BAHASA VULGAR DALAM NOVEL “CANTIK ITU LUKA” KARYA EKA
KURNIAWAN: KAJIAN SOSIOLINGUISTIK
Oleh Rasmian, email: riasmian71gmail.com
A. Pendahuluan
Sering kita mendengar himbauan guru bahasa Indonesia
tentang penggunaan bahasa yang baik dan benar, sebagaimana himbauan pemerintah
agar dalam berbagai kesempatan kita mengunakan bahasa yang baik dan benar. Maksud menggunakan bahasa yang benar adalah
menggunakan bahasa sesuai dengan kaidah
bahasa yang benar. Sedangkan menggunakan bahasa yang baik adalah menggunakan
bahasa sesuai dengan situasi dan konteks kebahasaannya.
Himbauan itu sebenarnya ditujukan kepada pemakai bahasa
agar pemakai bahasa dapat menggunakan bahasa Indonesia dengan ragam bahasa
tertentu sesuai dengan konteks bahasa tersebut digunakan. Apabila kita
berbicara atau menulis sebaiknya kita memperhatikan dengan siapa kita
berbicara, apa yang sedang kita bicarakan dan di mana kita berbicara. Dengan
demikian kita dapat menggunakan bahasa yang tepat sehingga kita tidak dikatakan
orang sebagai pengguna bahasa yang kurang sopan.
Dalam penggunaan bahasa terdapat ragam atau variasi
bahasa. Variasi bahasa dapat digolongkan menjadi variasi dari segi
penutur,variasi dari segi pemakai, variasi dari segi keformalan, variasi dari
sarana (Chaer dan Leona Agustina , 2004:61-72). Variasi berdasarkan pemakainya,
terdapat variasi yang disebut sebagai bahasa vulgar.
Chaer dan Leonie Agustina (2004:66) menjelaskan bahasa
vulgar sebagai variasi sosial yang ciri-cirinya tampak pemakaian bahasa oleh
mereka yang kurang terpelajar atau dari mereka yang kurang berpendidikan.
Variasi bahasa vulgar oleh masyarakat awam dikenal dengan istilah bahasa yang
kasar atau kurang sopan.
Pemakain bahasa vulgar sebenarnya jarang digunakan dalam
komunikasi formal, tetapi akhir-akhir ini bahasa vulgar banyak ditemukan dalam
berbagai komunikasi terutama komunikasi tulis di bidang sastra.
Temuan, para peneliti akhir-akhir ini banyak bermunculan
penggunaan bahasa vulgar dalam karya sastra. Salah satu karya sastra yang
banyak menggunakan bahasa vulgar adalah sebuah novel berjudul Cantik Itu
Luka karya Eka Kurniawan.
Bagaimanakah sebenarnya bahasa vulgar dalam karya sastra,
apa fungsi dan jenisnya, masih butuh kajian yang mendalam. Sehubungan dengan
hal tersebut penulis tertarik untuk menulis dengan judul Bahasa Vulgar dalam
Novel Cantik Itu Luka: Kajian Sosiolinguistik.
B. Bahasa Vulgar
Bahasa vulgar merupakan variasi bahasa dari segi penuturnya. Menurut Kamus
Besar Bahasa Indonesia offline versi V.1.1 vulgar dapat dimaknai sebagai kasar
(tentang perilaku, perbuatan, dsb);
tidak sopan. Menurut pendapat Nadel (1964) yang dikutip Wijana (2011:112)
orang-orang Nupe di Afrika menggunakan ungkapan-ungkapan untuk pertuturan yang
sopan dan tidak sopan. Bentuk penuturan
yang sopan biasanya menggunakan jenis tuturan eufimisme atau penghalusan bahasa
dan tuturan langsung yang hanya cocok digunakan dalam cerita-cerita porno,
lelucon atau atau tuturan-tuturan akrab
yang lazimnya digunakan oleh para pemuda.
Ungkapan-ungkapan kasar seperti itu oleh Nadel digambarkan sebagai
bahasa yang tidak mengenakkan, kasar, kurang pantas, salah satu fungsinya
sebagai makian.
Chaer dan Leonie Agustina (2004:66) menjelaskan bahasa vulgar sebagai
variasi sosial yang ciri-cirinya tampak pemakaian bahasa oleh mereka yang
kurang terpelajar atau dari mereka yang kurang berpendidikan. Senada dengan hal
di atas, Aslinda (2010:18) berpendapat bahwa bahasa vulgar adalah variasi
bahasa sosial yang ciri-cirinya terlihat dari tingkat intelektual penuturnya.
Studi tentang bahasa vulgar menurut hemat penulis erat kaitannya dengan
studi bahasa makian. Hal tersebut disebabkan antara bahasa vulgar dan makian
terdapat benang merah kesamaan fungsinya. Makian dan vulgar merupakan pemakain
bahasa untuk menyatakan perasaan tidak senang dengan menggunakan bahasa yang
kasar.
Sedangkan menurut ahli lain, bahasa kasar adalah bentuk ungkapan yang
menistakan orang lain dengan menggunakan kata-kata yang tidak senonoh, misalnya,
caci-maki, umpatan, penghinaan, dan sebagainya (Prastika, 2008:2)
Senada dengan hal di atas, Wijana (2011:110) makian erat kaitanya dengan
masalah tabu. Kata tersebut memiliki makna yang luas, tetapi secara psikologis
kata tabu muncul sekurang-kurangnya karena tiga hal, yaitu adanya sesuatu yang
menakutkan, adanya sesuatu yang tidak mengenakkan, adanya sesuatu yang tidak
santun atau tidak pantas.
Sehubungan dengan fungsi bahasa, bahasa vulgar bagi kalangan tertentu
mungkin saja dapat berfungsi sebagai alat untuk mengungkapkan pembicaraan yang
bernuansa akrab. Misalnya kata-kata vulgar berbentuk makian bagi masyarakat
Surabaya dapat berfungsi sebagai simbol keakraban diantara meraka. Hal tersebut
didukung temuan ahli Sosiolingistik Kristin Hasund (Wijana, 2011:110) menemukan bahwa kata-kata kasar, makian,
ejean, tuturan sejenisnya yang digunakan oleh penutur wanita-wanita kelas
pekerja merupakan simbul keakraban.
Sedangkan dilihat dari bentuk penggunaan kata-katanya, bahasa vulgar
biasannya dapat berupa makian, ungkapan yang berhubungan ekspresi yang tidak
menyenangkan, mengungkapkan masalah pornografi, dan lain sebagainya. Menurut
Wijana (2011:119) bentuk-bentuk kata
yang demikian biasanya mengadung unsur referensi. Artinya kata-kata makian yang
termasuk golongan kata vulgar tersebut menggunakan referensi tertentu misalnya
keadaan, binatang, benda, bagian tubuh, aktivitas, dan profesi.
Sedangkan Wijana (2012:119-130) memberikan beberapa contoh makian (bahasa
vulgar) sebagai berikut.
1) Bangsat, apa saja yang dimongkan orang itu.
2) Setan, dari mana kau mendapat pedang itu.
3) Dasar gila, dosennya sendiri diumpat-umpat.
4) Monyet kamu, siapa yang berani berbuat kurang ajar.
5) Matamu, sudah pasang tanda masih ditabak.
6) Dasar gombal, malah dia yang nggak datang.
7) Diancok, kok begini jadinya.
8) Bajingan, kembalikan pedang wasiat itu.
Studi tentang bahasa vulgar dalam ilmu semitotika erat hubungannya dengan
masalah tabu. Kata ini memiliki makna yang luas, akan tetapi umum memiliki arti
“sesuatu yang dilarang”. Selain itu,
berdasarkan motivasi psikologis yang melatarbelakangi, kata-kata tabu muncul
dikarenakan tiga alasan ( Wijana, 2011:111). Selanjutnya Wijana (2011:111-112)
menjelaskan tiga alasan psikologis bahasa tabu sebagai berikut.
a) Adanya sesuatu yang menakutkan, sering disebut sebagai taboo
of fear.
Contoh taboo of fear, misalnya usaha menghindari
pengungkapan nama-nama Tuhan dan makhluk halus.
b) Adanya yang tidak mengenakkan perasaan, sering disebut
sebagai taboo of delicacy).
Menghindari menyebut secara langsung nama-nama penyakit.
c) Adanya sesuatu yang tidak santun dan tidak pantas, sering
disebut sebagai taboo of propriety.
Contohnya, usaha manusia mengungkapkan hal-hal yang
berkaitan dengan seksualitas, bagian-bagian
tubuh yang laian merupakan contoh taboo of propriety.
Dalam hal ini, penulis sependapat dengan pendapat Wijana, bahwa bahasa vulgar erat kaitannya dengan tabu. Pembahasan
bahasa vulgar dapat digolongkan menjadi
tiga konsep tabu di atas, yaitu a) vulgar disebabkan adanya sesuatu yang
menakutkan, b) vulgar karena adanya sesuatu yang tidak mengenakkan perasaan, c)
vulgar karena adanya sesuatu yang tidak pantas/ tidak sopan.
C. Eka Kurniawan dan Novel Cantik Itu
Luka
Eka Kurniawan, sastrawan muda dari Tasikmalaya, Lahir di
Tasikmalaya 28 November 1975 adalah seorang sarjana filsafat UGM. Untuk pertama
kalinya Eka menulis sastra genre Novel. Novel ini pada awalnya adalah tugas
akhir masa kuliah, tahun 1999 novel ini diterbitkan Yayasan Aksara Indonesia.
Pada tahun 2002 Novel berjudul “Cantik Itu
Luka” diterbitkan oleh Akademi Kebudayaan Yogyakarta bekerja sama dengan
penerbit Jendela, tahun 2004 diterbitkan ulang oleh Gramedia.
Pada tahun 2003, novel ini masuk Long List Khatulistiwa
Literary award, dan tahun 2006 diterjemahkan ke dalam bahasa Jepang atas usaha
Ribeka Ota. Tahun 2015, novel ini
diterbitkan dalam bahasa Inggris oleh Annie Tucker dan diterbitkan oleh
Directions Publishing.
Pada tahun 2004, Eka kembali menerbitkan novel yang
diberi judul “ Lelaki Harimau” diterbitkan oleh Gramedia. “Seperti Dendam”, “Rindu
Harus Dibayar” merupakan novel Eka yang terbit tahun 2014 juga diterbitkan
Gramedia. Masih bekerja sama dengan Gramedia, tahun 2016 Eka menerbitkan novel
dengan judul “O”.
“Cantik Itu Luka” merupakan kisah masa kolenial Belanda
dan masa Sesudah Perang Kemerdekaan. Novel ini menceritakan tokoh Dewi Ayu, di
akhir masa kolonial dipaksa menjadi
pelacur. Dewi Ayu menjalani hidup menjadi pelacur hingga ia mempunyai tiga anak
tanpa ayah yang sah dan sulit diketahui siapa ayah yang sebenarnya.
Cerita diawali kebangkitan Dewi Ayu dari kubur setelah
meninggal 21 tahun yang lalu. Dewi Ayu adalah anak keturunan Indonesia-belanda.
Pada saat Belanda menyerah kalah dari tentara Jepang, Dewi Ayu tidak pulang ke
Belanda, tetapi tetap hidup dalam masa penjajahan Jepang. Dewi Ayu yang
berwajah cantik jelita ditawan tentara Jepang dan dipaksa menjadi pelacur untuk
melayani tentara-tentara Jepang. Dari hasil melacur bersama tentara-tenra
Jepang itulah Dewi Ayu mendapat tiga anak.
Novel ini ditulis Eka kurniawan setebal 496 halaman.
Novel yang bercerita tentang kehidupan Dewi Ayu disisipi cerita realitas
perjuangan bangsa dalam merebut kemerdekaannya.
Rangkain cerita Dewi Ayu dikemas oleh Eka dengan bahasa
yang realistis. Dibanyak paragraf Eka menampilakan realitas seks di masa
kemerdekaan dengan bahasa yang lugas dan menggunakan variasi vulgar.
D. Bahasa Vulgar dalam Novel Caktik Itu Luka
Sebagaimana pembahasan pada seksi sebelumnya, bahasa vulgar merupakan variasi bahasa
menurut pemakainya. Para ahli mengelompokkan bahasa vulgar sebagai bahasa yang
digunakan sekelompok pemakai bahasa yang pendidikannya rendah atau secara
intelektual kurang baik.
Namun demikian fenomena penggunaan bahasa vulgar dalam
komunikasi tertulis seperti digunakan dalam sastra akhir-akhir ini, justru
pemakainya atau penulisnya merupakan lulusan perguruan tinggi. Keluar dari
pembahasan tersebut, penulis kali ini hanya akan memaparkan pembahasan bahasa
vulgar ditinjau dari bentuk, referensi, dan fungsinya. Pembahasan masalah fungsi bahasa vulgar hanya
dibatasi pada fungsi dalam karya sastra, terutama sastra genre novel.
Pembahasan bahasa vulgar
dapat digolongkan menjadi tiga berdasarkan konsep, yaitu a) vulgar
disebabkan adanya sesuatu yang menakutkan, b) vulgar karena adanya sesuatu yang
tidak mengenakkan perasaan, c) vulgar karena adanya sesuatu yang tidak pantas/
tidak sopan.
Berdasarkan ada tidaknya referensi (acuan) kata-kata
dalam bahasa dapat digolongkan menjadi dua, yaitu a) kata bereferensi, dan b)
kata tidak bereferensi. Pembagiannya mengikuti kaidah sintaktik misalnya kata
benda, kata sifat, kata kerja dan lain sebagainya.
Sedangkan dilihat dari sudut fungsi, fungsi bahasa vulgar
dalam novel Cantik Itu Luka :a)sebagai Makian dari tokoh cerita, b)sebagai alat
untuk mendeskripsikan setting cerita, dan c) sebagai alat menciptakan estetika
karya sastra.
Berikut ini hasil dan pembahasannya.
1) Jenis Bahasa Vulgar
a) Vulgar Jenis Pertama (Adanya
sesuatu yang
menakutkan)
Wijana (2011:111-112) menjelaskan adanya sesuatu yang menakutkan, sering
disebut sebagai taboo of fear. Dalam berkomunikasi sebenarnya komunikan
tidak ingin; atau ada larangan mengatakan sesuatu yang kasar. Oleh karena itu, komunikan berusaha menyembunyikan sesuatu
yang kasar dengan jalan menyebutkan dengan teknik eufimisme. Apabila komunikan
tidak menggunakan eufimisme, maka munculah apa yang disebut sebagai bahasa
vulgar.
Salah satu bentuk penghindaran tersebut adalah karena adanya sesuatu yang
menakut. Contoh sesuatu yang menakutkan adalah pengungkapan nama-nama Tuhan dan
makhluk halus.
Dalam Nonel Cantik Itu Luka hal tersebut
terbukti dari data berikut ini.
(1) Seolah Dewa Cabul memasuki
mereka, keduanya berlari mendekat dan berpelukan erat, saling mencium di bawah
kehangatan matahari tropis (Kurniawan, 2015:35)
(2) Ia memandang wajah Sang Shodancho seolah memandang Iblis
yang telah menjelma, Iblis yang sejak kecil ia bayangkan
bagaimana wujudnya ( Kurniawan, 2015:129)
Data (1) dan (2) menunjukkan adanya penggunaan bahasa vulgar karena dalam
data tersebut terdapat kontruksi Dewa cabul (1) dan Iblis (2). Kontruksi Dewa
Cabul mengarah pada nama Tuhan yang memiliki sifat tidak senonoh. Tuhan dalam
terminologi agama apapun adalah zat yang diangungkan. Karena Tuhan adalah zat
yang Maha Agung umat beragama selalu memberi pujian. Hal itu dilakukan sebab
jika seseorang/umat beragama tersebut tidak takut kepada Tuhan, maka ia akan
mendapat kutukan atau dosa.
Dalam kontruksi kalimat data (1) penggunaan Dewi Cabul menunjukkan pemakai
kontruksi tersebut tidak takut kepada
Tuhan. Berdsarkan hal terbut bahawa pemakain Dewa Cabul merupakan penyebutan
nama Tuhan secara kasar atau dalam istilah lain disebut sebagai vulgar.
Sedangkan pada data (2), penggunaan kontruksi Iblis menunjukkan
pemakai kontruksi tersebut tidak merasa takut dengan iblis. Iblis dalam
terminologi umat beragama adalah makhluk halus yang memiliki sifat jahat dan menakutkan.Penggunaan kontruksi tersebut
merupakan pemakaian bahasa vulgar.
b) Vulgar Jenis
Kedua (Pemakaian sesuatu yang tidak mengenakkan)
Wijana (2011:111-112) menjelaskan adanya sesuatu yang tidak mengenakkan,
sering disebut sebagai taboo of delicacy. Sehingga jika dalam komunikasi kita tidak menghindari hal itu
varasi bahasa yang kita pakai disebut vulgar jenis kedua yaitu memakai bahasa
yang mengandung sesuatu yang tidak mengenakkan.
Selanjutnya Wijana (2011:112) menjelaskan, sesuatu yang tidak mengenakkan
antara lain menyebut secara langsung nama-nama penyakit.
Dalam berkomunikasi sehari-hari, sesuatu yang tidak mengenakkan tidak hanya
berhubungan dengan penyakit, tetapi juga
berhubungan sebutan nama panggilan, keadaan/kondisi tertentu yang dialami
manusia, atau berkaitan dengan pekerjaan dan aktivitas manusia yang lain.
Data (3), (4), (5),
(6), (7), (8), dan (9) menunjukkan hal tersebut.
(3) Apa kubilang, inlander itu monyet, belum
juga manusia (Kurniawan, 2015:35).
(4) “Apakah ia tengah bunting?”Siapa?“Dewi
Ayu”. “Jika ia ingin kawin denganmu,”kata si Jawara, “itu pasti karena ia bunting.
(Kurniawan, 2015:36)
(5) Beberapa jongos dapur menceritaannya sambil
berbisik, sebab jika Ted atau Marietje tahu bahawa mereka membocorkan cerita
tersebut pada gadis itu, kemungkinan besar mereka dicambuk (Kurniawan, 2015:40)
(6) Keduanya hidup serumah sejak mereka masih orok,
dan tak seorangpun menyadari keduanya jatuh
cinta satu sama lain. (Kurniawan, 2015:
40)
(7) Makannya sangat lahap, dan tanpa diselingi
bicara apapun, meskipun beberapa jongos menunggu perintahnya (Kurniawan, 2015:60).
(8) “Kau tak perawan dan kau bunting
dan kau akan jadikan aku kambing hitam” (Kurniawan,
2015:50)
(9) Dewi Ayu kemudian berkata,”Sebagaimana saranmu, Mama, aku
memikirkan keluargaku, dan satu-satunya yang kumiliki hanya bocah di dalam
perut ini, “maka dewi Ayu membiarkan perutnya buting , semakin
besar dari hari ke hari (Kurniawan, 2015:89)
Data (3), (5), (6), dan (7) merupakan penggunaan sesuatu yang tidak
mengenakkan dilihat dari sebutan nama panggilan. Data (3) yang menggunakan
kontruksi monyet untuk menyebut bangsa Belanda, data (5) dan (7)
menggunakan kontruksi jongos untuk menyebut pria atau wanita yang
diperintahkan membantu pekerjaan rumah tangga dalam sebutan yang lebih halus
adalah pramuwisma, data (6) menggunakan kontruksi orok untuk menyebut bayi yang baru lahir, sedang data (8) dan (9)
menggunakan kontruksi bunting untuk menyebut seorang ibu yang sedang
mengandung bayi. Data-data tersebut menunjukkan penggunaan variasi vulgar sebab
hal-hal tersebut sebenarnya mengandung unsur sesuatu yang tidak mengenakkan.
c) Vulgar Jenis Ketiga (Pemakaian
sesatu yang
tidak santun, tidak sopan/ tidak pantas)
Interaksi linguistik pada dasarnya memerlukan
interaksi sosial. Agar apa yang kita katakan dalam interaksi tersebut bermakna,
maka kita harus memperhatikan berbagai macam faktor yang berkaitan dengan
kesenjangan dan kedekatan sosial. Sebagian dari faktor-faktor itu terbentuk
khusus melalui suatu interaksi selain karena faktor luar juga. Faktor-faktor
itu membuat apa yang diinformasikan lebih banyak dari apa yang dikatakan.
Investigasi pengaruh ini biasanya dilakukan dalam bahasan tentang kesopanan.
Sudah lazim apabila kita memperlakukan kesopanan sebagai suatu
konsep tegas, seperti gagasan ‘tingkah laku sosial yang sopan’, atau etiket,
terdapat dalam budaya. Juga dimungkinkan menentukan sejumlah prinsip-prinsip
umum yang berbeda untuk menjadi sopan dalam interaksi sosial dalam suatu budaya
khusus. Dalam suatu interaksi ada tipe khusus kesopanan yang lebih sempit
ditempat kerja.
Hal ini
sejalan dengan pemikiran Chaer (2010:67) yang menyatakan bahwa
kalau tuturan yang santun berkaitan dengan “bahasa” yang digunakan, yaitu
bahasa dengan ciri-ciri kesantunan; maka tuturan yang sopan berkaitan dengan
topik tuturan, konteks situasi pertuturan, dan jarak hubungan sosial antara
penutur dan lawan tutur.
Sedangkan masalah kesantunan berabahasa
Leech (1983) sebagaimana dikutip Rahardi (2000:57) memberikan enam
prinsip kesantunan dalam bertutur. Enam prinsip itu antara lain: a) Prinsip
kebijaksanaan, b) prinsip kedermawanan, c) prinsip penghargaan, d) prinsip
kesederhanaan, dan e) prinsip permufakatan.
Dalam
makalah ini dibahas variasi bahasa vulgar jenis
ketiga yang didalamnya terdapat sesuatu yang melanggar prinsip-priinsip
kesopanan dan kesantunan berbahasa.
Hal
tersebut tergambar dari data-data (10-51) di bawah ini.
(10)
“Apakah
kau masih mengharapkanku?” Tanya Ma Iyang. “Seluruh tubuhku telah dijilati
dan dilumuri ludah orang belanda, dan kemaluanku telah ditusuk kemaluannya
sebanyak seribu seratus sembilan puluh du kali.” (Kurniawan, 2015:.34)
(11)
“Aku
telah menusuk dua puluh delapan kemaluan perempuan sebanyak empat ratus
enam puluh dua kali, dan menusuk tanganku sendiri dalam jumlah tak terhitung,
belum termasuk kemaluan binatang, apakah kita berbeda?”( Kurniawan, 2015:35)
(12)
Hingga
tanpa sungkan, keduanya bercinta pada sebuah batu cadas ceper ditonton
orang-orang yang memenuhilembah bagaikan nonton film di bioskup,
perempuan-perempuan saleh menutup wajah mereka dengan kerudung dan para lelaki
dibuat ngaceng tanpa berani memandang, dan orang Belanda berkata satu
sama lain. (Kurniawan, 2015:35)
(13)
Orang-orang
mulai menganggap kegilaannya kambuh, meskipun ia tak lagi memerkosa sapi
dan ayam betina dan tidak pula makan tai (Kurniawan,
2015: 36)
(14)
“Kenapa
kau takut padaku?”. Aku hanya ingin disentuh olehmu, dan tentu sja disetubuhi,
sebab kau suamiku. (Kurniawan, 2015:50)
(15)
“Pikirkanlah,
kita kawin dan kau tak menyetubuhiku, “ kataku lagi. Aku tak pernah bunting
dan orang-orang akan bilang kemaluanmu tak lagi berfungsi.” (Kurniawan, 2015:50)
(16)
Dengan
telanjang bulat, ia berdiri di depan si lelaki tua yang tetap histeris
dan keras di telinga lelaki itu.“ Lakukan dan kau akan tahu aku perawan”.“Demi
Iblis, aku tak akan melakukannya sebab aku tahu kau tak perawan” (Kurniawan, 2015:50)
(17)
Lalu
Dewi Ayu memasukkan ujung jari tengah tangan kanan ke dalam lubang
kemaluannya, jauh masuk ke dalam, tepat di depan hidung Ma Gandik.
Gadis itu itu meringis sedikit
kesakitan, setiap kali jarinya bergerak diselangkangannya,
hingga ia mengeluarkan dan memperlihatkannya pada Ma Gendik. Setetesdarah
mengucur di ujung jari, dioleskannya memanjang dari ujung dahi sampai ujung dagu Ma Gedik. (Kurniawan, 2015:60)
(18)
Setelah
cebok denagan menyisakan sedikit air, ia mengorek tainya untuk menemukan
keenam cincinnya (Kurniawan, 2015:64)
(19)
Sang
Komandan tampak sepakat dengan gagasan itu dan tapa berkata apa-apa segera
menarik Dewi Ayu, mengangkat dan mebaringkannya di atas meja setelah menyingkirkan gelas kopi dan radio.
Dengan cepat menelanjangi gadis itu dan menelanjangi dirinya
sendiri... ia menjatuhkan tubuhnya di tubuh Dewi Ayu. (Kurniawan, 2015:68).
(20)
Dewi
Ayu memejamkan matanya, sebab bagaimanapun ini kali pertama seorang lelaki menyetubuhinya:
ia agak sedikit menggigil namun namun
bertahan melewati horor itu (Kurniawan,
2015:68)
(21)
Tak
apa, “ kata dewi Ayu pada si gadis, “
Anggap aku buang tai lewat lubang depan”. (Kurniawan, 2015:69)
(22)
Ke
mana-mana ia pergi dengan kereta kuda, mengurusi beberapa bisnisnya, yang
paling utama tetap perempuan-perempuan yang menjajakan kemaluan mereka.
(Kurniawan, 2015:83)
(23)
Mereka
melolong selama persetubuhan yang mengerikan itu, dan ia bahkan
mendengar Helena meneriakkan beberapa baris Mazmur sementara seorang lelaki
Jepang membobol kemaluannya. (Kurniawan,
2015:86)
(24)
Ia merenggangkan
kedua kaki perempuan itu hingga mengangkang, dan begitu pula kedua
tangannya. Seteleah memandangi bongkahan daging yang tetap diam tersebut, Ia
segera menelanjangi dirinya sendiri, dan melompat ke atas tempat tidur,
berbaring telungkup di atas tubuh Dewi Ayu, menyerangnya. Bahkan selama persetubuhan yang dingin itu Dewi ayu
tetap pada posisiny semula sebagaimana di atur si tentara Jepang (Kurniawan, 2015:86-87).
(25)
Malam
itu mereka mungkin disetubuhi empat lima laki-laki. Itu malam yang
sungguh gila. Apa yang membuat Dewi Ayu menderita, bukanlah percintaan liar yang tak mengenal
lelah itu, yang nyaris membekukan tubuhnya dalam sikap yang nesterius, tapi
jeritan-jeritan histeris serta tangisan teman-temannya. (Kurniawan, 2015:87).
(26)
“Tidak
ada bedanya antara prajurit rendahan atau kaisar Jepang,” Kata dewi Ayu. “ Mereka semua sama mengincar selangkangan
betina”. (Kurniawan, 2015:89)
(27)
“
Seorang hamil karena disetubuhi bukab karena tidak dipijat”,
katanya enteng (Kurniawan, 2015:89)
(28)
Mereka
bercinta malam itu dan bercumbu nyaris semalaman. Keduanya nampak begitu
hangat bagaikan sepasang kekasih yang lama tak berjumpa. Ketika pagi datang,
masih telanjang bulatdan hanya dibalut selimut satu untuk berdua, mereka
duduk di depan vapilium menikmati udara pagi, (Kurniawan, 2015:121)
(29)
Dewi
Ayu menggeleng,”Tak selama itu”, katanya. Tapi Selama kau mampu, terutama uang
dan kemaluanmu”.
(30)
Aku
bisa mengganti kemaluanku dengan ujung jari, atau kaki sapi jika kau
merasa kurang/ “ujung jari udah cukup, asal tahu cara memakainya,” kata Dewi
ayu (Kurniawan,
2015:126)
(31)
“Maslahnya
lelaki tak setiap hari bisa meniduriku, dan aku menerima uang buta, “
kata Dewi Ayu sambil tertawa kecil (Kurniawan,
2015:126)
(32)
“
Cari gadis lain, “ia menyarankan, “semua kemaluan perempuan sama saja” (Kurniawan, 2015:129)
(33)
Ia
tak pulang bagaimanapun., namun dengan kasar membuka pakaian Dewi ayu dan
mendorongnya ke tempat tidur. Ia membuka pakaiannya dengan tergesah-gesa dan
naik ke tempat tidur menyetubuhi pelacur itu dengan ketergesaan yang
sama. Setelah kemaluannya muntah-muntah, ia tegeletak sebelum turun dan
berpakain, lalu meninggalkannya tanpa berkata apa-pa(Kurniawan, 2015:129-130)
(34)
Ia
tidak percaya sebab inilah kali pertama is ditiduri dengan kurang ajar (Kurniawan, 2015:130)
(35)
Sakit
hatinya bertambah-tambah jika ia mengingat betapa lelaki itu menyetubuhinya
hanya dalam beberapa menit yang pendek,
seolah ia bukan perempuan yang cantik yang dikagumiseluruh kota ..dan lelaki tu
hanya menyetubuhi lubang toiet. (Kurniawan,
2015:130)
(36)
“Kau
akan cocok untuk gadis sepperti itu, “ kata kata ibunya mengibur. “Masalahnya,
dadAnya belum juga tumbuh dan bahkan bulu kemaluannya belum muncul pula.
Ia baru delapan tahun, “ Mama. (Kurniawan,
2015:165)
(37)
Dua
orang lelaki baru saja selesai menyetubuhinya,
keduanya cengengesan sambil melap kemaluannya dengan ujung kemeja.
Seorang yag lain sedang memasukkan tombaknya, keluar masuk dan tampak
ngos-ngosan, sementara gadis itu tak melawan, seorang yang lain tengah meremas-remas
kedua dadanya, sementara lelaki terakhir menunggu dengan tidak sabar sambil
menggosok kemaluannya sendiri dengan tangan(Kurniawan, 2015:177)
(38)
Salah
satu lelaki yang telah selesai menyetubuhi si gadis, tampaknya pimpinan
gerombolan gelandangan itu, berdiri menghadangnya sambil mengangkat ujung
lengan kemeja. “ Kau harus lewati dulu mayatku sebelum kau bisa ikut ngentot,
kata laki-laki menghadang (Kurniawan, 2015:179)
(39)
Lelaki
yang tengah menyetubuhi si gadis itu segera mencabut kemaluannya,
meninggalkan bunyi “splosh” yang menjijikkan, dan berlari dengan wajah sepucat
roti busuk, diikuti ketiga temannya (Kurniawan,
2015:180).
(40)
Kliwon
menggigil sejenak, dan sebelum menyadari
apaun, gadis itu telah melompat ke
arahnya membuat lelaki itu terjengkang di atas sofa dengan si gadis di atas
tubuhnya, memeluk erat serta menciumnya dalam serangan yang nyaris
ganas, semula kliwon hendak mendorongnya kuat-kuat, namun seketika ia menjadi
ragu, dan hanya terdiam dengan tangan serupa orang-orang menyerah di depan regu
tembak. Terutama ketika gadis itu memprotoli kemejanya, dan ia merasakan sentuahan ganas buah dada yang
bulat padat menyentuh di dadanya sendiri, segalanya berakhir dalam
kehangatan yang mempesona (Kurniawan, 2015:180-181)
(41)
Ia
menemukan kembali darah percintaannya, balas mendekap gadis itu, balas menciumnya
dan menanggalkan celananya (Kurniawan, 2015:
181)
(42)
Bahkan
kliwon dibuat lupa oleh kenyataan itu, mendekap erat tubuh si gadis dan
membalikkan posisi mereka, membuat Kliwon kini berada di atasnya, sama-sama telanjang
dan sama-sama birahi. (Kurniawan, 2015:
181)
(43)
Mereka
mengatasi keterbatasan ruang sofa bekas sempit, dan bercinta dengan gerakan
monoton namun penuh nafsu, meledak-ledak dan mengguncangkan, seperti perahu
yang terhempas badai (Kurniawan, 2015:181)
(44)
Kemusian
setelah percintaan itu selesai baru Kliwon segera menyadari bahwa ia tak
mengenal gadis itu sama sekali, sebagamana gadis gadis itu tak mengena dirinya.
Mereka masih terbaring berbagi tempat di atas sofa, saling mendekap
kelelahan (Kurniawan, 2015:181)
(45)
“Brengsek,
apa yang kau lakukan dengan selangkanganmu! , tanyanya demi melihat celana
dalam terbuat dari logam dengan kunci gembok yang tampaknya tidak memiliki
lubang anak kunci untuk membukanya (Kurniawan,
2015:222)
(46)
“jika
kau tak tahan untuk menumpahkan isi buah pelirmu, sebaiknya ke rumah pelacuran,
Aku tak akan marah karena itu. Dan sebaliknya aku ikut bersenamg hati untukmu (Kurniawan, 2015:222)
(47)
Pada
saat itu Alamanda tak menanggalkan celana dalam besi itu seolah-olah ia
seorang prajurit abad pertengahan yang selalu curiga musuh datang menyerang
kapan saja ... (Kurniawan, 2015:222).
(48)
Tapi
Alamanda tidak sama sekali menunjukkan tanda-tanda akan menyerah, hanya membuka celana dalam besinya sejenak
saja di dalam kamar mandi, selebihnya tetap memasang rapat-rapat dan
membersihkan vaginanya, selebihnya ia tetap memasang rapat dengan matera
rahasia (Kurniawan, 2015:222)
(49)
Alamanda
mencoba melawan, menolak tubuh suaminya dengan cara mendorongnya sekuat tenaga
teta Si Shodancho begitu erat
mendekap, menciuminya begitu liar dan meremas-remas dadanya dengan penuh
napsu (Kurniawan, 2015:225)
(50)
“Orang-orang meburu kemaluan”,katanya pada diri sendiri, dan aku
melahirkan gadis-gadis memburu kemaluan lelaki”. ( hal. 249)
(51) Hari itu Maman Gendeng menemui Dewi Ayu di rumah pelacuran
Mama Kalong. Ia datang ke kamar sebagaimana sering ia lakukan. Satu-satunya
tamu Dewi Ayu yang telah pergi. “ Kenapa kau datang kemari”, tanya Dewi Ayu,.
“aku tak bisa menahan birahiku”. “Kau punya istri”. .. “Aku ingin meniduri
mertuaku”.( Kurniawan, 2015:257)
Berdasarakan
data-data di atas, diperoleh informasi bahwa ditemukan data sebanyak 40 variasi
vulgar dalam novel Cantik Itu Luka. Keempat puluh data tersebut merupakan
variasi vulgar jenis ketiga ditandai penggunaan bagian tubuh, dan hal-hal yang
berkaitan dengan seksualitas.
Jika
dikelompokkan, terdapat variasi vulgar yang berkaitan dengan penyebutan bagian
tubuh sebanyak 15 dan aktivitas seksualitas sebanyak 25 data.
Secara
umum dalam budaya Indonesia menyebut bagian tubuh manusia yang berhubungan
dengan seksualitas adalah tabu atau dilarang. Hal ini sejalan dengan pendapat
Wijana (2011:112) bahwa contoh taboo of propriety adalah usaha
manusia mengungkapkan hal-hal yang berkaitan dengan seksualitas, bagian-bagian tubuh yang
lainnya.
Data
(10-50) dapat dianalisis menggunakan teori ketidaksantunan berbahasa Leech
(1983). Salah satu prinsip kesantunan sebagai mana disampaikan Leech ( 1983)
dalam Rahardi (2000:61) adalah maksim penghargaan. Dalam maksim penghargaan
dijelaskan bahwa orang akan dapat dianggap santun apabila dalam bertutur selalu
berusaha memberikan penghargaan kepada pihak lain. Dengan maksim ini diharapkan
agar para peserta pertuturan tidak
saling mengejek, saling mencaci, atau saling merendahkan pihak lain.
Data
(26), (29), (32), (45) dan (46) merupakan data dimana peserta tutur mengejek peserta tutur yang lain menggunakan
kontruksi yang tidak sopan. Misalnya saja data (26) merupakan upaya tokoh Dewi Ayu mengejek kepada Kaisar Jepang
dengan konstruksi “mereka semua sama mengincar selangkangan betina”.
2) Referensi Bahasa Vulgar
Berdasarkan
ada tidaknya referensi, variasi vulgar dapat digolongkan menjadi enam golongan.
Enam golongan tersebut antara lain: a) variasi vulgar berasal dari kata
keadaan, b) variasi vulgar berasal dari kata-kata binatang, c) variasi vulgar
berasal dari nama mahkluk halus, d) variasi vulgal berasal dari bagian tubuh
manusia/hewan, variasi vulgar dari nama-nama benda, dan f) variasi vulgar dari
kata-kata bermakna aktivitas.
Berdasarkan data variasi-variasi tersebut sebagai
berikut.
a) Keadaan
Kata yang menunjuk
makna keadaan yang dipakai dalam variasi vulgar dalam novel Cantik Itu Luka antara lain: buting,
dan horor.
b) Binatang
Kata yang menunjuk
nama binatang yang dipakai dalam variasi vulgar dalam novel Cantik Itu Luka
antara lain :monyet dan anjing.
c) Mahluk Halus
Kata-kata
yangmenunjuk nama makhluk halus yang dipakai dalam variasi vulgar pada novel Cantik Itu Luka
antara laian : Iblis, dan dewa cabul.
d) Bagian Tubuh
Kata yang
merupakan kata bagian tubuh manusia yang dipakai dalam variasi vulgar pada
novel Cantik Itu Luka antara lain: kemaluannya, vaginanya, pelirmu, buah
dada, kontol, bulu kemaluanmu, dan sperma.
e) Benda-Benda
Kata yang
menunjukkan makna benda yang dipakai
dalam variasi vulgar pada novel Cantik Itu Luka antara laian :Celana dalam ,
tai, dan orok
f) Aktivitas
Kata-kata
menunjukkan makna aktivitas yang dipakai dalam variasi vulgar pada novel Cantik
Itu Luka antara laian: Birahi, menciumi, pelacuran, meludahi, meniduri,
saling mendekap, mengguncang, terhempas, memeluk erat, menyetubuhi, ngentot,
menyentuh , ditiduri, muntah-muntah, telanjang, menelanjangi, mekangkang, merenggangkan,
meremas-remas, bercumbu, telanjang bulat, ngaceng, memerkosa, dan
disetubuhi.
3) Fungsi Bahasa Vulgar
Sebagaimana variasi bahasa yang lain, variasi vulgar juga memiliki fungsi. Fungsi
variasi vulgar dalam novel Cantik Itu Luka dapat dideskripsikan sebagai
berikut.
a) Sebagai makian dari tokoh cerita,
Menurut Wijana(2011:109) makian merupakan bentuk bahasa yang dipakai oleh
penutur untuk menyatakan segala bentuk ketidaksenangan, kebencin, atau
ketidakpuasannya terhadap situasi yang dihadapi.
Selanjutnya makian berfungsi selain sebagai alat mengekpresikan ketidak
senangan kebencian, atau ketidakpuasannya terhadap situasi yang dihadapi, juga
berfungsi sebagai alat mengumgkapkan pujian, keheranan dan menciptakan suasana
pembicaraan yang akrab (Periksa allan
dalam Wijana, 2011:110).
Dalam novel Cantik Itu Luka variasi vulgar berfungsi sebagai makian
terdapat pada data berikut ini.
(52)
“ Tai” , Kata Sahudi. Babi itu berubah jadi manuasia” ( Kurniawan,2015:152)
(53)
Sebelum memejamkan mata, ia berdoa, “Brengsek, kau tahu seperti inilah
memang perang”. (Kurniawan,2015:77)
(54)
“ Brengsek, apa yang kau lakukan
dengan selangkanganmu! , tanyanya demi melihat celana dalam terbuat dari logam
dengan kunci gembok yang tampaknya tidak memiliki lubang anak kunci untuk
membukanya (Kurniawan,2015:222)
b) Sebagai alat untuk mendeskripsikan setting cerita,
Cerita yang baik adalah cerita yang mampu menciptakan imajinasi membacanya.
Agar cerita mampu menciptakan imajinasi pembaca penulis perlu mendeskripsikan
suatu keadaan, sehingga pembaca seakan-akan dapat melihat, mendengar dan merasakan
sendiri keadaan itu.
Mendeskrepsikan keadaan adalah menciptakan keadaan itu sehingga keadaan itu
menjadi hidup.
Dalam upaya sebagaimana dimaksud Eka Kurniawan memandang perlu menciptakan
imajinasi pembaca menggunakan kontruksi variasi vulgar dalam beberapa adegan
seksualitas dalam novel Cantik Itu Luka.
Data berikut ini menunjukkan hal di atas.
(55)
Mereka
mengatasi keterbatasan ruang sofa bekas sempit, dan bercinta dengan gerakan
monoton namun penuh nafsu, meledak-ledak dan mengguncangkan, seperti perahu
yang terhempas badai (Kurniawan, 2015:181).
(56)
Kemudian setelah percintaan itu
selesai, baru Kliwon segera
menyadari bahwa ia tak mengenal gadis itu sama sekali, sebagamana gadis itu tak
mengena dirinya. Mereka masih terbaring berbagi tempat di atas sofa, saling
mendekap kelelahan (Kurniawan, 2015:181).
E. Simpulan
Berdasarkan
pembahasan di atas, dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut.
1) Variasi vulgar
dapat digolongkan menjadi tiga berdasarkan konsep, yaitu a) vulgar disebabkan
adanya sesuatu yang menakutkan, b) vulgar karena adanya sesuatu yang tidak
mengenakkan perasaan, c) vulgar karena adanya sesuatu yang tidak pantas/ tidak
sopan.
2) Berdasarkan ada tidaknya referensi, variasi vulgar dapat
digolongkan menjadi enam golongan. Enam golongan tersebut antara lain: a)
variasi vulgar berasal dari kata keadaan, b) variasi vulgar berasal dari
kata-kata binatang, c) variasi vulgar berasal dari nama mahkluk halus, d)
variasi vulgal berasal dari bagian tubuh manusia/hewan, e) variasi vulgar dari
nama-nama benda, dan f) variasi vulgar dari kata-kata bermakna aktivitas.
3) Fungsi variasi vulgar dalam novel Cantik Itu Luka sebagai
makian, dan alat mendeskripsikan cerita.
DAFTAR PUSTAKA
Aslinda dan Leni Syafyahya. 2010. Pengantar Sosiolinguistik.
Bandung :PT Refika Aditama
Chaer, Abdul dan Leonie Agustina. 2004. Sosiolinguistik
(Perkenalan Awal). Jakarta : Rineka
Cipta
--------------. 2010. Kesantunan
Berbahasa. Jakarta: PT. Rineka Cipta
Kamus Besar Bahasa Indonesia offline versi V.1.1
Prastika, Iwayan. 2008. “Bahasa Pijin dan Bahasa Kasar
dalam Acara TV Indonesia’. Jurnal e-Utama Jilid 1 2008.
Rahardi, Kunjana. 2000. Imperatif dalam Bahasa
Indonesia. Yogyakarta: Duta Wacana University Press,
Wijana, I Dewa Putu dan Muhammah Rahmadi. 2011. Sosiolinguistik
( Kajian Teori dan Analisis). Yogyakarta:Pustaka Pelajar.
Yule, George. 2006. Pragmatik.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Tidak ada komentar:
Posting Komentar