Foto Kegiatan

Sabtu, 07 April 2018

NILAI RELEGIUS DALAM YADNYA PALING UTAMA DAN MULIA KARYA TRI BUDHI SASTRIO


NILAI RELEGIUS DALAM YADNYA PALING UTAMA DAN MULIA KARYA TRI BUDHI SASTRIO
Oleh Rasmian: email riasmian71@gmail.com

A.   Pendahuluan
Pada dasarnya kehidupan manusia sangatlah kompleks dengan berbagai masalah kehidupan. Kehidupan yang kompleks tersebut terdapat beberapa permasalahan yang mencakup hubungan manusia dengan Tuhannya (Hubungan Vertikal) dan hubungan manusia dengan manusia.
Bagi seorang pengarang yang peka terhadap permasalahan-permasalahan tersebut, dengan hasil perenungan, penghayatan, dan hasil imajinasinya, kemudian menuangkan gagasan/idenya tersebut dalam karya sastra yang kemudian melahirkan beragam karya sastra yang mencerminkan kehidupan nyata.
Mangunwijaya (dalam Lathief, 2008: 175) juga mengemukakan bahwa segala sastra adalah religius. Religius diambil dari bahasa Latin relego, dimaksudkan dengan menimbang kembali atau prihatin tentang (sesuatu hal). Seorang yang religius dapat diartikan sebagai manusia yang berarti, yang berhati nurani serius, saleh, teliti, dan penuh dengan pertimbangan spiritual. (Lathief, 2008: 175) Religiusitas lebih melihat aspek yang ‘di dalam lubuk hati’, moving in the deep hart, riak getaran hati nurani pribadi, sikap personal yang sedikit banyak merupakan misteri bagi orang lain. Dengan demikian sikap religius ini lebih mengajuk pada pribadi seseorang dengan Khaliqnya, bertata laku sesuai dengan karsa Tuhan. (Lathief, 2008: 175).
Sastra religius adalah sastra yang mengandung nilai-nilai ajaran agama, moralitas, dan unsur estetika. Karya sastra seperti itu menunjukkan bahwa pengarang merasa terpanggil untuk menghadirkan nilai-nilai keagamaan kedalam karya sastra. Karya sastra yang menghadirkan pesan-pesan keagamaan yang isi ceritanya diambil dari kitab-kitab suci keagamaan jumlahnya sangat banyak.
Karya sastra puisi berjudul Yadnya Paling Utama dan Mulia karya Tri Budhi Sastrio merupakan karya sastra yang banyak menandung nilai relegius. Hal tersebut terlihat dari judul puisi di atas yang menggunkan  kaya Yadnya. Yadnya merupakan kata yang bermakna ritual suci.
Berdasarkan hal  di atas, penulis tertarik menulis  dengan judul “Nilai Relegius Dalam Yadnya Paling Utama Dan Mulia Karya Tri Budhi Sastrio’’.

B.   Nilai Relegius
Bertens   (2007:   140)   menjelaskan pengertian   nilai   melalui   cara memperbandingkannya   dengan   fakta.   Fakta menurutnya adalah sesuatu yang ada atau berlangsung begitu saja. Sementara nilai adalah sesuatu yang berlaku, sesuatu yang memikat atau menghimbau kita. Fakta dapat ditemui dalam konteks deskripsi semua unsurnya dapat dilukiskan satu demi satu  dan  uraian  itu  pada  prinsipnya  dapat  diterima  oleh  semua  orang.  Nilai berperanan  dalam  suasana  apresiasi  atau  penilaian dan  akibatnya  sering  akan dinilai secara berbeda oleh orang banyak. Nilai selalu berkaitan dengan penilaian seseorang,   sementara  fakta  menyangkut  ciri-ciri  obyektif  saja.  
Menurut Kuntjaraningrat (1992:26) menyebutkan sisten nilai budaya terdiri dari konsepi-konsepi yang hidup dalam alam pikiran sebagian besar keluarga masyarakat, mengenai hal-hal yang harus mereka anggap bernilai dalam hidup.
Dengan demikian,  nilai adalah sesuatu yang subjektif, sesuatu yang dianggap benar, berlaku dalam kelompok masyarakat tertentu yang berkaitan dengan hak manusia sebagai individu.
Menurut  Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008:1286) relegi bermakna ‘kepercayaan akan adanya Tuhan’, sedangkan relegius bermakna  ‘taat agama’. Dasuki (2011) mendefinisikan nilai-nilai religius  sebagai sesuatu yang menempati peringkat yang sangat tinggi dalam kehidupan seorang yang beradab. Dikatakan demikian karena nilai-nilai religius berkaitan dengan kebenaran Ilahi yang bersifat absolut dan universal yang berangkat dari dan bermuara pada hak asasi manusia yang paling asasi, yaitu hubungan seseorang dengan Penciptanya.
Sesungguhnya nilai religius tidak semata berkaitan dengan kehidupan ritual keagamaan seseorang, tetapi tercermin juga dalam kehidupan sehari-hari seperti menjunjung tinggi nilai-nilai luhur tertentu, seperti kejujuran, keikhlasan, kesediaan berkorban, kesetiaan dan lain sebagainya.
Nilai-nilai religius merupakan nilai yang dapat mendorong manusia selalu dapat mengontrol kehidupannya. Sebab dengan nilai relegius seseorang akan merasa semua perbuatannya diawasi oleh Sang pencipta. Nilai ini telah terbukti menjadi motivator utama dan kuat dalam sejarah umat manusia yang hidup dimasa nabi-nabi, telah menjadi energi stimulus dan sangat kuat dalam membangun sikap dan perilaku individu manusia di zaman itu sampai zaman sekarang.

C. Relegius dan  Al Ghozali
Abu Hamid Muhammad bin Muhammad Al Ghozali di lahirkan di Tunisia sebuah kota di Khurasan, Persia tahun 450 H atau 1058 M. Ayahnya seorang pemintal wool. Al Ghozali sejak kecil dikenal sebagai seorang anak pecinta ilmu. Di  masa kecil Al Ghozali belajar kepada Ahmad bin Muhammad Ar-Radziki tentang agama dan pengetahuan. Saat dewasa Al ghozali dikenalsebagai seorang pemikir Islam sehingga diberi gelar “hujatul  Islam”.
Pandangan  Al Ghozali tentang pengetahuan adalah bahwa pengetahuan tidak ada yang dapat memenuhi maksud hatinya kecuali hanya memuaskan  akal dan indra. Sedangkan agidah atau agama adalah alat  untuk menyucikankan jiwa serta membersihkan diri dari karat kehidupan (Sulaiman, 1986:39)
Pandangan Imam Ghozali tentang nilai relegius tertuang  dalam pendapatnya  tentang pembagian ilmu pengetahuan. Al Ghozali membagi ilmu pengtahuan menjadi  tiga yaitu ilmu pengetahuan yang secara mutlak  tercela, ilmu pengetahuan yang terpuji, dan ilmu pengetahuan yang dalam kadar tetentu terpuji ( Sulaiman, 1986 :27).
Lebih lanjut dijelaskan bahwa ilmu pengetahuan yang secara mutlak terpuji adalah pelajaran-peajaran agama dan berbagai macam ibadah. Ilmu pengetahuan tersebut dapat menyucikan jiwa, melepaskan diri dari perbuatan tercela, membantu mengetahui  kebaikan dan mengerjakannya, membantu manusia ke jalan mendekatkan diri kepada Allla SWT ( Sulaiman, 1986 :29).

D.   Pembahasan dan Hasil
Pada prinsipnya manusia dengan Tuhan selalu saling berhubungan. Manusia dalam kesanadaran dirinya menyadari bahwa dirinya merupakan makhluk yang lemah. Oleh karenya itu manusia menyadari bahwa di luar dirinya ada zat yang paling berkuasa dan menguasahi dunia dan isinya termasuk manusia.
Sebaliknya, zat yang paling berkusa, Tuhan, selalu berhubungan dengan manusia. Hubungan tersebut terbukti bahwa Tuhan selalu memerhatikan manusia dengan cara a) Tuhan memberi rezeki kepada manusia, b) Tuhan menurunkan bencana, c) Tuhan memberi kehidupan kepada manusia dalam berbagai bentuk.
Hubungan manusia kepada Tuhan pada dasarnya adalah hubungan pengadian atau yang sering disebut sebagai beribadah. Ada dua garis besar hubungan manusia dalam hal beribadah.  Beribadah kepada Tuhan ada kalanya berbentuk ibadah yang sudah ditetapkan aturan, dan beribadah yang tidak ditetapkan aturannya. Ibadah yang ditetapkan aturan misalnya dalam Islam adalah Salat, haji, puasa, dan syahadat. Sedangkan ibadah yang tidak ditetapkan aturannya misalnya berbaik sangka kepada orang, tolong menolong, bekerja dan lain sebaginya.
Inti hubungan manusia adalah pengabdian, sedangkan inti hubungan Tuhan dan manusia adalah hukum, aturan atau norma. Hukum yang diciptakan Tuhan sifatnya mengikat kepada manusia Jika manusia tidak mengindahkan aturan tersebut maka manusia tersebut dianggap tercela baik itu dalam kehidupan di dunia maupun dalam kehidupan di akherat kelak.
Berdasarkan urain tersebut, nilai relegius yang menggambarkan hubungan antara manusia dan Tuhan dapat digolongkan menjadi beberapa nilai antara lain: 1) Nilai keimanan kepada Tuhan, 2) Nilai ikhtiar kepada Tuhan, dan 3) nilai Tawakal. Penjelasan ketiga hal di atas sebagai berikut.

1)   Nilai Keimanan
Nilai keimanan adalah membenarkan dalam hati dan mengucapkan dalam bentuk lisan serta mewujudkan dalam bentuk tindakan. Dalam puisi Yadnya Paling Utama Dan Mulia Karya Tri Budhi Sastrio nilai keimanan tergambar sebagaimana kutipan berikut ini.
Yadnya sederhana ternyata yadnya yang paling mulia Dipersembahkan bukan kepada para batara dan dewa Melainkan pada sesama, pada sesama yang hina nista, Karena batara serta dewa itu, benar-benar telah mulia, Mereka sama sekali, tidak perlukan persembahan   kita.

Nilai keimanan kepada Tuhan dalam penggalan di atas  dapat dilihat pada penggunaan kata Yadnya. Yadnya merupakan upacara suci yang diselenggakan oleh umat Hindu/Budha. Yadnya merupakan salah satu upacara  ritual.
Bahwa upacara ritual religi atau agama yang biasanya dilaksanakan oleh masyarakat pemeluk religi atau agama yang bersangkutan itu mempunyai fungsi sosial untuk menjadikan solidaritas masyarakat. Para pemeluk suatu religi atau agama memang ada yang menjalankan kewajiban mereka untuk melakukan upacara itu dengan sungguh-sungguh, akan tetapi ada juga yang melakukanya hanya setengah- setengah saja. Motivasi mereka untuk melaksanakanya tidak hanya untuk berbakti kepada Tuhan atau Dewanya, atau hanya untuk mengalami kepuasan keagamaan secara pribadi, akan tetapi karena mereka menganggap bahwa melakukan upacara adalah suatu kewajiban sosial.
Mengenai tentang fungsi upacara bersaji. Pada upacara bersaji ini manusia menyajikan sebagian sebagian dari seekor binatang, terutama yang disajikan kepada dewa adalah darahnya, kemudian daginngnya di makan oleh manusia secara bersama. Robertson Smith juga menganggap bahwasanya hal ini dianggap sebagai aktivitas untuk  mendorong rasa solidaritas dengan Dewa. Dalam hal itu Dewa di pandang sebagai warga komunitas meskipun sebagai warga yang istimewa. Menurut Robertson Smith upacara bersaji adalah suatu upacara yang gembira  meriah.
Hal tersebut juga tergambar dalam penggalan di atas yang ditunjukkan oleh penggunaan kontruksi “dipersembahkan bukan kepada para batara dan dewa// Melainkan pada sesama, pada sesama yang hina nista’’.

2)   Nilai Ikhtiar Kepada Tuhan
Ikhtiar dapat dimaknai sebagai alat, syarat untuk mencapai maksud; daya upaya. Ikhtiar merupakan usaha manusia menjalankan sesuatu di dunia agar mencapai maksud dan tujuannya. Konsep berusaha dapat diterapkkan untuk tujuan dunia misalnya mencari nafkah dengan jalan bekerja. Konsep berusaha juga dapat diterapkan untuk tujuan akherat.
Nilai ikhtiar kepada Tuhan dalam puisi Yadnya Paling Utama dan Mulia karya Tri Budhi Sastrio tergambar sebagaimana kutipan berikut ini.
Kemudian aku berkelana, mencari yadnya sama mulia,
Dari satu yadnya ke lain yadnya, tetapi tak pernah ada

Penggalan di atas berisi tentang upaya seorang umat yang mencari yadnya dengan cara berkelana dari yadnya satu ke yadnya yang  lainnya. Hal tersebut menjadi bukti bahwa orang tersebut berusaha mencari yadnya. Usaha yang dilakukan oleh tokoh dalam penggalan tersebut merupakan wujud usaha atau ikhtiar.

3)   Nilai Tawakal
Tawakal dapat dimaknai sebagai pasrah diri kepada kehendak Tuhan YME; percaya dengan sepenuh hati kepada Tuhan YME termasuk dalam penderitaan dan sebaginya. Dalam pengertian tersebut seseorang yang tawakal berarti menyerahkan hasil kerjanya hanya kepada Tuhan YME semata tidak kepada yang lainya.
Tawakal hanya dilakukan setelah seseorang telah berusaha semaksimal mungkin. Tawakal tidak dilakukan sebelum kita berusaha tetapi setelah berusaha.
Nilai ikhtiar kepada Tuhan YME dalam puisi Yadnya Paling Utama dan Mulia karya Tri Budhi Sastrio tergambar sebagaimana kutipan berikut ini.
Dewa batara paling mulia, berperan penolong manusia.
Kemudian mereka bersama-sama atas titah Sang Maha
Diantar masuk nirwana, sebagai tanda pemberi dharma
Sebagai bentuk yadnya paling mulia, seluruh jagat raya

Tawakal pada kutipan di atas terlihat dari konstruksi yang berbunyi “Dewa batara paling mulia, berperan penolong manusia//Kemudian mereka bersama-sama atas titah Sang Maha/Diantar masuk nirwana”. Dewa dalam kontrusi tersebut dinilai sebagai penolong manusia. Dalam hal ini manusia merasa dirinya rendah dan kemudian menyerahkan segala kesulitan kepada Dewa. Sebab Dewa adalah penolong manusia. Pernyataan lain yang mendukung nilai tawakal  adalah kontruksi yang berbunyi “Kemudian mereka bersama-sama atas titah Sang Maha/Diantar masuk nirwana. Pernyataan tersebut bermakna  manusia yang menyerahkan urusan kepada Dewa maka ia akan masuk nirwana atas perintah Dewa. Hal tersebut menjadi buktui bahwa jika seorang yang tawakal maka urusan masuk surgapun diserahkan kepada Dewa, yaitu dengan menunggu perintah Dewa.

E.   Simpulan
Puisi Yadnya Paling Utama dan Mulia karya Tri Budhi Sastrio 1) Nilai keimanan kepada Tuhan, 2) Nilai ikhtiar kepada Tuhan, dan 3) nilai Tawakal.


DAFTAR PUSTAKA
Abidin, Zainal. 2009. Filsafat Manusia, Mamahami Manusia Melalui Filsafat. Cet ke-5 EdisiRevisi. Bandung : PT Rosdakarya.
Budiningsih, C. Astri. 2010. “ Stretegi Pembelajaran Nila Humanis” di dalam Majalah Dinamika PendidikanNomor 02/TH.XVII/Oktober 2010 Yogyakarta: Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta.
Bertens, K. 2007. Etika. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Departemen Pendidikan Nasional.2008. Strategi  Pembelajaran dan Pemilihannya. Jakarta: Derektorat Tenaga Kependidikan, Depdiknas.
Kamus Online : http://www.artikata.com diakses 5 November 2011
Kemendiknas. 2010. Pengembangan Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa. Jakarta : Pusat Kurikulum Kemendiknas.
Kuntjaraningrat .1992. Beberapa Pokok  Antropologi Sosial. Jakarta: Dian Rakyat.
Lathief, Supaat I. 2008. Sastra: Eksistensialisme – Mistisisme Religius. Lamongan: Pustaka Ilalang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

COACHING DALAM PENDIDIKAN

A. Pendahuluan            Senin, 1 Februari 2021 merupakan hari bersejarah bagi pendidikan Indonesia. Pada hari itu Menteri Pendidikan dan K...