Foto Kegiatan

Minggu, 22 Juli 2012

Analisis Moralitas Novel Sang Alkemis


ASPEK MORALITAS DALAM NOVEL SANG ALKEMIS KARYA PAULO COELHO
Ditulis Oleh Rasmian, email :riasmian71@gmail.com

A.    Pengantar
Karya sastra ditulis sebagi sarana menyampaikan gagasan kepada pembaca. Hal tersebut disebabkan karya sastra terkandung mengandung nilai makna. Sebab sastra selalu menggunakan media bahasa sebagai alat penyampai pesan. Sastra sebagai sasrana komunikasi berarti sastra merupakan media berkumunikasi antara penulis denga penikmatnya. Apa yang ditulis sastrawan di dalam karya sastranya adalah apa yang ingin diungkapkan sastrawan kepada pembacanya. Selanjutnya, sastrawan dalam menyampaikan idenya tidak bisa dipisahkan dari latar belakangnya dan lingkungannya
Gagasan dalam sastra terutama sastra berbentuk cerita disampaikan melalui tokoh cerita. Tokoh cerita, menurut Abrams (1981) dalam Nurgiyantoro (2005:165) adalah orang yang ditampilkan dalam suatu karya naratif atau drama yang oleh pembaca ditafsirkamn memiliki kualitas moral.
Tokoh dalam cerita mengandung unsur nilai tertentu. Tokoh-tokoh cerita ditampilakan dengan jalan diberi watak tertentu yang mencerminkan sikap pengarang dalam kehidupan sehari hari. Dengan demikian tokoh ditampilakan untuk menyampaikan nilai-nilai tertentu dalam masyarakat secara imajinatif.
Nilai moral merupakan nilai dalam kehidupan manusia yang memiliki kedudukan penting dalam kehidupan. Nilai moral dapat menetukan seseorang dikatakan baik atau buruk. Nilai moral akan dapat menuntun manusia hidup di jalan yang benar.
Novel Sang Alkemis merupakan salah satu novel terjemahan yang mengandung nilai moral tinggi. Oleh karena itu penulis tertarik untuk mengaji novel tersebut.
Berdasarkan hal tesebut penulis akan menganalisis novel tersebut dari aspek moralitas.

B.     Aspek Moralitas
Secara etimologis, kata moral  berasal dari kata  mos dalam bahasa  Latin, bentuk  jamaknya  mores,  yang  artinya  adalah  tata-cara  atau  adat-istiadat.  Dalam Kamus Besar Bahasa  Indonesia (2008: 592), moral diartikan sebagai akhlak, budi pekerti, atau susila. Secara terminologis, terdapat berbagai rumusan pengertian moral, yang  dari  segi  substantif  materiilnya  tidak  ada   perbedaan,  akan  tetapi  bentuk formalnya berbeda.  
Bertens (2005:143-147) mengemukakan bahwa moral berkaitan dengan pribadi manusia yang bertanggung jawab. Artinya ia bisa mengatakan salah atau tidak bersalah karena ia merasa bertanggung jawab. Nilai moral terkandung unsur imperative atau memerintah. Artinya jika kita memiliki keinginan menolong orang berarti kita telah diperintah moral menolong dalam diri kita. Dengan demikian nilai moral mengikutkan nilai-nilai lain dalam tingkah laku.
Sebagaimana dikenal dalam kajian tentang  macam-macam norma,  dikenal adanya  empat  macam  norma,  yaitu  norma  keagamaan,  norma  kesusilaan,  norma kesopanan, dan norma hukum.  Norma kesusilaan itu lebih bersumber pada prinsip- prinsip  etis  dan  moral  yang  bersifat   Objektivistik-universal.  Sedangkan  norma kesopanan  itu bersumber  pada  prinsip-prinsip  etis  dan   moral  yang  bersifat relativistik-kontekstual.  Sejalan dengan hal ini, Widjaja (1985: 154) mengemukakan bahwa persoalan moral dihubungkan dengan etik membicarakan tentang tata susila dan  tata  sopan  santun.  Tata  susila  mendorong  untuk  berbuat  baik,  karena  hati kecilnya  mengatakan baik, yang dalam hal ini bersumber dari hati nuraninya, lepas dari hubungan dan pengaruh orang lain. Tata sopan santun mendorong untuk berbuat baik,  terutama  bersifat  lahiriah,  tidak  bersumber  dari hati  nurani,  untuk  sekedar menghargai orang lain dalam pergaulan. Dengan  demikian tata sopan santun lebih terkait dengan konteks lingkungan sosial, budaya, adat istiadat dan sebagainya.
Moral  dalam karya sastra  merupakan sesuatu yang igin disampaikan pengarang kepada pembaca, merupakan makna yang terkandung dalam karya sastra, makna yang disaratkan lewat cerita. Moral dapat dipandang sebagai tema dalam bentuk yang sederhana, tetapi tidak semua tema merupaka moral Kenny dalam Nurgiyantoro (2005: 320). Moral merupakan pandangan pengarang tentang nilai-nilai kebenaran dan pandangan itu yang ingin disampaikan kepada pembaca. Hasbullah (2005: 194) menyatakan bahwa, moral merupakan kemampuan seseorang membedakan antara yang baik dan yang buruk.
Nilai moral yang terkandung dalam karya sastra bertujuan untuk mendidik manusia agar mengenal nilai-nilai etika merupakan nilai baik buruk suatu perbuatan, apa yang harus dihindari, dan apa yang harus dikerjakan, sehingga tercipta suatu tatanan hubungan manusia dalam masyarakat yang dianggap baik, serasi, dan bermanfaat bagi orang itu, masyarakat, lingkungan, dan alam sekitar.
Uzey (2009:2) berpendapat bahwa nilai moral adalah suatu bagian dari nilai, yaitu nilai yang menangani kelakuan baik atau buruk dari manusia. Moral selalu berhubungan dengan nilai, tetapi tidak semua nilai adalah nilai moral. Moral berhubungan dengan kelakuan atau tindakan manusia. Nilai moral inilah yang lebih terkait dengan tingkah laku kehidupan kita sehari-hari.
Senada dengan hal di atas Nurgiayantoro (2010:321) mengemukakan bahwa karya fiksi senantiasa menawarkan pesan moral yang   berhubungan dengan sifat-siafat luhur kemanusian, memperjuangkan hak dan martabat manusia.

C.    Aspek Moralitas Novel Sang Alkemis
Pembicaraan mengenai moralitas dalam novel San Alkemis ini akan hanya dibatasi pada tokoh Santiago saja. Hal tersebut dengan pertimbangan bahawa Santiago merupakan tokoh utama dalam novel ini.  
Dalam Sang Alkemis, Santiago digambarkan sebagai sosok anak gembala yang memiliki  mimpi. Mimpi yang di maksud di sini adalah cita-cita. Untuk mencapai cita-citanya ia berani mengambil resiko, konsisten, dan ulet.
Gambaran tentang cita-cita Santiago terdapat dalam kisah Santiago ingin menjadi penggembala seperti kisah dalam buku yang pernah dibacanya, dan keinginan Santiago mengejar harta karun di Piramida setelah ia bermimpi mendapat harta karun dalam perjalanan penggembalaan.
Penggalan berikut ini menunjukkan hal tersebut.
Ia adalah seorang anak yang berkeinginan  mengetahui  dunia  dan  menganggap  bahwa  seminari  tidak  akan membantunya dalam mempelajari Tuhan beserta dosa-dosa manusia, sebagaimana kutipan berikut
Dia pernah  belajar bahasa Latin, Spanyol  dan  teologi. Akan tapi sejak kanak-kanak,   dia   sudah   ingin  tahu  tentang  dunia,  dan   ini  jauh  lebih   penting  baginya  daripada mengetahui Tuhan  dan  mempelajari dosa-dosa manusia. Suatu siang, saat mengunjungi keluarganya,  dia  memberanikan diri  mengatakan kepada ayahnya   bahwa  dia tidak ingin jadi pastur. Bahwa dia ingin berkelana”(Coelho, 2011:14).
Kutipan di atas menunjukkan keingin Santiago yang sangat kuat, yang dalam bahasa lain dapat dikatakan sebagai ulet.  Keinginan  Santiago  inilah  yang   menyebabkan  ia  menjadi  seorang  gembala. Walaupun   sejak  kecil  ia didik agar  dapat  menjadi  seorang  pendeta  dan mengangkat derajat keluarganya, lebih memilih menjadi pengembara dengan cara menggembalakan domba, dengan harapan ia dapat mengetahui dunia seperti yang ia inginkan sejak kecil. Suatu ketika ayahnya menjelaskan padanya bahwa dimana pun  dan  apapun  di  dunia  ini  sebenarnya  sama  saja.  Namun  bagi  Santiago, keinginannya untuk melihat dunia di luar tanah kelahirannya, adalah lebih penting dari  apapun,  dan  hal  tersebut  adalah  yang  terbaik  baginya  untuk  menjalani kehidupannya.  Adu  argumen  yang  terjadi  antara  Santiago  dan  ayahnya  menurut penulis merupakan cara Santiago agar keinginannya dapat terpenuhi. Dan ia berhasil.
Data lain yang menunjukkan keingin yang sangat kuat dalam diri Santiago digambarkan pada kisah ketika Santiago ingin bermimpi mencapai Piramida di Mesir. Untuk sampai ke sana Santiago harus menjual domba-dombanya, sebagaimana kutipan ini ’’Domba-dombaku yang lain langsung dibeli oleh temanku”( Coelho, 2011:38-39).
Di perjalanan ia harus kehilangan uangnya karena di rampok. Namun demikian ia tidak patah semangat. Ia kemudian bertemu dengan penjual Kristal dan bekerja di toko Kristal selama hampir satu tahun. Ia harus menjalankan misinya untuk sampai di Mesir. Kali ini ia berhadapan dengan padang pasir yang laus dan budaya yang berbeda dengan budaya negerinya. Toh akhirnya ia dapat melaluinya.
Bahwa tokoh Santiago dalam mengejar cita-citanya, ia melakukannya dengan cara berani mengambil resiko.  Hal tersebut digambarkan oleh pengarang melalui kisah Santiago menjadi pegawai di toko Kristal. Resiko yang dihadapi Santiago telah dijelaskan di muka bahwa di perjalanan menuju piramida ia harus menempuh perjalan yang cukup jauh. Di perjalan ia kehilangan uang, ia harus bekerja selama satu tahun di toko Kristal, ia harus melintasi padang pasir yang cukup luas, di padang pasir ia harus menerima anacaman kematian dari ketua suku.
Bahwa dalam mengejar cita-citanya Santiago menghadapinya dengan penuh kesabaran, sebagaimana petikan berikut “anak itu sudah hampir sebulan bekerja padasi pedagang Kristal, dia menyadari ini tidak cocok untuknya dan tidak bakal membutnya bahagia… tapi anak itu bertahan bekerja di sana” (Coelho, 2011:67)..
Anak dalamkutipan di atas adalah Santiago. Ia sebenarnya tidak betah  tinggal di toko Kristal itu. Hal tersebut ditunjukan oleh kata pekerjaan itu tidak cocok. Tapi dia tetap bertahan di sana. Pernyataan tersebut membuktikan dia sabar.
Kesabaran Santiago dalam menjalankan impiannya juga ditunjukkan pada peristiwa ia harus menyerahkan seluruh hasil kerjanya selama satu tahun kepada ketua suku di Padang pasir. Perhatikan petikan berikut ini, “kemudian sang alkemis mengambil kantong anak itu dan memberikan keping-keping mata uang emas di dalamnya kepada pimpinan  pasukan”( Coelho, 2011:179).. Santiago diam dan terus mengikuti perintah alkemis.  Tindakandiam yang dilakukan Santiago dalam kutipan tersebut menunjukkan bahwa dia adalah oaring yang sabar.
Apa pesan moral yang dapat diperoleh dari keingin Santiago tersebut? Nurgiyantoro (2005:322) mengungkapkan  bahwa pesan moral merupakan hikmah yang diperoleh oleh pembaca lewat sastra. Hikmah tersebut merupakan penafsiran pembaca. Setiap pembaca akan menafsirkan satu peristiwa sesuai dengan cara pandangnya.
Moralitas tidak hanya diartikan sebagai bagai norma baik dan buruk dalam arti yang sempit. Arinya jika seseorang mencuri berari tidak bermoral. Sebaliknya jika seseorang berbuat jujur berate ia bermoral. Moralitas juda dapat dipandang sebagi bentuk perilaku yang menunjukkan eksistensi diri seeorang. Eksistensi itu misalnya seseorang berbuat kebaikan kepada dirinya sendiri. Misalnya saja ia dapat mengtur irama hidupnya sehingga ia dapat menempatkan dirinya pada tataran kehidupan yang libih baik.
Dalam konteks tokoh Santiago, hal tersebut terlihat dari cita-cita Santiago menuju harta karun di piramida di Negara Mesisr. Dengan penuh kegigihan ia ingin mencapaihal itu. Cita-tita Santiago tersebut  merupan upaya menempatkan dirinya untuk mencapai kehidupanya yang dianggapnya lebih baik.
Dalam kisah di atas menurut hemat penulis, pesan moral yang disampaikan pengarang kepada pembaca adalah dalam kehidupan kita harus memiliki cita-cita atau impian. Dengan impian atau cita-cita maka kita akan hidup yang sebenarnya. Sebab dengan cita-cita kita akan bergerak untuk mencapainya. Hidup adalah aktivitas dan aktivitas dapat berjalan jika kita punya keinginan untuk mencapai aktivitas tersebut.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

COACHING DALAM PENDIDIKAN

A. Pendahuluan            Senin, 1 Februari 2021 merupakan hari bersejarah bagi pendidikan Indonesia. Pada hari itu Menteri Pendidikan dan K...