Foto Kegiatan

Minggu, 10 Maret 2013

PENERAPAN HUKUM EPIK ALA AXEL OLRIX PADA HIKAYAT SULTANUL INJILAI


PENERAPAN HUKUM EPIK ALA AXEL OLRIX
PADA HIKAYAT SULTANUL INJILAI
Oleh : Rasmian
Wachid Hasjim Maduran, Lamongan.
A.    Pendahuluan
Membaca karya sastra lama Indonesia bagaikan menjelajah kebudayaan Indonesia di masa lalu. Dengan membaca sastra lama kita dapat menikmati kehidupan yang tergambarkan dalam sastra tersebut. Sebab karya sastra memang meefleksikan kehidupan di masanya.
Hikayat sebagai salah satu jenis sastra lama, juga demikian.  Dalam  hikayat yang istana sentris kita seakan menjelajah kehidupan di kerajaan tertentu yang tidak pernah kita alami dalam dunia saat ini.
Untuk memehami sastra terlebih dahulu kita harus memahami struktur sastra itu. Sebab  struktur sastra merupakan sebuah sistem yang mengandung gagasan pokok.  Sementara itu Axel Olrix dalam Dananjaja yang dikutip Sudikan (2001:72) menyatakan bahwa struktur atau susunan cerita prosa rakyat terkait dengan hukum-hukum yang sama yang olehnya disebut sebagai hukum epos. Hukum epos merupakan sesuatu yang superorganik yaitu sesuatu yang berada di atas cerita rakyat yang selalu mengendalikan para juru cerita.
Berdasarkan hal-hal tersebut makalah ini bertujuan mendeskripsikan hukum-hukum epos yang terdapat dalam Hikayat Sultanukl Injilai.

B.     Hukum Epik ala Axel Olrix
Menurut Olrix dalam Dundes sebagaimana dikutip Sudikan (2001:72-73) hukum-hukum epik terdiri atas tiga belas butir. Hukum-hukum itu sebagai berikut.
1.      Hukum pembukaan dan penutup.
2.      Hukum pengulangan.
3.      Hukum tiga kali.
4.      Hukum dua tokoh di dalam satu adegan.
5.      Hukum keadaan berlawanan.
6.      Hukum anak kembar.
7.      Hukum Pentingnya Tokoh-Tokoh yang Keluar pertama dan yang Keluar Terakhir
8.      Hukum ada satu pokok cerita saja dalam satu cerita.
9.      Hukum bentuk berpola cerita rakyat.
10.  Hukum penggunaan adegan-adegan tablo.
11.  Hukum logika legenda.
12.  Hukum kesatupaduan rencana cerita.
13.  Hukum pemusatan pada tokoh utama dalam cerita rakyat.

C.     Alur Cerita Hikayat Sultanul Injilai
Alur cerita Hikayat Sultanul Injilai dapat disusun sebagai berikut.
1.     Sultanul Injilai adalah seorang raja yang mempunyai istri bernama Siti Safiah. Ia memiliki dua orang putra kembar bernama Abdul Jumali dan Abdul Julali.
2.     Pergilah mereka berjalan jalan ke kebun disertai orang kepercayaannya (pakkalawing epuk). Ia melihat burung tekukur. Burung tersebut disampit oleh Sultanul Injilai. Sultan pun akan menyembelih buruh tersebut. Tetapi burung tersebut berkata bahwa jika ia dilepas maka ia akan menyampaikan tiga pesan yang penting. Salah satu pesannya adalah jika ia potong burung tersebut maka Sultan akan mendapatkan tiga biji intan sabesar  telur itik di dalam perut burung tekukur. Maka dilepaslah burung itu. Ternyata hal itu hanya tipu muslihat burung tekukur. Burung tekukurpun mengatakan bahwa Sultanul Injilai adalah orang yang paling tolol.
3.     Tidak lama  dari peristiwa itu Sultanul Injilai dipecat dari kedudukkannya sebagai raja oleh dewan rakyat dan para panglima kerena kobodohannya.
4.     Setelah pemecatan itu, Sultanul Injilai, istri, dan kedua anaknya meninggalkan negerinya.
5.     Pada suatu hari sampailah perjalanan Sultan dan keluarganya di sebuah tanah lapang. Di tanah tersebut bedirilah pohon yang bernama As-sajaratul Muhayati. Di pohon itu burung tekukur yang pernah disumpit raja hidup bersama anak-anaknya yang baru lahir. Melihat sarang burung tekukur tersebut menangislah anak Sultan yang bernama Abdul Julali. Ia minta agar ayahnya mengambilkan sarang burung tersebut untuk mainan. Sultan melarang hal tersebut, karena  sultan merasa bahwa kesengsaraan yang dialami sekarang disebabkan oleh burung tekukur. Tetapi karena desakan anaknya akhirnya Sultan memanjat pohon As-sajaratul Muhayati dan mengambil sarang burung beserta anak burung tekukur. Ketika induk burung tekukur datang dan melihat sarang beserta anaknya dipakai mainan Abdul Julali maka ia berdo’a kepada Allah SWT. Da’a burung itu berbunyi “ Ya Tuhan, kabulkan doaku. Tolonglah  aku. Ceraiberaikan ia, istrinya dan anak-anaknya. Karena mereka telah mencerai-beraikan anak-anak saya”. Dikabulkannya doa tersebut.
6.     Ketika matahari mulai terbenam Sultan dan keluarganya meninggalkan tempat tersebut. Sultan berpesan kepada Abdul Julali agar mengmeblikan sarang dan anak burung tekukur yang dipakai mainan. Dalam perjalanan itu mereka menemukan sebah suangai luas. Sejauh mata memandang ke tepi sebarang tidak kelihatan. Sungai itu bernama An-Nahrul Amin. Di sana tidak ada penyeberangan. Sulatan akhirnya mencari perahu. Bertemulah Sultan dengan sebuiah perahu kecil yang hanya mampu memuat maksimal tiga orang.Maka Sultan menyeberangkan istrinya dahulu. Sampai diseberang istrinya di tinggal untuk mengambil kedua anaknya. Samapi di tepi sungai tempat anaknya menunggu ternyata kedua anaknya tidak di tempat. Mereka telah dibawa oleh perahu pejala yang sedang lewat. Sultan pun mencarai kedua anaknya sampai kesal, tetapi tidak ditemukannya. Ia pun menyebrang sungai untuk menemui istrinya. Sampai di seberang istrinya juga tidak ada. Istrinya teah dibawa pergi oleh seorang pedagang yang sedang lewat. Maka menangislah raja dan ia pergi tanpa tujuan.
7.     Sedangkan di lain tempat, burung tekukur yang anaknya telah dikembalikan oleh Abdul Julali berdoa. Bunyi doanya adalah memohon maaf kepada Allah taala. Memohon agar raja dan anak-anaknya kembali berkumpul sebagaimana ia telah berkumpul dengan anak-anaknya.
8.     Dalam perjalanan itu bertemulah  Sultanul Injilai dengan seekor gajah kerajaan. Sultan pun takut. Ia berlari dan memanjat pohon. Gajah itu barkata, “Kemarilah engkau, walau kemana engkau akan kumakan jika engkau tidak mau naik ke punggungku.” Akhirnya Sultan naik ke pungung gajah. Sultan di bawa ke negeri yang bernama Biladu Tasnifi. Kerajaan ini membutuhkan raja sebab rajannya meninggal dunia. Raja yang mennggal dunia tidak akan dimakamkan sebelum menemukan raja baru.
9.     Maka datanglah Sultanul Injilai di kerajaan Biladu Tasnifi. Ia akhirnya dilantik menjadi raja dari kerajaan tersebut. Ia memimpin dengan adil. Kerajaan pun menjadi makmur.
10. Adapun pejala yang membawa Addul Jumali dan Abdul Julali berencana membawa anaknya ke kerajaan Biladu Tasnifi setelah mendengar akan keramahan dan kejujuran rajanya. Tujuan kedatangan pejala itu adalah menitipkan anaknya supaya kedua anak tersebut mendapat pendidikan. Tinggallah Addul Jumali dan Abdul Julali di kerajaan Biladu Tasnifi. Tidak lama mereka tinggal, mereka telah disasangi oleh raja dan dianggkat menjadi pakkalawing epuk utama.
11. Begitu juga pedagang yang membawa Siti Safiah (istri sultan), pergi berdagang ke kerajaan Biladu Tasnifi bersama Siti Safiah. Di kerajaan itu dagangannya laris. Ia bermaksud menemui raja (Sulnanul Injilai) dan membawakan oleh-oleh buat raja. Ketika akan pamit pulang sang Sultanul Injilai melarang kepulangan pedagang tersebut. Pedagang beralasan bahwa ia harus pulang karena meninggalkan istri di perahu, sebab di sana tidak ada orang yang dapat ia percaya. Raja pun akhirnya memerintahkan pakkalawing epuk  yang tidak lain adalah Abdul Jumali dan Abdul Julali.
12.  Pada saat bertugas menjaga, Abdul Julali tertidur dan dibangunkan oleh kakaknya Abdul Jumali. Julali marah-marah.  Jumali pun menasehati adiknya. Dalam nasehatnya Jumali berkata, “Coba pikirkan Dik, kita mengalami nasib yang demikian ini karena kita singgah dan bernaung di bawah pohon kayu yang bernama assajarotul mahiyat. Engkau menangis minta anak tekukur untuk permaian. Ayanda mengambilkan anak tekukur itu. Berdoalah induk tekukur kepada Allah Taala dan dikabulkan doanya, sehingga kita mengalami nasib yang demikian. Ibu kita dibawa pedagang, kita diambil pejala, ayanda tidak tahu ke mana.” Ketika mendengar cerita tersebut Siti Safiah menangis meraung-raung, mendekap anaknya Abdul Jumali dan Abdul Julali. Gemparlah semua penghuni perahu mendengar hal tersebut. Mereka menyangka istri pedagang tersebut diperkosa oleh pakkalawing. Tersebarlah ke seluruh negeri berita itu. Raja  Sultanul Injilai mendengar berita itu.
13.  Raja sangat malu dan marah atas kejadian itu. Abdul Jumali dan Abdul Julali pun ditangkap. Raja memerintah hulubalang untuk mengantarkan Abdul Jumali dan abdul Julali ke hadapan algojo untuk dibunuh.
14. Hulubalang membewa Abdul Jumali dan Abdul Jumali ke hadapan algojo yang benama Muhalik. Muhalik tidak mau membunuh Abdul Jumali dan Abdul Julali dengan alasan keduanya belum ditanyai dan belum diadili, ia takut kepada Allah Taala.  Malah Muhalik bercerita kepada hulubalang bahwa dahulu boto (ahli nujum) yang dibunuh oleh raja gara-gara raja merasa dibohongi oleh raja tersebut. Padahal yang dikatakan boto itu benar, hanya raja yang salah tidak menuruti persyaratan boto. Raja pun menyesal telah mebunuh boto tanpa ditanyai dan diadili. Sebab dikemudian hari apa yang dikatakan boto itu ternyata benar.
15. Selanjutnya hulunalang membawa Abdul jumali dan Abdul Julali ke hadapan algojo kedua yang bernama Mukatil. Mukatil tidak mau mebunuh Abdul Jumali dan Abdul Julali dengan alasan keduanya belum ditanyai dan belum diadili, ia takut kepada Allah Taala. Mukatil bercerita kepada hulubalang itu tentang raja yang membunuh burung kesayangannya. Burung itu pernah bercerita kepada anak raja tersebut bahwa buah sajaratul malahat memiliki khasiat menyembuhkan orang sakit, mengubah wajah yang jelek menjadi cantik. Maka anak raja yang bernama Siti Maemunah mencoba hal tersebut kepada ayam.  Ternyata ayam yang makan buah itu mati. Dibunuhlah burung tersebut oleh raja tanpa diadilai dan ditanyai. Di kemudian hari ternyata apa yang dikatakan burung tersebut benar.  Raja pun menyesal akan perbuatannya.
16. Hulubalang akhirnya membawa Abdul Jumali dan Abdul Julali ke hadapan algojo ketiga yang bernama Mutain. Ia tidak mau mebunuh Abdul Jumali dan Abdul Julali dengan alasan keduanya belum ditanyai dan belum diadili, ia takut kepada Allah Taala.  Ia bercerita kepada hulubalang tentang seorang saudagar yang telah membunh anjingnya sebelum diytanyai dan diadili. Saudagar itu menyesal sebab anjing itu merupakan anjing yang setia menjaga istrinya ketika saudagar itu pergi berlayar.
17. Hulubalang akhirnya kembali kekerajaan menghadap Sultanul Injilai. Raja tsangat terkejut hulubalang mesih membawa Abdul Jumali dan Abdul Julali. Diceritakanlah apa yang sudah dialami hulubalang tersebut kepada raja. Raja pun memerintahkan untuk mengadili. Abdul Jumali dan Abdul Julali menceritakan kejadian yang sebenarnya di hadapan hakim dan raja. Demikian juga istri nahkoda.
18. Ketika mendengar kesaksian itu akhirnya Sultanul Injilai (raja) memeluk Siti Safiah, Abdul Jumali dan Abdul Julali. Mereka akhirnya berkumpul kembali.
Struktur alur hikayat ini dapat digambarkan sebagai berikut. Pada bagian awal cerita Sultanul Injilai yang karena kesalahannya ia dipecat menjadi raja. Di perjalanan keluarganya bercerai berai karena kesalahan anaknya Abdul Julali. Ia kembali menjadi raja karena pertolongan gajah. Ia memerintah dengan jujur dan adil. Ia berusaha membunuh pakkalawing tanpa diadili. Ia dingatkan algojonya agar pakkalawing diadili. Ia menuruti saran tersebut. Ternyata pakkalawing yang akan dibunuh tersebut adalah anaknya. Dari peristiwa itu diemukkan pula istrinya yang hilang. Akhirnya mera dapat berkumpul kembali dalam satu keluarga.
Struktur cerita yang demikian dapat digambarkan menjadi gambar berikut ini.

 



Awal                                            tengah                                                      akhir
Gambar pola alur Hikayat Sultanul Injilai.
Berdasarkan gambar di atas alur cerita hikayat ini merupakan alur maju. Pentahapan kejadian yang dimulai dari peristiwa awal, tengah dan akhir secara berurutan oleh Nurgiantoro (2010: 151) disebut sebagai plot kronologis.
Dalam cerita di atas yang merupakan peristiwa-peristiwa awal adalah peristiwa-peristiwa yang dibritanda nomor 1 sampai dengan 6, peristiwa tengah ditandai nomor 7 sampai dengan 17, peristiwa akhir ditandai nomor 17 sampai 18.

D.    Hukum Epik
Axel Olrix dalam Danandjaja ( 1984) sebagaimana dikutip Sudikan (2001:72-73) menyatakan bahwa struktur atau susunan cerita prosa rakyat terikat oleh hukum-hukum yang sama yang olehnya disebut sebagai hukum epos ( epic laws). Telah dijelaskan di bagian atas bahwa terdapat 13 hukum epik yang dikemukakan oleh Axel Olrix.
Dalam mkalah ini akan dikemukakan beberapa data yang menunjukkan hukum-hukum epik ala Axel Olrix tersebut.

1.      Hukum Pembuka Penutup
Sudikan (2001:72) menjelaskan hukum pembuka penutup sebagai suatu cerita rakyat  tidak akan dimulai dengan suatu yang tiba-tiba, tidak juga berakhir dengan mendadak. Artinya cerita berlasung melalui tahapan-tahapan tertentu.  Tahap tersebut merupakan rangkain kejadian yang saling berhubungan satu sama yang lain. Tahap cerita bisa saja terdiri atas tahap awal, tahap tengah, dan tahap akhir. Tahap awal merupakan pendahuluan cerita. Dalam tahap ini pencerita memperkenalkan tokoh cerita. Tahap tengah merupakan kejian yang sering disebut sebagai puncak cerita. Di dalam tahap inilah terjadi peristiwa yang disebut sebagai konflik. Dan tahap akhir merupakan penyelesaian cerita.
Dalam Hikayat Sultanul Injilai tahap pembuka dan penutup terdapat pada  data sebagai berikut.
Data (1)
“Inilah sebuah kisah. Dahulu, ada seorang raja bernama Sultanul Injilai. Istrinya bernama Siti Safiah, mempunyai dua orang putra. Seorang bernama Abdul Jumali, seorang bernama Abdul Julali. Demikianlah beberapa lama memerintah, pergilah ia berjalan-jalan ke kebun bersama dengan hambanya, demikian pula pakkalawing epuk (orang kepercayaan). Tiba-tiba ia melihat seekor burung tekukur bertengger di atas pohon ara. Maka disuruhlah ambilah sumpitnya, lalu disumpitlah burung tekukur itu. Dikenalah sayap burung tekukur itu sehingga jatuhlah ke tanah. Disuruhlah hambanya memungut burung tekukur itu. Pergilah hamba itu memungutnya lalu membawanya kepada raja. Raja pun hendak menyembelih burung tekukur itu”( HSI, hal 9) .

Petikan di atas merupakan paragraf pembuka Hikayat Sultanul Injilai. Paragraf ini berisi perkenalan. Pencerita menjelaskan siapa tokoh-tokoh yang akan menjalankan cerita. Di mana tokoh itu berada dan apa yang dilakukannya. Dalam penggalan tersebut terlihat adanya tokoh Sultanul Injilai, Istri yang bernama Siti Safiah, sultan memiliki dua putra yang bernama Abdul Jumali dan  Abdul Julali. Mereka merupakan keluarga raja. Pada suatu ketika mereka pergi ke kebun bersama hambanya.
Dalam penggalan ini  juga ditemukan kedudukan cerita atau sering disebut sebagai setting. Dalam penggalan tersebut cerita bersetting di kerajaan. 
Penggalan di atas dilanjutkan dengan memperkenalkan  bagaimana tokoh-tokoh itu bertindak dalam sebuah cerita. Untuk memahami hal tersebut perhatikan alur yang telah disusun pada bagian alur di atas. Perhatikanlah unsur alur yang bernomor 1 s.d 6.
Hal-hal tersebut  berfungsi memperkenalkan kepada pendengan tentang siapa yang akan diceritakan dan dimana cerita tersebut berkedudukan. Inilah yang disebut sebagai hukum awalan.
Sedangkan hukum penutup dapat dicermati penggalan berikut ini.
Data (2)
“Menyahutlah istri nahkoda itu. “Apa yang dikatakan oleh pakkalawing epuk itu semua benar belaka. Sebenarnya sayalah ini ibunya yang dikatakan telah diambil oleh pedagang, saya inilah’’. Ketika raja menegakkan kepala, tiba-tiba majulah ia mendekap istri dan anak-anaknya. Bertangis-tangisanlah mereka abak beranan dan suami istri. Berkatalah raja Biladu Tasnifi, “Saya inilah ayahandamu, yang engkau katakan pergi tak tentu rimbanya, saya inilah. Jadilah mereka dipertemukan oleh Allah Taala dengan diterimanya doa burung tekukur. Bergembiralah mereka anak-beranak dan suami istri telah dipertemukan sekeluarga”(HSI : 32)

Berdasarkan penggalan di atas diperoleh informasi bahwa tokoh Sultanul Injilai, Siti safiah, Abdul Jamali dan Abdul Julali yang berpisah di hutan telah bertemu kembali menjadi sebuah keluarga yang utuh.  Kisah di atas merupakan kisah petutup dalam cerita Hikayat Sultanul Injilai. Hal ini berarti kisah dalam penggalan di atas berfungsi sebagai penutup cerita. Penutup cerita di atas berbentuk kisah kegembiraan. Artinya tokoh-tokoh mengalami peristiwa yang menyenangkan.
Untuk memperjelas penjelasan ini sebaiknya dicermati alur cerita yang bernomor 17 dan 18.

2.      Hukum Pentingnya Tokoh yang Keluar Pertama dan yang Keluar Terakhir.
Menurut Sudikan (2001:73) yang dimaksud hukum pentingnya tokoh yang keluar pertama dan yang keluar terakhir adalah jika ada sederet orang atau kejadian yang muncul atau terjadi, maka yang terpenting akan ditampilkan terdahulu, walaupun yang ditampilkan terakhir atau kejadian yang terjadi kemudian adalah yang akan mendapat simpati atau perhatian cerita itu. Maknanya adalah tokoh yang muncul pertama adalah tokoh yang lebih penting dalam cerita. Tokoh dalam hal ini dapat berupa orang atau bentuk lain yang dapat memainkan  cerita. Indikator penting dalam hal ini adalah tokoh tersebut yang akan ditonjolkan oleh cerita. Penonjolan dapat berupa sering dibahas, menjadi perhatian tokoh lain atau yang menjadi pusat masalah dalam seluruh cerita.
Dalam cerita Hikayat Sultanul Injilai hal tersebut tergambarkan dalam penggalan data (1) di atas dan data (3) berikut.
Data (3)
“Adapun anaknya yang bungsu dilantik menjadi kadi negeri Biladul Tasnifi. Sedangkan ayahandanya meletakkan jabatan karena tua” (HSI: 32)

Dalam data (1) tokoh yang muncul pertama adalah Sultanul Injilai demikian juga dalam data (3) yang muncul terakhir adalah Sultanul Injilai. Tokoh ini merupakan tokoh penting dalam cerita sebab mulai awal hingga akhir tokoh ini menjadi pusat perhatian cerita. Hal ini ditunjukkan oleh fakta bahwa Sultanul Injilailah yang menjadi tokoh utama  yang telah disebutkan dalam alur cerita di bagian sebelumnya.
Sebagai bukti cermati alur yang bernomor  1 sampai dengan 9. Pusat pembicaraan dalam alur tersebut adalah Sultanul Injilai. Demikian juga alur yang bernomor 18,  yang menjadi tokoh utama pada alur ini juga Sultanul Injilai.

3.      Hukum Anak Kembar
Sudikan (2001:73) memberi penjelasan tentang hukum anak kembar dalam arti yang luas. Anak kembar dapat diartikan sebagai anak kembar yang sesungguhnya, yaitu dua orang yang seayah seibu yang dilahirkan pada hari, tanggal yang sama dan biasanya memiliki wajah yang sama. Anak kembar juga dapat diartikan  saudara kandung, yaitu dua orang yang dilahirkan dari ibu dan ayah yang sama tetapi dilahirkan pada hari, tanggal, bulan, dan tahun yang berbeda. Dalam hal ini anak kembar juga dapat berupa dua tokoh yang menampilkan diri dalam peran yang sama,misalnya saja sepasang penjahat, sepasang petugas keamanan dan lain sebagainya.
Berikut ini disajikan data tentang hukum anak kembar dalam cerita Hikayat Sultanul Injilai.
Data (4)
“Berkemaslah ia akan meninggalkan negeri itu bersama dengan kedua anaknya yang bernama Abdul Jumali dan Abdul Julali (HSI:12)”.

Berdasarkan data (4) dapat dijelaskan bahwa terdapat hukum kembar dalan cerita ini. Pada penggalan data (4) tersebut terdapat nama Abdul Jumali dan Abdul Julali. Mereka merupakan saudara seayah dan seibu. Hal yang menunjukkan mereka seayah dan seibu terlihat sangat jelas jika kita mencermati data (1). Perhatikan kalimat pada data (1) berikut ini. “Inilah sebuah kisah. Dahulu, ada seorang raja bernama Sultanul Injilai. Istrinya bernama Siti Safiah, mempunyai dua orang putra. Seorang bernama Abdul Jumali, seorang bernama Abdul Julali. Jelas bahwa Abdul Jumali dan Abdul Julali merupakan putra dari Sultanul Injilai dari ibu yang bernama Siti Safiah.

4.      Hukum Dua Tokoh Dalam Satu Adegan
Yang dimaksud hukum dua tokoh dalam satu adegan adalah di dalam cerita rakyat, tokoh yang diperkenalkan untuk menampilkan diri dalam waktu bersamaan, paling banyak hanya dua tokoh.
Hal tersebut dalam Hikayat Sultanul Injilai terlihat pada adegan Sulatanul Injilai bertemu dengan burung tekukur ( hal. 9), Sultanul Injilai bertemu gajah (hal. 14), pejala bertemu Sultanul Injilai (hal. 17), Algojo Muhalik bertemu dengan pasuruh kerajaan ( hal. 20), algojo Mukatil bertemu pesuruh kerajaan (hal.23), algojo  Mutain bertemu pesuruh kerajaan.
Perhatikan data berikut ini.
Data  (5a)
“Tiba-tiba ia melihat seekor burung tekukur bertengger di atas pohon ara. Maka disuruh ambilah sumpitnya, lalu disumpitlah burung tekukur itu. Dikenalah sayap burung tekukurviti sehingga jatuh ke tanah. Disuruhlah hambanya memungut  burung itu. …. Tiba-tiba burung tekukur itu berkata, “Hai Raja Sultanul Injilai, mengapa Tuan mau menyembelihku, apa gunanya?” Berkatalah Sultanul Injilai, “saya akan menyamtapmu, tekukur.”. Berkatalah tekukur, “Hai Tuanku, walaupun engkau menyembelihku, memasakku, tak cukup disantap sekeluarga. Ketahuilah bahwa lebih baik engkau melepaskanku. Engkau akan beroleh pahala karena mengabulkan hajat sesama hamba Allah”. Berkatalah Sultanul Injilai, “Hai tekukur, lebih baik engkau kusembelih lalu kusantap sekeluarga” (HSI: 9).

Berdasarkan data (5a) adegan tersebut merupakan adegan pertemuan Sultanul Injilai dengan burung tekukur. Pada adegan tersebut terdapat dua tokoh yaitu tokoh Sultahul Injilai dan buruh tekukur.
Data (5b)
“ Gajah kerajaan pun dilepaskan dan berlarilah ia masuk ke hutan. Beberapa lama kemudian, bertemulah gajah itu dengan Sultanul Injilai di dalam hutan yang tak dijamah manusia. Ketika Sultanul Injilai melihat gajah itu takutlah ia dan berlarilah ke sana ke mari. Ia akhirnya memanjat pohon ke atas pohon untuk  bersembunyi, tatapi gajah itu tetap saja memburunya” (HIS: 14).

Berdasarkan data (5b) di atas Sultanul Injilai bertemu gajah di hutan yang tidak pernah dijamah manusia. Dalam cerita tersebut tokoh yang terlibat hanya dua, yaitu Gajah dan Sultahul Injilai.
Data (5c)
“Sesudah nahkoda itu berbelanja, siap pula segala perlengkapannya, berkemas-kemaslah hendak berlayar pulang. Berkatalah nakhoda itu, “ Saya lihat, sudah siap semuanya. Lebih baik kita berlayar besok”. Sebelum berlayar, nakhoda itu bermaksud menemui raja Biladu Tasnifi. Ketika ia menghadap raja, ia membawa bingkisan berupa benda-benda berharga untuk dipersembahkan kapada raja. Setelah sampai di depan raja, ia pun bersimpuh lalu mempersembahkan bingkisan itu. Raja sangat senang hati. Berkatalah raja, “Mengapa nakhoda sudah lama berada di sini baru datang ke mari?” Menyahutlah nakhoda, “Ya Tuanku, maklumlah, kami sebagai penjual-jual, cukup banyak yang harus diurus, tentang utang piutang, yang sudah cukup pembayarannya, begitu pula yang belum”” (HIS: 17).

Berdasarkan data (5c) di atas tercermin cerita seorang nahkhoda yang sangat mengagumi sosok raja Sultanul Injlai. Karena kegaguman itu nakhoda tersebut mempersembahkan hadiah kepada raja. Dalam cerita tersebut terlihat dua tokoh yaitu tokoh nakhoda dan tokoh raja.
Selain data (5a), (5b), dan (5c) masih ada adegan lain yang mencerminkan hukun dua tokoh dalam satu adegan. Perhatikan ringkasan adegan berikut ini yang menceritakan tentang pembicaraan pesuruh kerajaan dengan tiga algojo di lain tempat dan waktu berikut ini.
Data (5d). Hulubalang membewa Abdul Jumali dan Abdul Jumali ke hadapan algojo yang benama Muhalik. Muhalik tidak mau membunuh Abdul Jumali dan Abdul Julali dengan alasan keduanya belum ditanyai dan belum diadili, ia takut kepada Allah Taala.  Malah Muhalik bercerita kepada hulubalang bahwa dahulu boto (ahli nujum) yang dibunuh oleh raja gara-gara raja merasa dibohongi oleh raja tersebut. Padahal yang dikatakan boto itu benar, hanya raja yang salah tidak menuruti persyaratan boto. Raja pun menyesal telah mebunuh boto tanpa ditanyai dan diadili. Sebab dikemudian hari apa yang dikatakan boto itu ternyata benar.
Data (5e). Selanjutnya hulunalang membawa Abdul jumali dan Abdul Julali ke hadapan algojo kedua yang bernama Mukatil. Mukatil tidak mau mebunuh Abdul Jumali dan Abdul Julali dengan alasan keduanya belum ditanyai dan belum diadili, ia takut kepada Allah Taala. Mukatil bercerita kepada hulubalang itu tentang raja yang membunuh burung kesayangannya. Burung itu pernah bercerita kepada anak raja tersebut bahwa buah sajaratul malahat memiliki khasiat menyembuhkan orang sakit, mengubah wajah yang jelek menjadi cantik. Maka anak raja yang bernama Siti Maemunah mencoba hal tersebut kepada ayam.  Ternyata ayam yang makan buah itu mati. Dibunuhlah burung tersebut oleh raja tanpa diadilai dan ditanyai. Di kemudian hari ternyata apa yang dikatakan burung tersebut benar.  Raja pun menyesal akan perbuatannya.
Data (5f). Hulubalang akhirnya membawa Abdul Jumali dan Abdul Julali ke hadapan algojo ketiga yang bernama Mutain. Ia tidak mau mebunuh Abdul Jumali dan Abdul Julali dengan alasan keduanya belum ditanyai dan belum diadili, ia takut kepada Allah Taala.  Ia bercerita kepada hulubalang tentang seorang saudagar yang telah membunh anjingnya sebelum diytanyai dan diadili. Saudagar itu menyesal sebab anjing itu merupakan anjing yang setia menjaga istrinya ketika saudagar itu pergi berlayar.
Pada data (5d), (5e), dan (5f) juga memperlihatkan hukum dua tokoh dalam satu adegan. Pada data (5d) terdapat tokoh algojo Muhalil yang mendapat tamu seorang hulubalaang (pesuruh  kerajaan). Sedangkan pada data (5e) terdapat tokoh cerita hulubalang (pesuruh kerajaan) yang bertamu ke tokoh algojo Mukatil. Sedangkan pada data (5f)  hulubalaang (pesuruh  kerajaan bertemu dengan algojo Mutain.

5.      Hukum Pengulangan
Sudikan (2001:72) menjelaskan bahwa demi memberi tekanan kepada cerita rakyat, suatu adegan diulang beberapa kali. Pengulangan adegan itu dilakukan dalam berbagai berbagai bentuk, misalnya saja pengulangan tindakan tokoh, pengulangan bentuk-bentuk ucapan tokoh atau pengulangan setting-setting tokoh.
Di bagian ini akan diungkapkan pengulangan adegan  Hikayat Sultanul Injilai yang meliputi pengulangan ucapan tokoh dan tindakan tokoh. Perhatikanlah data (6) dan data (7) berikut ini.
Data (6)
“ Bekatalah tekukur, “Hai Yang Mulia Sultanul Injilai, lepaskanlah aku Yang mulia, karena jelas bahwa ada gunanya jika engkau melepaskanku. Berkatalah raja apa gerangan  hai tekukur? Berkatalah tekukur, “Hai Yang Mulia ,kalau engkau melepaskan aku, maka terbanglah nanti aku ke atas pohon arah yang paling di bawa lalu aku beritauhkan sepatah kata. Melompat pula aku ke atas dahan yang tengah, kusampaikan lagi sepatah kata . Melompat lagi  aku ke dahan yang paling di atas, kusampaikan lagi serangkai kata. Maka cukuplah tiga patah kata akan  kusampaikan kepadamu” (HSI:10).

Berdasarkan data (6) terdapat  terdapat pengulangan dalam bentuk frasa. Pengulangan ini berupa frasa berkatalah tekukur. Bentuk tersebut pada data (6) diulang dua kali. Haql serupa dalam Hikayat ini terjadi di berbagai adegan. Misalnya saja pengunaan bentuk berkatalah sebagai mana data (7a), (7b), (7c).
 Selain dalam bentuk frasa pengulangan yang terdapat pada data (6) juga tindakan tokoh. Dalam data tersebut kokoh burung tekukur  terbang ke pohon ara. Ia terbang tiga kali. Hal ini terdapat pada “Hai Yang Mulia ,kalau engkau melepaskan aku, maka terbanglah nanti aku ke atas pohon arah yang paling di bawa lalu aku beritauhkan sepatah kata” sebagai tindakan terbang yang pertama. Sedangkan “melompat pula aku ke atas dahan yang tengah, kusampaikan lagi sepatah kata” sebagai tindakan terbang atau melompat yang kedua . Dilanjutkan dengan tidakan yang ketiga tampak pada  kutipan “melompat lagi  aku ke dahan yang paling di atas, kusampaikan lagi serangkai kata. maka cukuplah tiga patah kata akan  kusampaikan kepadamu.”
Pengulangan  yang terdapat dalam hikayat ini juga tampak dalam kutipan (7a), (7b), dan (7c). Berikut data-data pengulanganya.
Data (7a)
“Mengapa engkau datang pesuruh? Dan engkau membawa pula pakkalawing epuk dalam keadaan terbelenggu? Berkatalah Muhalik, “Apakah kesalahannya?” Berkatalah pesuruh, “Ini adalah perintah raja atasku membuka pakkalawing epuk ini kepadamu untuk dibunuh, karena telah mempermaluka raja. Berkatalah Muhalik, “apakah kesalahannya?” Berkatalah pesuruh, ada sahabat raja seorang nakhoda. Istri nakhoda itu didatanginya untuk diperkosanya”. Berkatalah Muhalik, “apakah sudah disidangkan dan ditanya mulai dari awal sampai akhir kejadian itu?” Berkatalah pesuruh yang bernama Makmur, “Belum disidang dan belum pula ditanya.” Berkatalah Muhalik, “Hai Suro (pesuruh raja), saya tak akan membunuhnya, saya takut kepada Tuhan. Yang kedua, saya tidak mau membunuh pakkalawing epuk karena disayangi raja” (HSI:20-21).

Data (7b)
“Berkatalah Mukatil, “Apa gerangan maksud kedatanganmu suro, sehingga barusan engkau datang kemari membawa pakkalawing epuk dalam keadaan terbelengguini padahal raja sangat menyanyanginya?” Berkatalah suro Makmur, “Saya diperintah oleh raja, diharapkan dibunuh orang yang terbelenggu ini. Berkatalah Mukatil, “Apa kesalahannya?” Berkatalah suro,”Ada sahabat raja seorang nahkoda Isteri nahkoda  itulah didatanginya untuk diperkosa.”Berkatalah Mukatil’. ”Sudahkah diusut dan ditanyai?” Berkatalah suro,”Belum.”Berkata pula Mukatil,”Saya tidak mau membunuhnya kalau belum dusut dan di tanyai. Saya takut  kepada allah. Yang kedua, jangan sampai raja menyesal karena ia sangat sayang menyayangi pakkalawing epuknya. Akan tetapi ,biarlah saya berkisah kepadamu suro.”

Data (7c)
“Setelah itu, kembalilah pesuruh Makmur lalu pergi lagi kepada kapitan algojo yang bernama Mutain. Ketika sampai di tempat tinggal Mutain, ditemuinyalah Mutain. Berkatalah Mutain, “Suro, engkau datang?” Menyahutlah pesuruh, “Ya”. Berkatalah pula Mutain, “ Apa maksud kedatanganmu, apa pula perintah yang engkau bawa?” Menyahutlah pesuruh, “Saya diperintah oleh raja ialah membawa pakkalawing epuk ini disuruh bunuh.” Berkatalah Mutain, “Apa sebab gerangan sehingga  pakkalawing epuk ini disuruh bunuh, padahal saya lihat sangatlah disenangi?’  Berkatlah pesuruh, “Ada kesalahannya, kesalahan mati.” Berkata pula Mutain, “Apa itu?” Berkatalah pesuruh,”Ada sahabat raja telah didatanginya akan diperkosa sehingga ia disuruh bunuh oleh raja.” Berkatalah Mutain, “Sudahkah disidang dan ditanyai?” Berkatalah pesuruh, “Belum ia disidang dan ditanyai.” Berkatalah Mutain, “Saya Tidak akan membunuhnya, saya takut kepada Allah. Yang kedua jangan sampai raja menyesal. Akan tetapi biarlah saya berkisah” (HSI:26-27).

Berdasarkan data (7a), (7b), dan (7c) terdapat pengulangan yang berupa tidakan tokoh pesuruh. Tidakan tokoh pesuruh tersebutadalah membawa pakkalawik epuk ke pada algojo pertama yang bernama Muhalik pada penggalan data (7a),  algojo yang bernama Mukatil pada data (7b), dan algojo yang bernama Mutain pada data (7c).
Dalam penggalan tersebut juga ditemukan pengulangan berupa bentuk pertanyaan tiga algojo tersebut yang hampir sama demikian juga bentuk jawaban pesuruh. Hal tersebut terlihat pada tabel berikut.
Tabel 1.Data Pertanyaan Sambutan Algojo dan Jawaban Pesuruh Raja
Data
Pertanyan Algojo
Jawaban Pesuruh
(7a)
“Mengapa engkau datang pesuruh?
“Ini adalah perintah raja atasku membuka pakkalawing epuk ini kepadamu untuk dibunuh, karena telah mempermaluka raja.
(7b)
“Apa gerangan maksud kedatanganmu suro, sehingga barusan engkau datang kemari membawa pakkalawing epuk dalam keadaan terbelengguini.”
“Saya diperintah oleh raja, diharapkan dibunuh orang yang terbelenggu ini
(7c)
“ Apa maksud kedatanganmu, apa pula perintah yang engkau bawa?”
“Saya diperintah oleh raja ialah membawa pakkalawing epuk ini disuruh bunuh, padahal saya lihat sangatlah disayanginya”

Tabel2. Data Pertanyaan Algojo kepada Pesuruh tentang Kesalahan Pakkalawing Epuk
Data
Pertanyan Algojo
Jawaban Pesuruh
(7a)
Apakah kesalahannya?
ada sahabat raja seorang nakhoda. Istri nakhoda itu didatanginya untuk diperkosanya
(7b)
Apa kesalahannya?
Ada sahabat raja seorang nahkoda Isteri nahkoda  itulah didatanginya untuk diperkosa.
(7c)
Apa sebab gerangan sehingga  pakkalawing epuk ini disuruh bunuh, padahal saya lihat sangatlah disenangi?
Ada kesalahannya, kesalahan mati.
(7c)
Apa itu
Ada sahabat raja telah didatanginya akan diperkosa sehingga ia disuruh bunuh oleh raja

Tabel 3. Data Pertanyaan Algojo kepada Pesuruh tentang Pengadilan Pakkalawing Epuk
Data
Pertanyan Algojo
Jawaban Pesuruh
(7a)
Apakah sudah disidangkan dan ditanya mulai dari awal sampai akhir kejadian itu?
Belum disidang dan belum pula ditanya
(7b)
Sudahkah diusut dan ditanyai?
Belum
(7c)
Sudahkah disidang dan ditanyai?
Belum ia disidang dan ditanyai.

Di bagian lain ini juga ditemukan alasan menolak tiga algojo itu juga sama yaitu tidak mau membunuh karena belum ditanyia dan diadili, yang kedua takut kepada Allah, serta takut raja menyesal karena pakkalwik epuk sabngat disayangi raja.

6.      Hukum Tiga Kali
Sudikan (2001:72)  menjelaskan hukum tiga kali bahwa tokoh cerita rakyat baru akan berhasil  dalam menunaikan tugasnya setelah mencobanya tiga kali. Menunaikan tugas dapat diartikan sebagai melakukan aktivitas yang diperintahkan raja atau keluarga kerajaan. Sedangkan keberhasilan menunaikan tugas dapat diukur dari seberapa jauh tugas tersebut tercapai atau dilaksanakan.
Hikayat Sultanul Injilai juga memperlihatkan hukum tiga kali sebagaimana dikemukakan di atas. Akan tetapi dalam hikayat ini keberhasilan tokoh dalam menjalankan tugas tersebut dapat disebut sebagai berhasil dalam ketidak berhasilan. Hal ini terlihat dari data (7a), (7b), dan (7c) di atas.
Bedasarkan data (7a) hulubalang membewa Abdul Jumali dan Abdul Jumali ke hadapan algojo yang benama Muhalik. Muhalik tidak mau membunuh Abdul Jumali dan Abdul Julali dengan alasan keduanya belum ditanyai dan belum diadili, ia takut kepada Allah Taala.  Malah Muhalik bercerita kepada hulubalang bahwa dahulu boto (ahli nujum) yang dibunuh oleh raja gara-gara raja merasa dibohongi oleh raja tersebut. Padahal yang dikatakan boto itu benar, hanya raja yang salah tidak menuruti persyaratan boto. Raja pun menyesal telah mebunuh boto tanpa ditanyai dan diadili. Sebab dikemudian hari apa yang dikatakan boto itu ternyata benar.
Selanjutnya berdasarkan data (7b)  hulunalang membawa Abdul jumali dan Abdul Julali ke hadapan algojo kedua yang bernama Mukatil. Mukatil tidak mau mebunuh Abdul Jumali dan Abdul Julali dengan alasan keduanya belum ditanyai dan belum diadili, ia takut kepada Allah Taala. Mukatil bercerita kepada hulubalang itu tentang raja yang membunuh burung kesayangannya. Burung itu pernah bercerita kepada anak raja tersebut bahwa buah sajaratul malahat memiliki khasiat menyembuhkan orang sakit, mengubah wajah yang jelek menjadi cantik. Maka anak raja yang bernama Siti Maemunah mencoba hal tersebut kepada ayam.  Ternyata ayam yang makan buah itu mati. Dibunuhlah burung tersebut oleh raja tanpa diadilai dan ditanyai. Di kemudian hari ternyata apa yang dikatakan burung tersebut benar.  Raja pun menyesal akan perbuatannya.
Berdasarkan data (7c) hulubalang akhirnya membawa Abdul Jumali dan Abdul Julali ke hadapan algojo ketiga yang bernama Mutain. Ia tidak mau mebunuh Abdul Jumali dan Abdul Julali dengan alasan keduanya belum ditanyai dan belum diadili, ia takut kepada Allah Taala.  Ia bercerita kepada hulubalang tentang seorang saudagar yang telah membunh anjingnya sebelum diytanyai dan diadili. Saudagar itu menyesal sebab anjing itu merupakan anjing yang setia menjaga istrinya ketika saudagar itu pergi berlayar.
Tiga kali perjalanan hulubalang/ pesuruh kerajaan membawa pakkalawing epuk atau Abdul Julali dan abdul Jumali ke algojo pertama sampai ketiga hasilnya tidak sesuai dengan yang diperintahkan raja. Akan tetapi perjalanan tersebut bisa dikatakan berhasil karena hulubalang justru dapat menyelamatkan raja. Dalam hal ini raja dapat bertemu kembali dengan istri dan anaknya. Hal ini dpat dikatakan bahwa tugas hulubalang berhasil.

7.      Hukum Berpola Cerita Rakyat
Sudikan (2001:73) menjelaskan hukum berpola cerita rakyat dengan memberi contoh  sebagai berikit. Misalnya seorang pemuda harus pergi ke suatu tempat tiga hari berturut-turut dan setiap hari ia akan bertemu dengan raksasa dan berhasil membunuhnya dengan cara yang sama.
Dalam Hikayat Sultanul Injilai ini hal tersebut tampak dari kisah hulubalang/ pesuruh kerajaan  pergi membawa pakkalawing epuk ke hadapan algojo tiga kerajaan, cara tiga algojo memnolak hulubalang tersebut dengan jalan bercerita  kepada hulubalang tentang penyesalan tokoh-tokoh yang melakukan tindakan pembunuhan tanpa melakukan peradilan dan proses klarifikasi kepada pihak terdakwa. Tokoh-tokoh tersebut akhirnya menyesal atas perbuatannya.
Hal tersebut terlihat dalam data (8a), (8b), dan (8c).
Data (8a)
“Namun demikian, biarlah saya menyampaikan suatu kisah kepadamu soro. Pasal. Beralih pula cerita. Inilah yang dibawakan Muhalik yang disampaikan kepada pesuruh raja. Bab. Dahulu, ada seorang raja besar yang mempunyai seorang boto (ahli nujum). Adapun boto itu belum perna meleset apa yang pernah dikatakannya. Ia pun sangat disenangi oleh raja. Beberapa lama raja itu memerintah, pada suatu ketika rumahnya akan dibongkar, disiapkan bahan bahan untuk mebangun rumah raja yang baru.Ketika rumah itu akan dibongkar dipanggilah boto itu. Tidak lama kemudian boto itu menghadap raja …. Berkatalah Muhalik, “Dengarlah itu hai soro, orang yang tidak dusurut duhulu langsung dibunuh. Menyesalah raja itu telah terlanjur membunuh botonya” (HSI:22-23).

Data (8a) merupakan lajutan data (7a).  Berdasarkan data (7a) dan (8a). Hulubalang membewa Abdul Jumali dan Abdul Jumali ke hadapan algojo yang benama Muhalik. Muhalik tidak mau membunuh Abdul Jumali dan Abdul Julali dengan alasan keduanya belum ditanyai dan belum diadili, ia takut kepada Allah Taala.  Malah Muhalik bercerita kepada hulubalang bahwa dahulu boto (ahli nujum) yang dibunuh oleh raja gara-gara raja merasa dibohongi oleh raja tersebut. Padahal yang dikatakan boto itu benar, hanya raja yang salah tidak menuruti persyaratan boto. Raja pun menyesal telah mebunuh boto tanpa ditanyai dan diadili. Sebab dikemudian hari apa yang dikatakan boto itu ternyata benar.
Data (8b)
“Akan tetapi, biarlah saya akan berkisah kepadamu suro. Pasal. Inilah kisah yang dinyatakan oleh Mukatil yang disampaikan kepada pesuruh Makmur. Berkatalah Mukatil, “Dengarkan nanti suro saya akan berkisah”. Bab. Dahulu ada seorang raja mempunyai anak bernama Siti Maemunah. Adapun anak raja itu mempunyai seekor burung. Burung Siti Maemunah itu sangat disayanginya. Burung itu mau makan kalau Siti Maemunah yang memberinya. Burung itu snagat disayanginya karena tingkah lakunya serupa dengan tingkah laku manusia. Demikian pula buah-buahan, belum lagi musimnya dia sudah membawakan tuanya. Demikianlah sifat dan lakunya. Sekian lama ia disayangi oleh Siti Maemunah, pada suatu ketika, datanglah burung dangau itu membawakan buah-buahan yang bernama sajaratul malahat. Berkatalah Siti Maemunah, “Bagaimana rasanya Dangau?” Berkatalah dangau, “manis dan dingin serta empuk dimakan tuanku.” Berkatalah maemunah, “Apa faedahnya dan apa pula khasiatnya, Dangau?”  Berkatalah dangau, “ Khasiatnya Tuan, kalau orang sakit yang memakan sembuh ia, atau kalau orang berpenyakit colak (kulit ari terkupas-kupas), orang belang, orang pikku (bongkok), orang lumpuh memakannya sembuh semua penyakit yang disembuhkan ini…. Mendengar perkataan pencuri itu, Siti Maemunah menangislah menyesali dirinya telah telanjur membunuh burung dangau itu sebelum diusut dan ditanyai lebih dulu” (HSI:25-26).

Data (8b) merupakan  lanjutan data (7b). Berdasarkan data (7b) dan (8b).  Selanjutnya hulunalang membawa Abdul jumali dan Abdul Julali ke hadapan algojo kedua yang bernama Mukatil. Mukatil tidak mau mebunuh Abdul Jumali dan Abdul Julali dengan alasan keduanya belum ditanyai dan belum diadili, ia takut kepada Allah Taala. Mukatil bercerita kepada hulubalang itu tentang raja yang membunuh burung kesayangannya. Burung itu pernah bercerita kepada anak raja tersebut bahwa buah sajaratul malahat memiliki khasiat menyembuhkan orang sakit, mengubah wajah yang jelek menjadi cantik. Maka anak raja yang bernama Siti Maemunah mencoba hal tersebut kepada ayam.  Ternyata ayam yang makan buah itu mati. Dibunuhlah burung tersebut oleh raja tanpa diadilai dan ditanyai. Di kemudian hari ternyata apa yang dikatakan burung tersebut benar.  Raja pun menyesal akan perbuatannya.
Data (8c).
“Akan tetapi biarlah saya berkisah terlebih dahulu. Pasal. Ini kisah dari kapiten algojo kerajaan yang bernama Mutain. Berkata Mutain, “Dengarlah nanti soro, saya berkisah. Dahulu kala ada seorang saudagar yang sangat kaya. Saudagar itu mempunyai seekor anjing yang sangat disenangi karena anjing itu sifatnya seperti manusia.  Ia pandai disuruh menjual, membeli, boleh juga disuruh berbagai macam. Setelah sekian lama anjing itu dipelihara, semakin  disenanginya anjing itu. Suatu ketika saudagar itu itu pergi berlayar. Di rumah tidak ada orang kepercayaan untuk menjaga isterinya. … Berkatalah saudagar, “Hai mario (nama anjing), sudikah engkau menjaga tuanmu, karena saya sudah hampir pergi berlayar sedangkan di rimah tidak ada orang dapat dipercayakan menjaga seperti halnya penjagaan saya supaya terhindar dari gangguan orang”. Tiba-tiba mengngguklah anjing itu, tanda mengiakan. … Setelah kejadian itu berlangsung, saudagar itu telah sampai pula di rumah. Menyaksikan isterinya sedang diterkam anjing itu, cepat-cepatlah ia membunuh anjingb itu… Menjadi-jadilah ratap saudagar itu, meraung-raung menyesali dirinya menyayangkan kejadian atas isteri dan anjingnya.  Benar-benar anjing saya adalah anjing yang baik sekali, saya tidak tanya lebih dahulu, saya bunuh”(HSI:28-29).

Data (8c) merupakan kelanjutan data (7c). Berdasarkan data (7c) dan (8c) dapat disimpulkan  hulubalang akhirnya membawa Abdul Jumali dan Abdul Julali ke hadapan algojo ketiga yang bernama Mutain. Ia tidak mau mebunuh Abdul Jumali dan Abdul Julali dengan alasan keduanya belum ditanyai dan belum diadili, ia takut kepada Allah Taala.  Ia bercerita kepada hulubalang tentang seorang saudagar yang telah membunh anjingnya sebelum diytanyai dan diadili. Saudagar itu menyesal sebab anjing itu merupakan anjing yang setia menjaga istrinya ketika saudagar itu pergi berlayar.
Bedasarkan data (8a), (8b), (8c) terdapat pola cerita rakyat yaitu menyelesaikan masalah dengan pola yang sama. Pola yang sama yang dimaksud dalam hal ini adalah menyelesaikan masalah dengan jalan bercerita. Pola yang sama juga terdapat pada penyataan tiga algojo menanggapi pesuruh kerajaan yang membawa pakkalawing epuk. Tiga algojo tersebut membuat pertanyaan yang hampir sama. Bentuk-bentuk pertanyaan sudah dipaparkan di bagian sebelumnya.

8.      Hukum Logika Legenda
Yang dimaksud hukum logika legenda adalah cerita rakyat mempunyai logikanya sendiri, yang tidak sama dengan logika ilmu pengetahuan, dan biasanya lebih bersifat animisme, berdasarkan pada kepercayaan terhadap kemukzizatan dan ilmu gaib ( Sudikan, 2001:73).
Dalam Hikayat Sutanul Injilai hal tersebut terdapat dalam adegan cerita algojo Muhalil yang bercerita kepada pesuruh kerajaan tentang seorang raja yang memiliki ahli nujum (hal. 21), adegan cerita algojo Mukatil kepada pesuruh kerajaan yang bercerita tentang burung Dangga (hal.25).
 Perhatikan penggalan hikayat berikut ini.
Data (9a)
“Berkatalah raja,” hai Boto, saya memanggil engkau karena saya akan mendirikan rumah. Saya ingin mengetahui, hari apa yang baik untuk mendirikan rumah. Berkatalah Boto itu, “Dengarlah baginda, hari yang baik mendirikan rumah ialah haru Jumat tengah hari. Karena menurut pendapat, barang siapa yang mendirikan rumah pada waktu itu, rumah itu akan menjadi emas.”. sesudah itu kembalilah boto itu kerumahnya. Adapun raja ditunggulah sampai hari Jumat” (HSI:21).
Berdasarkan data (9a) diperoleh informasi bahwa seorang raja ketika menentukan hari untuk mendirikan rumah ia terlebih dahulu memanggil ahli nujum. Apa yang diucapkan oleh si ahli nujum merupakan perintah yang harus dilaksanakan. Sedangkan dasar penentuan hari yang dikemukan oleh ahli nujum tersebut adalah menurut pendapat. Si ahli nujum tidak memberikan alasan yang masuk akal tentang pemilihan hari Jumat itu. Apalagi di dalam pertimbangan lain ahli nujum mengatakan bahwa barang siapa mendirikan rumah di hari Jumat tengah hari, maka rumahnya akan berubah menjadi emas. Pertimbangan-pertimbangan itu merupakan pertimbangan yang didasarkan atas kepercayaan kepercayaan terhadap kemukzizatan dan ilmu gaib.
Sedangkan pada data (9b) berikut ini merupakan kisah yang diceritakan algojo Mukatil tentang burung dangga yang menceritakan bahwa ada sebuah pohon bernama  sajaratul malahat yang memiliki kemukzizatan.
Data (9b).
Berkatalah Dangga, “Khasiatnya Tuanku, kalau orang sakit yang memakan sembuhlah ia, atau kalau orang berpenyakit colak (kulit terkelupas), orang belang…sembuhlah semua. Kalau orang dirantai atau dibelenggu yang memakan lepaslah rantainya atau belenggunya … Akhirnya disuruhlah bunuh burung itu oleh Siti maimunah. Setelah sekian lomanya burung dangga itu dibunuh, pada suatu ketika kecurianlah wakil raja. Karena ketahuan, ributlah orang memburunya. Setelah berhasil ditangkap, ia pun diikat kemudian dibawa kepada raja. Ketika maling itu sampai di hadapan raja, akan diketahuilah hukuman. Berkatalah Siti  Maemunah, “Tidak usah dihukum Tuan, suruh rantai saja dia, lalu disuruh bawa diikat pada pohon beracun itu. Sesudah itu dirantailah pencuri itu lalu dibawa pergi diikat pada pohon sasaratul malahat. Kebetulan pohon itu sedang berbuah lebat, ada yang telah masak, ada pula yang masih muda. … Terlihatlah oleh pencuri itu buah sajaratul malahat beronggok di dekat batangnya sungguh harum baunya. Dipungutlah buah sajaratul malahat itu lalu dimakannya. Sesudah ia makan sebiji, ia masih mau, dia makan lagi sebiji, juga masih mau, sehingga ia makan sepuas-puasnya. Setelah hari sudah siang, tiba-tiba lepaslah rantai pengikat. … Berkatalah raja kepada pencuri, “ Siapa yang melepasmu?” Berkatalah pencuri, “ Saya tudak tahu Tuan”. Berkata pula raja, “ apa saja yang engkau lakukan?’’ Berkatalah pencuri, “ saya pun tak tahu yang telah saya perbuat, kecuali memakan buah sajaratul malahat itu” ( HSI: 24-25).

Buah sajaratul malahat sebagaimana diceritakan pada data (9b) di atas dipercaya mampu menyembuhkan orang sakit dan melepas rantai atau belenggu pada orang yang sedang dirantai atau dibelenggu. Ternyata ketika pencuri yang dibelenggu oleh raja dan memakan buah itu, belenggunya terlepas.  Hal ini menjukkan bahwa apa yang dikatakan burung dangga bahwa buah itu memiliki khasiat melepas rantai orang yang dibelenggu terbukti adanya. Khasiat buah itu dalam terminologi orang Indonesia disebut sebagai kemukzizatan buah.

9.      Hukum Keadaan Berlawanan
 Yang dimaksud hukum keadaan berlawanan adalah tokoh-tokoh cerita rakyat selalu mempunyai sifat yang berlawanan, misalnya Thor yang kuat memerlukan Odin yang bijaksana dan Loki yang licik untuk mendampinginya ( Sudikan, 2001:73).
Dalam  Hikayat Sajaratul Injilai hal tersebut ditemukan pada kisah Abdul Jumali dan Abdul Julali ketika ia bertindak sebagai pakkalwing empuk dan mendapat tugas dari raja untuk menjaga istri nakhoda di sebuah kapal.
Perhatikan data (10) berikut ini.
Data (10)
“Berkatalah Abdul Jumali, “Hai adikku Abdul Julali, bangunlah engkau sebentar menggantikan saya berjaga. Saya sangat mengantuk, sebentar lagi engkau tidur.” Menyahutlah Abdul Julali, “Saya tidak mau karena sudah terlajur tidur enak.” Namum demikian, ia tetap juga dibangunkan oleh kakaknya. Akan tetapi ia tetap saja marah-marah tidak mau bangun. Berkatalah Abdul Jumali, “jangan engkau begitu, Dik. Jangan engkau bersifat rendah budi. Kamu bukan turunan orang hina dari ayahmu dan ibumu, saya kira engkau turunan orang baik-baik dari negerimu” (HIS:18-19).

Data (10) di atas menukkan dua sifat kakak adik ayang berlawanan. Kakak memiliki sifat yang bijak sana. Hal ini terlihat dari ucapannya yang sangat baik. Hal ini terlihat dari dialog Abdul Jumali yang berbunyi ”jangan engkau begitu, Dik, jangan engkau bersifat rendah budi, kamu bukan turunan orang hina dari ayahmu dan ibumu, saya kira engkau turunan orang baik-baik dari negerimu”. Sedangkan abdul Julali memiliki sifat tidak bijaksana. Hal tersebut  terlihat dari tindakan Abdul Julali yang selalu tidur dalam tugas menjaga istri nakhoda di kapal. Hal tersebut tercermin dalam kalimat “Saya tidak mau karena sudah terlajur tidur enak”.

10.  Hukum Adanya Satu Pokok Cerita Saja dalam Suatu Cerita
Hukum adanya satu pokok  cerita dalam suatu cerita adalah hukum di mana dalam suatu cerita jalan ceritanya tidak akan kembali lagi hanya untuk mengisi kekurangan yang tertinggal dan jika sampai ada keterangan mengenai kejadian sebelumnya yang perlu ditambahkan, maka maka akan diisi dengan dialog saja (Sudikan, 2001:73).
Dalam cerita ini tidak ditemukan.

11.  Hukum Penggunaan Adegan-adegan Tablo
Sudikan (2001:73) menjelaskan hukum ini sebagai hukum cerita yang menggunakan adegan-adegan puncak seperti adegan Samson dari kitab Injil Perjanjian Lama diikat di tiang pilar setelah kedua matanya dibutakan.
Dalam cerita ini tidak ditemukan.

12.  Hukum Kesatupaduan Rencana Cerita
Misalmya, jika seorang anak telah dijanjikan diberikan kepada raksasa, maka jalan cerita selanjutnya berkisar pada masalah bagaimana menghindarkan anak itu dari kekuasaan  raksasa itu ( Sudikan, 2001:73).
Dalam cerita ini tidak ditemukan

13.  Hukum Pemusatan pada Tokoh Utama
 Cerita Hikayat Sultanul Injilai menunjukkan hukum pemusatan pada tokoh utama. Hal ini terlihat dalam berbagai adegan Sultanul Injilai merupakan tokoh sentral.Semua peristiwa dalam cerita ini pada hakekatnya berpusat pada tokoh Sultahul Injilai. Hal yang demikian juga didukung oleh data judul cerita ini yang berbunyi “ Hikayat Sultanul Injilai”.


E.     Simpulan
Berdasarkan uraian   di atas dapat disimpulkan bahwa Hikayat Sultahul Injilai mengadung 10 unsur  hukum epik. Kesepuluh hukum epik yang ditemukan tersebut adalah
1)      Hukum pembukaan dan penutup,
2)      Hukum pengulangan,
3)      Hukum tiga kali,
4)      Hukum dua tokoh di dalam satu adegan,
5)      Hukum keadaan berlawanan,
6)      Hukum anak kembar,
7)      Hukum Pentingnya Tokoh-Tokoh yang Keluar pertama dan yang Keluar Terakhir,
8)      Hukum bentuk berpola cerita rakyat,
9)      Hukum logika legenda, dan
10)  Hukum pemusatan pada tokoh utama dalam cerita rakyat.
Sedangkan hukum epik yang tidak ditemukan adalah
1)      Hukum ada satu pokok cerita saja dalam satu cerita,
2)      Hukum penggunaan adegan-adegan tablo dan
3)      Hukum kesatupaduan rencana cerita.






DAFTAR PUSTAKA
Mulya. Abdul Kadir. 1985. Hikayat Sultanul Injilai dan Pau-Pau Rikadong. Jakarta : Proyek penerbitan Buku Sastra Indonesia dan Daerah, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Sudikan, Setya Yuwana. 2001. Metode Penelitian Sastra Lisan: Paradigma, Pendekatan, Teori, Konsep, Teknik Penyusunan Proposal, Teknik Pengumpulan Data, Teknik Analisis Data dan Teknik Penyususunan Laporan. Surabaya: Citra Wacana.












LAMPIRAN
Identitas Cerita
Judul                    : Hikayat Sultanul Injilai
Asal Cerita          : Sulawesi
Penterjemah       : Abdul Kadir Mulya
Penerbit               : Proyek Penerbitan Buku Sastra Indonesia Daerah,
                                Dep P dan K
Tahun Terbit      : 1985
Tahun Terbit      : 1985

2 komentar:

COACHING DALAM PENDIDIKAN

A. Pendahuluan            Senin, 1 Februari 2021 merupakan hari bersejarah bagi pendidikan Indonesia. Pada hari itu Menteri Pendidikan dan K...