ASPEK MORALITAS DALAM
NOVEL SANG ALKEMIS KARYA PAULO COELHO
Rasmian, 2013
A.
Pengantar
Karya sastra ditulis
sebagi sarana menyampaikan gagasan kepada pembaca. Hal tersebut disebabkan
karya sastra mengandung nilai makna. Selain itu, sastra selalu menggunakan
media bahasa sebagai alat penyampai pesan. Sastra sebagai sasrana komunikasi
berarti sastra merupakan media berkumunikasi antara penulis dengan penikmatnya.
Apa yang ditulis sastrawan di dalam karya sastranya adalah apa yang ingin
diungkapkan sastrawan kepada pembacanya. Selanjutnya, sastrawan dalam
menyampaikan idenya tidak bisa dipisahkan dari latar belakang kehidupan dan
lingkungannya
Gagasan dalam
sastra terutama sastra berbentuk cerita disampaikan melalui tokoh cerita. Tokoh
cerita, menurut Abrams (1981) dalam Nurgiyantoro (2005:165) adalah orang yang
ditampilkan dalam suatu karya naratif atau drama yang oleh pembaca ditafsirkamn
memiliki kualitas moral.
Tokoh dalam
cerita mengandung unsur nilai tertentu. Tokoh-tokoh cerita ditampilakan dengan
jalan diberi watak tertentu yang mencerminkan sikap pengarang dalam kehidupan
sehari hari. Dengan demikian tokoh ditampilakan untuk menyampaikan nilai-nilai
tertentu dalam masyarakat secara imajinatif.
Nilai moral merupakan
nilai dalam kehidupan manusia yang memiliki kedudukan penting dalam kehidupan.
Nilai moral dapat menetukan seseorang dikatakan baik atau buruk. Nilai moral
akan dapat
menuntun manusia hidup di jalan yang benar.
menuntun manusia hidup di jalan yang benar.
Novel Sang
Alkemis merupakan salah satu novel terjemahan yang mengandung nilai moral
tinggi. Oleh karena itu penulis tertarik untuk mengaji novel tersebut.
Berdasarkan hal
tesebut penulis akan menganalisis novel tersebut dari aspek moralitas.
B.
Aspek
Moralitas
Secara
etimologis, kata moral berasal
dari kata mos dalam bahasa Latin, bentuk jamaknya
mores, yang artinya
adalah tata-cara atau
adat-istiadat. Dalam Kamus Besar
Bahasa Indonesia (2008: 592), moral
diartikan sebagai akhlak, budi pekerti, atau susila. Secara terminologis,
terdapat berbagai rumusan pengertian moral, yang dari
segi substantif materiilnya
tidak ada perbedaan,
akan tetapi bentuk formalnya berbeda.
Bertens
(2005:143-147) mengemukakan bahwa moral berkaitan dengan pribadi manusia yang
bertanggung jawab. Artinya ia bisa mengatakan salah atau tidak bersalah karena
ia merasa bertanggung jawab. Nilai moral terkandung unsur imperative atau
memerintah. Artinya jika kita memiliki keinginan menolong orang berarti kita
telah diperintah moral menolong dalam diri kita. Dengan demikian nilai moral
mengikutkan nilai-nilai lain dalam tingkah laku.
Sebagaimana
dikenal dalam kajian tentang macam-macam
norma, dikenal adanya empat
macam norma, yaitu
norma keagamaan, norma
kesusilaan, norma kesopanan, dan
norma hukum. Norma kesusilaan itu lebih
bersumber pada prinsip- prinsip
etis dan moral
yang bersifat Objektivistik-universal. Sedangkan
norma kesopanan itu
bersumber pada prinsip-prinsip etis
dan moral yang
bersifat relativistik-kontekstual.
Sejalan dengan hal ini, Widjaja (1985: 154) mengemukakan bahwa persoalan
moral dihubungkan dengan etik membicarakan tentang tata susila dan tata
sopan santun. Tata
susila mendorong untuk
berbuat baik, karena
hati kecilnya mengatakan baik,
yang dalam hal ini bersumber dari hati nuraninya, lepas dari hubungan dan
pengaruh orang lain. Tata sopan santun mendorong untuk berbuat baik, terutama
bersifat lahiriah, tidak
bersumber dari hati nurani,
untuk sekedar menghargai orang
lain dalam pergaulan. Dengan demikian
tata sopan santun lebih terkait dengan konteks lingkungan sosial, budaya, adat
istiadat dan sebagainya.
Moral dalam karya
sastra merupakan sesuatu yang igin
disampaikan pengarang kepada pembaca, merupakan makna yang terkandung dalam
karya sastra, makna yang disaratkan lewat cerita. Moral dapat dipandang sebagai
tema dalam bentuk yang sederhana, tetapi tidak semua tema merupaka moral Kenny
dalam Nurgiyantoro (2005: 320). Moral merupakan pandangan pengarang tentang
nilai-nilai kebenaran dan pandangan itu yang ingin disampaikan kepada pembaca.
Hasbullah (2005: 194) menyatakan bahwa, moral merupakan kemampuan seseorang
membedakan antara yang baik dan yang buruk.
Nilai moral yang terkandung dalam karya sastra bertujuan
untuk mendidik manusia agar mengenal nilai-nilai etika merupakan nilai baik
buruk suatu perbuatan, apa yang harus dihindari, dan apa yang harus dikerjakan,
sehingga tercipta suatu tatanan hubungan manusia dalam masyarakat yang dianggap
baik, serasi, dan bermanfaat bagi orang itu, masyarakat, lingkungan, dan alam
sekitar.
Uzey (2009:2) berpendapat bahwa nilai moral adalah suatu
bagian dari nilai, yaitu nilai yang menangani kelakuan baik atau buruk dari
manusia. Moral selalu berhubungan dengan nilai, tetapi tidak semua nilai adalah
nilai moral. Moral berhubungan dengan kelakuan atau tindakan manusia. Nilai
moral inilah yang lebih terkait dengan tingkah laku kehidupan kita sehari-hari.
Senada dengan hal di atas Nurgiayantoro (2010:321)
mengemukakan bahwa karya fiksi senantiasa menawarkan pesan moral yang berhubungan dengan sifat-siafat luhur
kemanusian, memperjuangkan hak dan martabat manusia.
C.
Aspek
Moralitas Novel Sang Alkemis
Pembicaraan
mengenai moralitas dalam novel San Alkemis ini akan hanya dibatasi pada tokoh
Santiago saja. Hal tersebut dengan pertimbangan bahawa Santiago merupakan tokoh
utama dalam novel ini.
Dalam Sang
Alkemis, Santiago digambarkan sebagai sosok anak gembala yang memiliki mimpi. Mimpi yang di maksud di sini adalah
cita-cita. Untuk mencapai cita-citanya ia berani mengambil resiko, konsisten, dan
ulet.
Gambaran tentang
cita-cita Santiago terdapat dalam kisah Santiago ingin menjadi penggembala
seperti kisah dalam buku yang pernah dibacanya, dan keinginan Santiago mengejar
harta karun di Piramida setelah ia bermimpi mendapat harta karun dalam
perjalanan penggembalaan.
Penggalan
berikut ini menunjukkan hal tersebut.
Ia adalah seorang anak yang berkeinginan mengetahui
dunia dan menganggap
bahwa seminari tidak
akan membantunya dalam mempelajari Tuhan beserta dosa-dosa manusia,
sebagaimana kutipan berikut
“Dia pernah belajar bahasa Latin, Spanyol dan
teologi. Akan tapi sejak kanak-kanak,
dia sudah ingin
tahu tentang dunia,
dan ini jauh
lebih penting baginya
daripada mengetahui Tuhan
dan mempelajari dosa-dosa
manusia. Suatu siang, saat mengunjungi keluarganya, dia
memberanikan diri mengatakan
kepada ayahnya bahwa dia tidak ingin jadi pastur. Bahwa dia ingin
berkelana”(Coelho,
2011:14).
Kutipan di atas
menunjukkan keingin Santiago yang sangat kuat, yang dalam bahasa lain dapat
dikatakan sebagai ulet. Keinginan Santiago
inilah yang menyebabkan
ia menjadi seorang
gembala. Walaupun sejak kecil
ia didik agar dapat menjadi
seorang pendeta dan mengangkat derajat keluarganya, lebih
memilih menjadi pengembara dengan cara menggembalakan domba, dengan harapan ia dapat
mengetahui dunia seperti yang ia inginkan sejak kecil. Suatu ketika ayahnya
menjelaskan padanya bahwa dimana pun
dan apapun di
dunia ini sebenarnya
sama saja. Namun
bagi Santiago, keinginannya untuk
melihat dunia di luar tanah kelahirannya, adalah lebih penting dari apapun,
dan hal tersebut
adalah yang terbaik
baginya untuk menjalani kehidupannya. Adu
argumen yang terjadi
antara Santiago dan
ayahnya menurut penulis merupakan
cara Santiago agar keinginannya dapat terpenuhi. Dan ia berhasil.
Data
lain yang menunjukkan keingin yang sangat kuat dalam diri Santiago digambarkan
pada kisah ketika Santiago ingin bermimpi mencapai Piramida di Mesir. Untuk
sampai ke sana Santiago harus menjual domba-dombanya, sebagaimana kutipan ini
’’Domba-dombaku yang lain langsung dibeli oleh temanku”( Coelho, 2011:38-39).
Di perjalanan ia
harus kehilangan uangnya karena di rampok. Namun demikian ia tidak patah
semangat. Ia kemudian bertemu dengan penjual Kristal dan bekerja di toko
Kristal selama hampir satu tahun. Ia harus menjalankan misinya untuk sampai di
Mesir. Kali ini ia berhadapan dengan padang pasir yang laus dan budaya yang
berbeda dengan budaya negerinya. Toh akhirnya ia dapat melaluinya.
Bahwa tokoh
Santiago dalam mengejar cita-citanya, ia melakukannya dengan cara berani
mengambil resiko. Hal tersebut
digambarkan oleh pengarang melalui kisah Santiago menjadi pegawai di toko
Kristal. Resiko yang dihadapi Santiago telah dijelaskan di muka bahwa di
perjalanan menuju piramida ia harus menempuh perjalan yang cukup jauh. Di
perjalan ia kehilangan uang, ia harus bekerja selama satu tahun di toko
Kristal, ia harus melintasi padang pasir yang cukup luas, di padang pasir ia
harus menerima anacaman kematian dari ketua suku.
Bahwa dalam mengejar
cita-citanya Santiago menghadapinya dengan penuh kesabaran, sebagaimana petikan
berikut “anak itu sudah hampir sebulan
bekerja padasi pedagang Kristal, dia menyadari ini tidak cocok untuknya dan
tidak bakal membutnya bahagia… tapi anak itu bertahan bekerja di sana”
(Coelho, 2011:67)..
Anak dalam kutipan
di atas adalah Santiago. Ia sebenarnya tidak betah tinggal di toko Kristal itu. Hal tersebut
ditunjukan oleh kata pekerjaan itu tidak cocok. Tapi dia tetap bertahan di
sana. Pernyataan tersebut membuktikan dia sabar.
Kesabaran
Santiago dalam menjalankan impiannya juga ditunjukkan pada peristiwa ia harus
menyerahkan seluruh hasil kerjanya selama satu tahun kepada ketua suku di
Padang pasir. Perhatikan petikan berikut ini, “kemudian sang alkemis mengambil kantong anak itu dan memberikan keping-keping
mata uang emas di dalamnya kepada pimpinan
pasukan”( Coelho, 2011:179).. Santiago
diam dan terus mengikuti perintah alkemis.
Tindakan diam yang dilakukan Santiago dalam kutipan tersebut menunjukkan
bahwa dia adalah oaring yang sabar.
Apa pesan moral
yang dapat diperoleh dari keingin Santiago tersebut? Nurgiyantoro (2005:322)
mengungkapkan bahwa pesan moral
merupakan hikmah yang diperoleh oleh pembaca lewat sastra. Hikmah tersebut
merupakan penafsiran pembaca. Setiap pembaca akan menafsirkan satu peristiwa
sesuai dengan cara pandangnya.
Moralitas tidak
hanya diartikan sebagai bagai norma baik dan buruk dalam arti yang sempit.
Arinya jika seseorang mencuri berari tidak bermoral. Sebaliknya jika seseorang
berbuat jujur berati ia bermoral. Moralitas juda dapat dipandang sebagi bentuk
perilaku yang menunjukkan eksistensi diri seeorang. Eksistensi itu misalnya
seseorang berbuat kebaikan kepada dirinya sendiri. Misalnya saja ia dapat mengatur
irama hidupnya sehingga ia dapat menempatkan dirinya pada tataran kehidupan
yang libih baik.
Dalam konteks
tokoh Santiago, hal tersebut terlihat dari cita-cita Santiago menuju harta karun
di piramida di Negara Mesir. Dengan penuh kegigihan ia ingin mencapai hal itu. Cita-tita
Santiago tersebut merupan upaya
menempatkan dirinya untuk mencapai kehidupanya yang dianggapnya lebih baik.
Dalam kisah di
atas menurut hemat penulis, pesan moral yang disampaikan pengarang kepada
pembaca adalah dalam kehidupan kita harus memiliki cita-cita atau impian.
Dengan impian atau cita-cita maka kita akan hidup yang sebenarnya. Sebab dengan
cita-cita kita akan bergerak untuk mencapainya. Hidup adalah aktivitas dan
aktivitas dapat berjalan jika kita punya keinginan untuk mencapai aktivitas tersebut.
D.
Simpulan
Berdasarkan
paparan di bagian sebelumnya dapat disimpulkan bahwa dalam novel Sang Alkemis
pegarang mengungkapkan pesan moral. Pesan moral tersebut adalah dalam kehidupan
kita harus memiliki cita-cita atau impian. Dengan impian atau cita-cita maka
kita akan hidup yang sebenarnya. Sebab dengan cita-cita kita akan bergerak
untuk mencapainya. Hidup adalah aktivitas dan aktivitas dapat berjalan jika
kita punya keinginan untuk mencapai aktivitas tersebut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar