NILAI
RELEGIUS DALAM YADNYA PALING UTAMA
DAN MULIA KARYA TRI
BUDHI SASTRIO
Oleh Rasmian:
email riasmian71@gmail.com
A.
Pendahuluan
Pada
dasarnya kehidupan manusia sangatlah kompleks dengan berbagai masalah
kehidupan. Kehidupan yang kompleks tersebut terdapat beberapa permasalahan yang
mencakup hubungan manusia dengan Tuhannya (Hubungan Vertikal) dan hubungan
manusia dengan manusia.
Bagi seorang pengarang yang peka terhadap
permasalahan-permasalahan tersebut, dengan hasil perenungan, penghayatan, dan
hasil imajinasinya, kemudian menuangkan gagasan/idenya tersebut dalam karya
sastra yang kemudian melahirkan beragam karya sastra yang mencerminkan
kehidupan nyata.
Mangunwijaya (dalam Lathief, 2008: 175) juga mengemukakan
bahwa segala sastra adalah religius. Religius diambil dari bahasa Latin relego,
dimaksudkan dengan menimbang kembali atau prihatin tentang (sesuatu hal).
Seorang yang religius dapat diartikan sebagai manusia yang berarti, yang
berhati nurani serius, saleh, teliti, dan penuh dengan pertimbangan spiritual.
(Lathief, 2008: 175) Religiusitas lebih melihat aspek yang ‘di dalam lubuk
hati’, moving in the deep hart, riak getaran hati nurani pribadi, sikap
personal yang sedikit banyak merupakan misteri bagi orang lain. Dengan demikian
sikap religius ini lebih mengajuk pada pribadi seseorang dengan Khaliqnya,
bertata laku sesuai dengan karsa Tuhan. (Lathief, 2008: 175).
Sastra religius adalah sastra yang mengandung nilai-nilai
ajaran agama, moralitas, dan unsur estetika. Karya sastra seperti itu
menunjukkan bahwa pengarang merasa terpanggil untuk menghadirkan nilai-nilai
keagamaan kedalam karya sastra. Karya sastra yang menghadirkan pesan-pesan
keagamaan yang isi ceritanya diambil dari kitab-kitab suci keagamaan jumlahnya
sangat banyak.
Karya sastra puisi berjudul Yadnya Paling Utama dan
Mulia karya Tri Budhi Sastrio merupakan
karya sastra yang banyak menandung nilai relegius. Hal tersebut terlihat dari
judul puisi di atas yang menggunkan kaya
Yadnya. Yadnya merupakan kata yang bermakna ritual suci.
Berdasarkan hal di
atas, penulis tertarik menulis dengan
judul “Nilai Relegius Dalam Yadnya Paling Utama Dan Mulia Karya Tri Budhi Sastrio’’.
B.
Nilai Relegius
Bertens (2007:
140)
menjelaskan pengertian nilai melalui cara memperbandingkannya dengan fakta. Fakta menurutnya adalah sesuatu yang ada atau berlangsung begitu saja. Sementara nilai adalah sesuatu yang berlaku, sesuatu yang memikat atau menghimbau kita. Fakta dapat ditemui dalam konteks deskripsi semua unsurnya dapat dilukiskan satu demi satu
dan uraian itu pada
prinsipnya
dapat diterima
oleh semua orang. Nilai
berperanan dalam suasana
apresiasi atau penilaian dan akibatnya sering
akan
dinilai secara berbeda oleh orang banyak. Nilai selalu berkaitan dengan penilaian
seseorang, sementara fakta
menyangkut ciri-ciri obyektif
saja.
Menurut Kuntjaraningrat (1992:26) menyebutkan sisten nilai budaya terdiri dari konsepi-konsepi yang hidup dalam alam pikiran sebagian besar keluarga masyarakat, mengenai hal-hal yang harus mereka anggap bernilai dalam hidup.
Dengan demikian, nilai adalah sesuatu yang subjektif, sesuatu
yang dianggap benar, berlaku dalam kelompok masyarakat tertentu yang berkaitan
dengan hak manusia sebagai individu.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008:1286)
relegi bermakna ‘kepercayaan akan adanya Tuhan’, sedangkan relegius
bermakna ‘taat agama’. Dasuki (2011) mendefinisikan nilai-nilai
religius sebagai sesuatu yang menempati peringkat yang
sangat tinggi dalam kehidupan seorang yang beradab. Dikatakan demikian karena
nilai-nilai religius
berkaitan dengan kebenaran Ilahi yang bersifat absolut dan universal yang berangkat
dari dan bermuara pada hak asasi manusia yang paling asasi, yaitu hubungan
seseorang dengan Penciptanya.
Sesungguhnya
nilai religius
tidak semata berkaitan dengan kehidupan ritual keagamaan seseorang, tetapi
tercermin juga dalam kehidupan sehari-hari seperti menjunjung tinggi
nilai-nilai luhur tertentu, seperti kejujuran,
keikhlasan, kesediaan berkorban, kesetiaan dan lain
sebagainya.
Nilai-nilai
religius
merupakan nilai yang dapat mendorong manusia selalu dapat mengontrol
kehidupannya. Sebab dengan nilai relegius seseorang akan merasa semua
perbuatannya diawasi oleh Sang pencipta. Nilai ini telah terbukti menjadi
motivator utama dan kuat dalam sejarah umat manusia yang hidup dimasa
nabi-nabi, telah menjadi energi stimulus
dan sangat kuat dalam membangun sikap dan perilaku individu manusia di zaman
itu sampai zaman sekarang.
Abu
Hamid Muhammad bin Muhammad Al Ghozali di lahirkan di Tunisia sebuah kota di
Khurasan, Persia tahun 450 H atau 1058 M. Ayahnya seorang pemintal wool. Al
Ghozali sejak kecil dikenal sebagai seorang anak pecinta ilmu. Di masa kecil Al Ghozali belajar kepada Ahmad
bin Muhammad Ar-Radziki tentang agama dan pengetahuan. Saat dewasa Al ghozali
dikenalsebagai seorang pemikir Islam sehingga diberi gelar “hujatul Islam”.
Pandangan Al Ghozali tentang pengetahuan adalah bahwa
pengetahuan tidak ada yang dapat memenuhi maksud hatinya kecuali hanya
memuaskan akal dan indra. Sedangkan
agidah atau agama adalah alat untuk
menyucikankan jiwa serta membersihkan diri dari karat kehidupan (Sulaiman,
1986:39)
Pandangan
Imam Ghozali tentang nilai relegius tertuang
dalam pendapatnya tentang
pembagian ilmu pengetahuan. Al Ghozali membagi ilmu pengtahuan menjadi tiga yaitu ilmu pengetahuan yang secara
mutlak tercela, ilmu pengetahuan yang
terpuji, dan ilmu pengetahuan yang dalam kadar tetentu terpuji ( Sulaiman, 1986
:27).
Lebih
lanjut dijelaskan bahwa ilmu pengetahuan yang secara mutlak terpuji adalah
pelajaran-peajaran agama dan berbagai macam ibadah. Ilmu pengetahuan tersebut
dapat menyucikan jiwa, melepaskan diri dari perbuatan tercela, membantu
mengetahui kebaikan dan mengerjakannya,
membantu manusia ke jalan mendekatkan diri kepada Allla SWT ( Sulaiman, 1986
:29).
D. Pembahasan dan Hasil
Pada prinsipnya manusia dengan Tuhan selalu saling
berhubungan. Manusia dalam kesanadaran dirinya menyadari bahwa dirinya
merupakan makhluk yang lemah. Oleh karenya itu manusia menyadari bahwa di luar
dirinya ada zat yang paling berkuasa dan menguasahi dunia dan isinya termasuk
manusia.
Sebaliknya, zat yang paling berkusa, Tuhan, selalu
berhubungan dengan manusia. Hubungan tersebut terbukti bahwa Tuhan selalu
memerhatikan manusia dengan cara a) Tuhan memberi rezeki kepada manusia, b)
Tuhan menurunkan bencana, c) Tuhan memberi kehidupan kepada manusia dalam
berbagai bentuk.
Hubungan manusia kepada Tuhan pada dasarnya adalah
hubungan pengadian atau yang sering disebut sebagai beribadah. Ada dua garis
besar hubungan manusia dalam hal beribadah.
Beribadah kepada Tuhan ada kalanya berbentuk ibadah yang sudah
ditetapkan aturan, dan beribadah yang tidak ditetapkan aturannya. Ibadah yang
ditetapkan aturan misalnya dalam Islam adalah Salat, haji, puasa, dan syahadat.
Sedangkan ibadah yang tidak ditetapkan aturannya misalnya berbaik sangka kepada
orang, tolong menolong, bekerja dan lain sebaginya.
Inti hubungan manusia adalah pengabdian, sedangkan inti
hubungan Tuhan dan manusia adalah hukum, aturan atau norma. Hukum yang
diciptakan Tuhan sifatnya mengikat kepada manusia Jika manusia tidak
mengindahkan aturan tersebut maka manusia tersebut dianggap tercela baik itu
dalam kehidupan di dunia maupun dalam kehidupan di akherat kelak.
Berdasarkan urain tersebut, nilai
relegius yang menggambarkan hubungan antara manusia dan Tuhan dapat digolongkan
menjadi beberapa nilai antara lain: 1) Nilai keimanan kepada Tuhan, 2) Nilai
ikhtiar kepada Tuhan, dan 3) nilai Tawakal. Penjelasan ketiga hal di atas
sebagai berikut.
1)
Nilai Keimanan
Nilai keimanan adalah membenarkan dalam hati dan mengucapkan
dalam bentuk lisan serta mewujudkan dalam bentuk tindakan. Dalam puisi Yadnya Paling Utama Dan Mulia Karya Tri Budhi Sastrio nilai
keimanan tergambar sebagaimana kutipan berikut ini.
Yadnya sederhana ternyata yadnya yang paling mulia
Dipersembahkan bukan kepada para batara dan dewa Melainkan pada sesama, pada
sesama yang hina nista, Karena batara serta dewa itu, benar-benar telah mulia,
Mereka sama sekali, tidak perlukan persembahan
kita.
Nilai keimanan kepada Tuhan dalam
penggalan di atas dapat dilihat pada
penggunaan kata Yadnya. Yadnya merupakan upacara suci yang diselenggakan oleh
umat Hindu/Budha. Yadnya merupakan salah satu upacara ritual.
Bahwa upacara ritual religi atau agama yang biasanya
dilaksanakan oleh masyarakat pemeluk religi atau agama yang bersangkutan itu mempunyai
fungsi sosial untuk menjadikan solidaritas masyarakat. Para pemeluk suatu
religi atau agama memang ada yang menjalankan kewajiban mereka untuk melakukan
upacara itu dengan sungguh-sungguh, akan tetapi ada juga yang melakukanya hanya
setengah- setengah saja. Motivasi mereka untuk melaksanakanya tidak hanya untuk
berbakti kepada Tuhan atau Dewanya, atau hanya untuk mengalami kepuasan
keagamaan secara pribadi, akan tetapi karena mereka menganggap bahwa melakukan
upacara adalah suatu kewajiban sosial.
Mengenai tentang fungsi upacara bersaji. Pada
upacara bersaji ini manusia menyajikan sebagian sebagian dari seekor binatang,
terutama yang disajikan kepada dewa adalah darahnya, kemudian daginngnya di
makan oleh manusia secara bersama. Robertson Smith juga menganggap bahwasanya
hal ini dianggap sebagai aktivitas
untuk mendorong rasa solidaritas dengan
Dewa. Dalam hal itu Dewa di pandang sebagai warga komunitas meskipun sebagai
warga yang istimewa. Menurut Robertson Smith upacara bersaji adalah suatu
upacara yang gembira meriah.
Hal tersebut juga tergambar dalam penggalan di atas yang
ditunjukkan oleh penggunaan kontruksi “dipersembahkan
bukan kepada para batara dan dewa// Melainkan pada sesama, pada sesama yang
hina nista’’.
2)
Nilai Ikhtiar Kepada Tuhan
Ikhtiar
dapat dimaknai sebagai alat, syarat untuk mencapai
maksud; daya upaya. Ikhtiar merupakan usaha manusia menjalankan sesuatu di
dunia agar mencapai maksud dan tujuannya. Konsep berusaha dapat diterapkkan
untuk tujuan dunia misalnya mencari nafkah dengan jalan bekerja. Konsep
berusaha juga dapat diterapkan untuk tujuan akherat.
Nilai ikhtiar kepada Tuhan dalam puisi Yadnya Paling Utama dan
Mulia karya Tri Budhi Sastrio tergambar
sebagaimana kutipan berikut ini.
Kemudian aku berkelana,
mencari yadnya sama mulia,
Dari satu yadnya ke lain yadnya,
tetapi tak pernah
ada
Penggalan
di atas berisi tentang upaya seorang umat yang
mencari yadnya dengan cara berkelana dari yadnya satu ke yadnya yang lainnya. Hal tersebut menjadi bukti bahwa
orang tersebut berusaha mencari yadnya. Usaha yang dilakukan oleh tokoh dalam
penggalan tersebut merupakan wujud usaha atau ikhtiar.
3) Nilai Tawakal
Tawakal
dapat dimaknai sebagai pasrah diri kepada kehendak Tuhan YME; percaya dengan
sepenuh hati kepada Tuhan YME termasuk dalam penderitaan dan sebaginya. Dalam
pengertian tersebut seseorang yang tawakal berarti menyerahkan hasil kerjanya
hanya kepada Tuhan YME semata tidak kepada yang lainya.
Tawakal
hanya dilakukan setelah seseorang telah berusaha semaksimal mungkin. Tawakal tidak
dilakukan sebelum kita berusaha tetapi setelah berusaha.
Nilai ikhtiar kepada Tuhan YME dalam puisi Yadnya Paling Utama dan
Mulia karya Tri Budhi Sastrio tergambar
sebagaimana kutipan berikut ini.
Dewa batara paling mulia, berperan penolong
manusia.
Kemudian mereka
bersama-sama atas titah Sang Maha
Diantar masuk nirwana, sebagai
tanda pemberi dharma
Sebagai bentuk
yadnya paling mulia,
seluruh jagat raya
Tawakal pada kutipan di atas terlihat
dari konstruksi yang berbunyi “Dewa batara paling mulia, berperan penolong
manusia//Kemudian mereka bersama-sama atas titah Sang Maha/Diantar masuk
nirwana”. Dewa dalam kontrusi tersebut dinilai sebagai penolong manusia.
Dalam hal ini manusia merasa dirinya rendah dan kemudian menyerahkan segala
kesulitan kepada Dewa. Sebab Dewa adalah penolong manusia. Pernyataan lain yang
mendukung nilai tawakal adalah kontruksi
yang berbunyi “Kemudian mereka bersama-sama atas titah Sang Maha/Diantar
masuk nirwana. Pernyataan tersebut bermakna
manusia yang menyerahkan urusan kepada Dewa maka ia akan masuk nirwana
atas perintah Dewa. Hal tersebut menjadi buktui bahwa jika seorang yang tawakal
maka urusan masuk surgapun diserahkan kepada Dewa, yaitu dengan menunggu
perintah Dewa.
E. Simpulan
Puisi Yadnya Paling Utama dan Mulia karya Tri
Budhi Sastrio 1) Nilai keimanan
kepada Tuhan, 2) Nilai ikhtiar kepada Tuhan, dan 3) nilai Tawakal.
DAFTAR PUSTAKA
Abidin,
Zainal. 2009. Filsafat Manusia, Mamahami Manusia Melalui Filsafat. Cet ke-5
EdisiRevisi. Bandung : PT Rosdakarya.
Budiningsih,
C. Astri. 2010. “ Stretegi Pembelajaran Nila Humanis” di dalam Majalah Dinamika
PendidikanNomor 02/TH.XVII/Oktober 2010 Yogyakarta: Fakultas Ilmu Pendidikan
Universitas Negeri Yogyakarta.
Bertens, K. 2007. Etika. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Departemen Pendidikan Nasional.2008. Strategi Pembelajaran dan Pemilihannya.
Jakarta: Derektorat Tenaga Kependidikan, Depdiknas.
Kamus Online : http://www.artikata.com diakses 5 November
2011
Kemendiknas. 2010. Pengembangan Pendidikan Budaya
dan Karakter Bangsa. Jakarta : Pusat Kurikulum Kemendiknas.
Kuntjaraningrat .1992.
Beberapa
Pokok Antropologi Sosial.
Jakarta: Dian Rakyat.
Lathief, Supaat I. 2008. Sastra:
Eksistensialisme – Mistisisme Religius. Lamongan: Pustaka Ilalang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar