ditemukan di puisi ini. Konsonan /d/ terdapat di bait 17, konsonan /k/ terdapat di bait 8 dan konsonan /t/ terdapat di bait 16 dan 17.
Seperti halnya  asonansi, konsonansi pada puisi ini memimbulkan efek tertentu dalam puisi. Misalnya saja penggunaan konsonan /n/ pada terjun, genggaman bait kesebelas menimbulkan efek suasana yang semangat. Senada dengan penggunaan /n/ di bait kesebelas, penggunaan /n/ di bait lima belas juga menimbulkan efek penekanan makna tertentu. Hal tersebut dapat ditemukan pada penggunaan /n/ dalam kata berkeliaran dan gentayangan  di baris kedua. Hal ini dikuatkan oleh  penggunaan /n/ di baris ketiga dan keempat pada kata pijakan dan berjalan.


b)      Aspek Bunyi (Rima)
Rima adalah pengulangan bunyi dalam puisi yang berfungsi untuk membentuk musikalisasi atau orkestrasi. Dengan adanya rima itulah, efek bunyi, makna yang dikehendaki penyair semakin indah dan makna yang ditimbulkannyapun lebih kuat; pengulangan bunyi yang berselang, baik di dalam larik sajak maupun akhir larik sajak yang berdekatan.
Tabel 2 Aspek Bunyi (Rima) Puisi Seribu Masjid Satu Jumlahnya
Bait
Rima
Temuan Data
Ke-1
abcc
Macamnya, badan, berdiri, hati
Ke-2
abbb
Satunya, batu, hantu, bertamu
Ke-3
abcc
Macamnya, logam, terperi, sejati
Ke-4
aaaa
bata, mana, tinggalnya, tiada
Ke-5
aaaa
Bata, sukma, taala,-nya
Ke-6
abaa
Bata, bersujud, jiwa, warna
Ke-7
aaaa
Badan, hujan, ketakjuban, zikirkan
Ke-8
aaaabaaa
Binasa, warnanya,gentinya, dindingnya, mengabdi, menikamnya, membidiknya, memenjarakannya
Ke-9
aaaa
Mana, tamasya, kota, mencopetnya
Ke-10
aaaa
Pendeknya, cakrawala, kedilnya, raya
Ke-11
abbb
Ruh, kita, -nya, kita
Ke-12
abcd
Macamnya, kaku, digenggam, kuburan
Ke-13
aaaa
Kita, sana, semesta, -nya
Ke-14
aaaa
Macamnya, pertama, dagingnya, berhala
Ke-15
abbb
Kedua, gentayangan, pijakan, berjalan
Ke-16
aabb
Waspada, jumlahnya, hakikat, makrifat
Ke-17
abcc
Masjid, jumlahnya, sejarah, islamiyah
Ke-18
aabb
Bidah, sunah, istri, kembali
Ke-19
aabb
Bercuriga, lainya, khalifah, imamah
Ke-20
aaaa
Dibangun, didirikan, ubun-ubun, cicilkan
Ke-21
aab
Badan, kebubtuan, kawruh
Ke-22
aabb
Sejarah, allah, kekuasaan, kepemimpinan
Ke-23
aaaa
Kalah, nubuwah, langkah, falah

Rima yang ditemukan di dalam puisi Seribu Masjid Satu Jumlahnya adalah rima aaaa, aabb, abcc, abbb, abaa, abcd, aab, dan aaaabaaa.  Rima aaaa meupakan rima yang paling sering muncul dalam puisi tersebut. Rima ini muncul  Sembilan kali yaitu di bait 4, 5, 7, 9, 10, 13, 14, 20, dan 23. Rima aabb muncul empat kali yaitu di bait 16, 18, 19 dan 22. Rima abbb dan abcc masing-masing  muncul  tiga kali yaitu di bait 2, 11, 15 dan 1, 3, 17. Rima abaa, abcd, aab, dan aaaabaaa masing- masing muncul  satu kali yaitu di bait 6, 12, 21, dan 8. Berdasarkan data tersebut dalam puisi  ini rima yang dominan adalah aaaa dan aabb.
Seperti halnya pada aspek asonansi dan konsonansi, aspek rima dalam puisi ini juga mencipkakan keindahan puisi yang ditulis Emha ini. Sebagai contoh penggalan berikut.
Masjid batu bata
Berdiri di mana-mana
Masjid sejati tak menentu tempat tinggalnya
Timbul tenggelam antara ada dan tiada (bait 4).

Pengganaan kata bata, mana, tinggalnya, dan tiada pada akhir baris kesatu, kedua, ketiga  dan keempat  dengan variasi dan rima pada puisi tersebut menimbulkan sebuah irama yang menciptakan sebuah irama yang indah.

c)      Aspek Bunyi (Anafora)
Satu lagi cara memanfaatkan bunyi didalam sajak guna menimbulkan unsur kepuitisan disebut Anafora dan Epifora. Pengulangan bunyi dalam bentuk kata yang sama pada awal larik disebut Anafora. Sedangkan Epifora adalah penghilangan bunyi dalam bentuk kata yang sama pada akhir-akhir larik saja. Karena adanya persamaan bentuk yang diulang maka sekaligus pengulangan itu menyangkut pengulangan bunyi yang sama.
Makalah ini hanya  membahas anafora dalam puisi Seribu Masjid Satu Jumlahnya.
Korpus  data 1
Masjid itu dua macamnya
Satu ruh, lainnya badan
Satu di atas tanah berdiri
Lainnya bersemayam di hati  (bait 1)
Tak boleh hilang salah satunya
Kalau ruh ditindas, masjid hanya batu
Kalau badan tak didirikan, masjid hanya hantu
Masing-masing kepada Tuhan tak bisa bertamu  (bait 2)
Masjid batu bata
Berdiri di mana-mana
Masjid sejati tak menentu tempat tinggalnya
Timbul tenggelam antara ada dan tiada  (bait 4)
Masjid itu dua macamnya
Masjid badan berdiri kaku
Tak bisa digenggam
Tak mungkin kita bawa masuk kuburan  (bait 12)
Seribu masjid dibangun
Seribu lainnya didirikan
Pesan Allah dijunjung di ubun-ubun
Tagihan masa depan kita cicilkan (bait 20)
Sebagaimana yang terlihat dalam bait 1, 2, 4, 12, 20 puisi  Seribu Masjid Satu Jumlahnya meski tadak dominan Emha Ainun Najib mesih menggunakan anaphora untuk meciptakan keindahan bunyi dalam puisinya. Ketidakdominan penggunaan anaphora terlihat dari jumlah bait dalam puisi tersebut yang menggunakan anfora. Puisi tesebut terdiri atas 23 bait, sedangkan anaphora dalam puisi tersebut hanya 5 bait.
 Anafora yang digunakan Emha dalam puisi tersebut selain menimbulkan efek keindahan juga difiungsikan untuk memberikan penekanan makna. Hal tersebut terlihat pada bait dua puluh. Penggunaan kata seribu pada baris pertama dan diulang pada baris kedua merupakn upaya penyair menekankan makna ‘banyak masjid’.
5.      Simpulan
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa
a)      Aspek bunyi dalam karya sastra merupakan bagian kajian stilistika.
b)      Aspek bunyi dalam karya sastra dalam konteks kajian stilistika dapat dikaji dari aspek 1) memahami bunyi sebagai unsur yang terpisah  dan memelajari ciri hubungannya dengan unsur lain dalam satuan teksnya, 2) bunyi dalam teks sastra keberadaannya sebagai tanda yang secara asosiatif berperan sebagai unsur dalam merealisasikan gagasan, suasana, dll. yang terkait dengan tujuan dan motif penuturnya, 3) kajian bunyi dalam karya sastra tidak dapat dilepaskan dari hubungan fungsionalnya dengan unsur lain dalam satuan sistem tandanya, hubungan fungsionalnya dengan tujuan dan motif penutur, dan efek yang ditimbulkannya pada pembaca.
c)      Aspek bunyi dalam kajian stilistika dapat  mengakibatkan 1) efek keindahan, 2) gambaran dunia acuan tertentu secara imajinatif, 3) gambaran arti tertentu, 4) gambaran suasana tertentu, 5) gambaran hubungan kata atau unsur pembentuk teks sastra secara paradigmatis, 6) gambaran kemungkinan pemilahan satuan-satuan hubungan sintagmatis yang dapat dianalogikan sebagai satuan kalimat maupun paragraf, 7) gambaran gejala yang bersifat khas dan, 8) memberi horison lain untuk mencoba keluar dari keterbatasan bahasa sebagai wahana ekspresi sejalan dengan motif maupun tujuan penuturnya.


1 Aminuddin 1995 hal 156-164

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

COACHING DALAM PENDIDIKAN

A. Pendahuluan            Senin, 1 Februari 2021 merupakan hari bersejarah bagi pendidikan Indonesia. Pada hari itu Menteri Pendidikan dan K...