Foto Kegiatan

Jumat, 10 Mei 2013

MENGENAL UNSUR PEMBANGUN NOVEL


UNSUR PEMBANGUN NOVEL

 

A. Pengertian Novel
   Di Indonesia, istilah novel dikenal sejak zaman kemerdekaan, karena para sastrawan dan intelektual berorientasi ke Inggris dan Amerika. Inggris dan Amerika mengenal istilah novel sebagai karya fiksi. Sebelum zaman kemerdekaan bangsa Indonesia memakai istilah roman. Sedangkan dalam kesustraan Melayu klasik lebih dikenal dengan istilah hikayat.
Istilah roman digunakan pada waktu itu karena sastrawan Indonesia pada umumnya berorientasi ke negeri Belanda, yang lazim menamakan bentuk novel dengan sebutan roman. Istilah ini dipakai juga di Perancis dan Rusia serta sebagian di negara Eropa (Semi,1988:32).
Dalam sastra Indonesia, istilah roman atau novel seperti terdapat dalam sastra Inggris dan Amerika sudah digunakan secara berangsur-angsur. Dan yang umum digunakan sampai sekarang ini adalah roman. Dalam tulisan ini kedua istilah itu dipergunakan dalam pengertian yang sama.
   Istilah novel berasal dari bahasa Latin,  novella yang berarti sebuah karangan baru yang kecil ( Nurgiyantoro, 2010:9). Sementara itu menurut istilah novel didefinisikan sebagai sebuah karangan prosa fiksi yang panjangnya cukup, tidak terlalu panjang, tidak terlalu pendek ( Nurgiyantoro, 2010:10). Tim penyusun Kamus Besar Bahasa Indonesia mendefinisikan novel dengan istilah roman. Sedangkan Roman didefinisikan sebagai karangan prosa yang melukiskan perbuatan-perbuatan pelakunya menurut watak isi jiwa masing-masing ( Tim, 2008:1314).
Dengan demikian kesimpulannya adalah istilah roman dan novel digunakan dalam pengertian yang sama, yaitu karangan prosa panjang yang mengandung rangkaian cerita kehidupan seseorang dengan orang disekitarnya, yang melukiskan perbuatan-perbuatan pelakunya menurut watak isi jiwa masing-masing.
Stanton (1965)  sebagaimana dikutip Nurgiantoro (2010: 25) novel  novel   dibangun dengan tiga unsure yaitu fakta, tema, sarana pengucapan (sastra). Fakta dalam sebuah cerita meliputi karakter (tokoh cerita), plot, dan setting.                        Dengan demikian kesimpulannya adalah istilah roman dan novel digunakan dalam pengertian yang sama, yaitu karangan prosa panjang yang mengandung rangkaian cerita kehidupan seseorang dengan orang di sekitarnya, dengan menonjolkan karakter dan perilaku setiap tokoh.

B.  Unsur Pembangun Novel
   Novel adalah bagian dari karya sastra. Karya satra erat hubungannya dengan psikologi. Sastra pada dasarnya mengungkapkan kejadian. Namun kejadian tersebut bukanlah “fakta sesungguhnya“, melainkan sebuah fakta mental pengarang. Karya sastra merupakan bagian dari suatu kebudayaan. Bila kita melukiskan kebudayaan, kita tidak dapat melihatnya sebagi suatu yang statis (tidak bertahan), tetapi merupakan sesuatu yang dinamis (selalu berubah-ubah).
   Kesustraan sebagai ekspresi menyatakan tiga unsur, yaitu (1) Kesustraan mencerminkan sistem keberatan, sistem sosial, sistem pendidikan dan kepercayaan yang terdapat dalam masyarakat yang bersangkutan, (2) Kesustraan mencerminkan sisten ide dan sistem nilai, bahkan karya sastra itu sendiri mejadi objek penelitian yang dilakukan oleh anggota masyarakat, (3) Mutu peralatan kebudayaan yang ada dalam masyarakat tercermin pula pada bentuk peralatan tulis-menulis yang digunakan dalam mengembangkan sastra (Semi, 1989:55). Sastra adalah suatu karya individual yamg didasarkan pada kebebasan mencipta dan dikembangkan lewat imajinasi. Dikatakan pula sastra adalah kegiatan kreatif sebuah karya seni.
   Sebagai salah satu karya sastra, fiksi mengandung unsur-unsur meliputi: (1) pengarang dan narator, (2) isi penciptaan, (3) media pencapai isi berupa bahasa, (4) elemen-elemen fiksional atau unsur-unsur intrinsik yang membangun karya fiksi itu sendiri sehingga menjadi suatu wacana (Aminudin, 2010:66). Adapun unsur-unsur yang membangun karya fiksi secara garis besar dibagi menjadi dua bagian, yaitu (1) struktur luar (ekstrinsik) dan (2) struktur dalam (intrinsik).
   Struktur luar (ekstrinsik) adalah segala macam unsur yang berada diluar suatu karya sastra yang ikut mempengaruhi kehadiran karya satra tersebut, misalnya faktor sosial, faktor ekonomi, faktor kebudayaan, faktor sosial politik, faktor keagamaan dan tata nilai yang dianut masyarakat. Struktur dalam (intrinsik) adalah unsur-unsur yang membentuk karya sastra tersebut seperti penokohan (perwatakan), tema, alur (plot), pusat pengisahan, latar dan gaya bahasa (Semi, 1988:35).            
   Sesuai dengan tujuan penelitian yakni analisis tentang alur dan penokohan, maka setidaknya dalam sub bab ini akan diuraikan mengenai unsur-unsur pembangun cerita tersebut. Menurut Sayuti (1988:33) disebutkan bahwa elemem pembangun fiksi meliputi fakta cerita, sarana cerita, dan tema. Fakta cerita meliputi: plot, tokoh, dan latar. Sarana cerita terdiri dari judul, sudut pandang, gaya, dan nada.

.1 Perilaku Tokoh dan Penokohan
    a) Perilaku Tokoh
   Psikologi merupakan ilmu tentang perilaku atau aktivitas-aktivitas individu. Karya sastra masih ada hubungannya dengan psikologi. Woodworth dan Marquis (Walgito, 2003: 15) memberikan gambaran bahwa psikologi itu mempelajari aktivitas-aktivitas individu atau perilaku individu. Perilaku atau aktivitas-aktivitas tersebut dalam pengertian yang luas, yaitu perilaku yang menampak (overt behaviour) dan atau perilaku yang tidak menempak (inert behaviour), demikian pula aktivitas-aktivitas tersebut di samping aktivitas motorik juga termasuk aktivitas emosional dan kognitif.
   Menurut Tim (2005:858) di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, “perilaku” bermakna “tanggapan atau reaksi individu terhadap rangsangan atau lingkungan”. Ini menunjukkan bahwa perilaku yang ada pada individu tidak timbul dengan sendirinya, tetapi sebagai akibat dari stimulus yang diterima oleh individu yang bersangkutan baik stimulus eksternal maupun stimulus internal. Namun demikian, sebagian tersebar dari perilaku individu itu sebagai respon terhadap stimulus eksternal.
   Kaum behaviouris memandang bahwa perilaku sebagai respon terhadap stimulus, akan sangat ditentukan oleh keadaan stimulusnya dan individu atau organisme seakan-akan tidak mempunyai kemampuan untuk menentukan perilakunya. Hubungan stimulus dan respon seakan-akan bersifat mekanistis.
   Aliran Kognitif memandang perilaku individu merupakan respon dari stimulus, namun dalam diri individu ada kemampuan untuk menentukan perilaku yang diambilnya. Ini berarti individu dalam keadaan aktif. Hubungan stimulus dan respon tidak secara otomatis, tetapi individu mengambil peranan dalam menentukan perilakunya. Woodworth dan Schosberg membuat kaitan antara stimulus, organisme, dan perilaku sebagai respon.
   Peristiwa dalam karya fiksi seperti halnya dalam kehidupan sehari-hari, yang tampak atau kelihatan pada pelaku-pelaku tertentu, pelaku yang memerankan peristiwa dalam cerita fiksi sehingga peristiwa itu mampu menjalin suatu cerita tersebut dengan penokohan (Aminuddin, 2010:79).
   Tokoh merupakan hasil imajinasi penulis dalam membentuk suatu personalitas tertentu dalam cerita. Berhasilnya suatu penokohan akan dapat menimbulkan kepercayaan terhadap cerita terhadap pembaca. Sebuah penokohan atau perwatakan harus menampilkan tokoh atau karakter yang berkelakuaan seperti dalam kehidupan yang sebenernya (Sukada:63).
   Orang dapat mengamati tingkah laku tokoh-tokoh dalam sebuah roman atau novel dengan memanfaatkan pertolongan pengetahuan psikologi. Andai kata ternyata tingkah laku tokoh-tokoh tersebut sesuai dengan apa yang diketahuinya tentang jiwa manusia, maka dia telah berhasil menggunakan teori-teori psikologi modern untuk menjelaskan dan menafsirkan karya sastra.
   Tokoh adalah individu atau seseorang yang menjadi pelaku cerita. Pelaku cerita atau pemain novel disebut aktor (pria) dan aktris (wanita). Tokoh dalam cerita fiksi berkaitan dengan nama, usia, jenis kelamin, tipe fisik, jabatan, dan keadaan kejiwaan.
Tokoh-tokoh dalam fiksi diklasifikasi sebagai berikut.
a.    Berdasarkan sifatnya,
1)        Tokoh protagonis yaitu tokoh utama yang mendukung cerita. Biasanya ada satu atau dua tokoh protagonis.
2)        Tokoh antagonis yaitu tokoh penentang cerita. Biasanya ada seorang tokoh utama yang menentang cerita.
3)        Tokoh tritagonis yaiutu tokoh pembantu, baik untuk tokoh protagonis maupun untuk tokoh antagonis.
b.    Berdasarkan peranannya, tokoh diklasifikasi menjadi tiga.
1)      Tokoh sentral yaitu tokoh-tokoh yang paling menentukan dalam novel. Tokoh sentral merupakan penyebab terjadinya konfik. Tokoh sentral meliputi tokoh protagonis dan tokoh antagonis.
2)      Tokoh utama yaitu tokoh pendukung penentang tokoh sentral. Dapat juga sebagai perantara tokoh sentral. Dalam hal ini adalah tokoh tritagonis.
3)      Tokoh pembantu yaitu tokoh-tokoh yang memegang peran pelengkap atau tambahan dalam mata rangkaian cerita. Kehadiran tokoh pembantu ini menurut kebutuhan cerita saja. Tidak semua novel menampilkan kehadiran tokoh pembantu.
2  Penokohan
   Perwatakan disebut juga penokohan. Perwatakan/penokohan adalah penggambaran sifat batin seseorang tokoh yang disajikam dalam cerita. Perwatakan tokoh-tokoh dalam novel digambarkan melalui dialog, ekskpresi, atau tingkah laku sang tokoh. Penggambaran watak tokoh dalam naskah novel erat kaitannya dalam pemilihan setting atau tempat terjadinya peristiwa. Watak para tokoh digambarkan dalam tiga dimensi (watak demensiona). Penggambaran itu berdasarkan keadaan fisik, psikis, dan sosial (fisiologis, psikologis, dan sosiologis). Keadaan fisik biasanya dilukiskan paling awal, baru kemudian sosialnya. Pelukisan watak tokoh bisa langsung pada dialog yang mewujudkan watak dan perkembangan lakon, tetapi dapat juga dijumpai pada catatan samping (catatan teknis dalam teks).
a. Keadaan Fisik
   Kadaan fisik tokoh dapat digunakan untuk menyatakan watak tokoh. Kedaan fisik tokoh seperti umur, jenis kelamin, ciri-ciri tubuh, cacat jasmani, ciri khas yang menonjol, suku, bangsa, raut muka, kesukan, tinggi/pendek, kurus/gemuk, atau suka senyum/cemberut.
b. Keadaan Psikis
   Keadaan psikis tokoh meliputi : watak, kegemaran, mental, standar moral, temperamen, ambisi, psikologis yang dialami, dan keadaan emosi.

c. Keadaan Sosialogis
   Keadaan sosiologis tokoh meliputi: jabatan, pekerjaan, kelas sosial, ras, agama, dan idiologi.
   Penokohan atau perwatakan ialah pelukisan mengenai tokokh cerita baik keadaan lahir maupun batin yang berupa pandangan hidupnya, sikapnya, keyakinnya, adat istiadatnya, dan sebagainya (Suhariyanto,1982:31). Sayuti (1988:38) mengatakan bahwa tokoh utama suatu fiksi ditentukan paling tidak dengan tiga cara, yakni; (1) Tokoh itu paling banyak terlibat dengan makna atau tema, (2) Tokoh itu paling banyak berhubungan dengan tokoh lain, dan (3) Tokoh itu paling banyak memerlukan waktu pencarian.
   Hubungan yang logis antara satu tindakan dengan yang lain dalam suatu karya fiksi lahir sebagai hukum sebab akibat. Suatu perbuatan akan menimbulkan perbuatan lain, sehingga membentuk suatu kesatuan rangkaian adegan-adegan dan dapat dilihat sebagai suatu kesatuan yang terkait oleh waktu.

3 Karakter Tokoh
   Karakter ialah pelukisan mengenai tokoh cerita baik keadaan lahir maupun batin yang berupa pandangan hidupnya, sikapnya, dan keyakinannya.
   Pelukisan tokoh menurut Lubis (1981:18) adalah (1) melukiskan bentuk lahir tokoh, (2) melukiskan jalan pikiran tokoh, (3) melukiskan reaksi tokoh terhadap kejadian, (4) pengarang langsung menganalisis watak tokoh, (5) melukiskan keadaan tokoh, (6) melukiskan pandangan tokoh lain dalam satu cerita terhadap tokoh utama, (7) melukiskan perbincangan tokoh-tokoh lain tentang tokoh utama.
   Erat kaitannya dengan tokoh adalah karakter. Sebagaimana dikemukakan di atas karakter merupakan teknik penampilan tokoh oleh pengarang. Jadi, karakter berkaitan dengan teknik penulisannya. Teknik penokohan menurut Lubis (1981:18) terdiri dari beberapa cara, yaitu:
1)        Physical description (melukiskan bentuk lahir dari pelakon);
2)        Portrayal of thought strearri of concious thoght (melukiskan jalan pikiran pelakon atau apa yang melintas dalam pikiarnya);
3)        Reaction of event (bagaimana reaksi pelakon itu terhadap kejadian);
4)        Direct author analysis (pengarang dengan langsung menganalisis watak pelakon);
5)        Discution of enviroment (melukiskan keadaan sekitar pelakon);
6)        Reaction of other to character (bagaimana pandangan pelakon lain dalam suatu cerita terhadap pelaku utama);
7)        Conversation of other character (pelakon-pelakon lainnya dalam suatu cerita memperbincangkan keadaan pelakon utama).
Untuk menentukan tokoh dalam suatu cerita memerlukan langkah-langkah yang harus ditempuh agar tidak menimbulkan keraguan, yaitu dengan jalan (1) dilihat permasalahannya tokoh mana yang paling banyak berhubungan dengan masalah itu, (2) tokoh mana yang paling banyak berhubungan dengan tokoh-tokoh lainnya, dan (3) tokoh mana yang paling banyak memerlukan waktu penceritaan.
   Tokoh dalam suatu cerita terdiri dari berbagai jenis. Berdasarkan cara penampilannya dikenal tokoh datar dan tokoh bulat, juga dikenal tokoh tipologi dan tokoh psikologis. Sementara dengan kualitas permasalahan yang dihadapi tokoh, dikenal adanya simple karakter dan komplek karakter. Sedangkan berdasarkan fungsinya, dikenal tokoh sentral dan tokoh bawahan. Ditinjau dari sikap, watak ,dan cara berpikir tokoh dalam cerita dapat kita bedakan menjadi tiga, yaitu (1) tokoh protagonis, yaitu tokoh yang memilki watak dan sikap hidup baik sehingga disenangi pembaca, (2) tokoh antagonis, yaitu tokoh yang memilki watak yang tidak sesuai dengan pembaca. (3) tokoh tritagonis, yaitu tokoh yang selalu bertindak sebagai pihak ketiga yang berusaha menjadi juru penengah dalam konflik yang terjadi antara tokoh protagonis dan antagonis.

3.Latar
   Latar adalah tempat terjadinya cerita (Sumarjo, 1984:60). Latar memiliki empat unsur pokok, yakni latar tempat, latar waktu, latar alat dan latar sosial. Latar tempat berkaitan dengan lokasi geografis, dalam ruang bahkan di alam bebas. Sedang latar waktu berkaitan dengan waktu terjadinya peristiwa yang dapat ditinjau dari jam, hari, tanggal, bulan tahun, malam, siang, musim dan zaman tertentu. Latar sosial menggamarkan status sosial  tokoh tertentu, misalnya pekerjaan, agama, dan lain sebagainya. Latar  alat  mengacu pada alat atau barag yang digunakan tokoh dalam menjalankan cerita.
Fungsi latar menurut Sayuti (1988:75-82) adalah sebagai metafora yang digunakan untuk mengungkapkan suasana hati tokoh yang berkaitan dengan ungkapan-ungkapan yang bersifat metaforik. Selain itu fungsi latar sebagai atmosfir karena berkaitan dengan suasana atau cahaya emosional yang disarankan terutama oleh latar. Fungsi yang lain adalah sebagai penonjolan elemen latar yakni penonjolan waktu dan tempat.

Nilai dalam Karya Sastra Novel
Bertens   (2007:   140)   menjelaskan pengertian   nilai   melalui   cara memperbandingkannya   dengan   fakta.   Fakta menurutnya adalah sesuatu yang ada atau berlangsung begitu saja. Sementara nilai adalah sesuatu yang berlaku, sesuatu yang memikat atau menghimbau kita. Fakta dapat ditemui dalam konteks deskripsi semua unsurnya dapat dilukiskan satu demi satu  dan  uraian  itu  pada  prinsipnya  dapat  diterima  oleh  semua  orang.  Nilai berperanan  dalam  suasana  apresiasi  atau  penilaian dan  akibatnya  sering  akan dinilai secara berbeda oleh orang banyak. Nilai selalu berkaitan dengan penilaian seseorang,   sementara  fakta  menyangkut  ciri-ciri  obyektif  saja. 
Tim Penyusun Kamus (2008: 690) menjelaskan pengertian nilai sebagai sifat-sifat atau hal-hal yang penting atau berguna bagi masyarakat.
Mencari nilai luhur dari karya sastra adalah menentukan kreativitas terhadap hubungan kehidupannya. Dalam karya sastra akan tersimpan nilai atau pesan yang berisi amanat atau nasihat. Melalui karyanya, pencipta karya sastra berusaha untuk mempengaruhi pola pikir pembaca dan ikut mengkaji tentang baik dan buruk, benar mengambil pelajaran, teladan yang patut ditiru sebaliknya, untuk dicela bagi yang tidak baik. Karya sastra diciptakan bukan sekedar untuk dinikmati, akan tetapi untuk dipahami dan diambil manfaatnya. Karya sastra tidak sekedar benda mati yang tidak berarti, tetapi didalamnya termuat suatu ajaran berupa nilai-nilai hidup dan pesan-pesan luhur yang mampu menambah wawasan manusia dalam memahami kehidupan.
Dalam karya sastra, berbagai nilai hidup dihadirkan karena hal ini merupakan hal positif yang mampu mendidik manusia, sehingga manusia mencapai hidup yang lebih baik sebagai makhluk yang dikaruniai oleh akal, pikiran dan perasaan.
Novel merupakan salah satu bentuk karya sastra yang banyak memberikan penjelasan secara jelas tentang sistem nilai. Nilai itu mengungkapkan perbuatan apa yang dipuji dan dicela, pandangan hidup mana yang dianut dan dijauhi, dan hal apa saja yang dijunjung tinggi. Adapun nilai-nilai pendidikan dalam novel sebagai berikut.

a. Nilai Religius
Religi merupakan suatu kesadaran yang menggejala secara mendalam dalam lubuk hati manusia sebagai human nature. Religi tidak hanya menyangkut segi kehidupan secara lahiriah melainkan juga menyangkut keseluruhan diri pribadi manusia secara total dalam integrasinya hubungan ke dalam keesaan Tuhan (Rosyadi, 1995: 90). Nilai-nilai religious bertujuan untuk mendidik agar manusia lebih baik menurut tuntunan agama dan selalu ingat kepada Tuhan. Nilai-nilai religius yang terkandung dalam karya sastra dimaksudkan agar penikmat karya tersebut mendapatkan renungan-renungan batin dalam kehidupan yang bersumber pada nilai-nilai agama. Nilai-nilai religius dalam sastra bersifat individual dan personal.
Kehadiran unsur religi dalam sastra adalah sebuah keberadaan sastra itu sendiri (Nurgiyantoro, 2005: 326). Semi (1993: 21) menyatakan, agama merupakan kunci sejarah, kita batu memahami jiwa suatu masyarakat bila kita memahami agamanya. Semi (1993: 21) juga menambahkan, kita tidak mengerti hasil-hasil kebudayaanya, kecuali bila kita paham akan kepercayaan atau agama yang mengilhaminya. Religi lebih pada hati, nurani, dan pribadi manusia itu sendiri. Dari beberapa pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa nilai religius yang merupakan nilai kerohanian tertinggi dan mutlak serta bersumber pada kepercayaan atau keyakinan manusia.
b. Nilai  Moral
Moral merupakan sesuatu yang igin disampaikan pengarang kepada pembaca, merupakan makna yang terkandung dalam karya sastra, makna yang disaratkan lewat cerita. Moral dapat dipandang sebagai tema dalam bentuk yang sederhana, tetapi tidak semua tema merupaka moral (Kenny dalam Nurgiyantoro, 2005: 320). Moral merupakan pandangan pengarang tentang nilai-nilai kebenaran dan pandangan itu yang ingin disampaikan kepada pembaca. Hasbullah (2005: 194) menyatakan bahwa, moral merupakan kemampuan seseorang membedakan antara yang baik dan yang buruk.
Nilai moral yang terkandung dalam karya sastra bertujuan untuk mendidik manusia agar mengenal nilai-nilai etika merupakan nilai baik buruk suatu perbuatan, apa yang harus dihindari, dan apa yang harus dikerjakan, sehingga tercipta suatu tatanan hubungan manusia dalam masyarakat yang dianggap baik, serasi, dan bermanfaat bagi orang itu, masyarakat, lingkungan, dan alam sekitar. Uzey (2009:2) berpendapat bahwa nilai moral adalah suatu bagian dari nilai, yaitu nilai yang menangani kelakuan baik atau buruk dari manusia moral selalu berhubungan dengan nilai, tetapi tidak semua nilai adalah nilai moral. Moral berhubungan dengan kelakuan atau tindakan manusia. Nilai moral inilah yang lebih terkait dengan tingkah laku kehidupan kita sehari-hari.
Dapat disimpulkan bahwa nilai pendidikan moral menunjukkan peraturan-peraturan tingkah laku dan adat istiadat dari seorang individu dari suatu kelompok yang meliputi perilaku. Untuk karya menjunjung tinggi budi pekerti dan nilai susila.
c. Nilai  Sosial
Kata “sosial” berarti hal-hal yang berkenaan dengan masyarakat/ kepentingan umum. Nilai sosial merupakan hikmah yang dapat diambil dari perilaku sosial dan tata cara hidup sosial. Perilaku sosial brupa sikap seseorang terhadap peristiwa yang terjadi di sekitarnya yang ada hubungannya dengan orang lain, cara berpikir, dan hubungan sosial bermasyarakat antar individu. Nilai sosial yang ada dalam karya sastra dapat dilihat dari cerminan kehidupan masyarakat yang diinterpretasikan (Rosyadi, 1995: 80). Nilai pendidikan sosial akan menjadikan manusia sadar akan pentingnya kehidupan berkelompok dalam ikatan kekeluargaan antara satu individu dengan individu lainnya.
Nilai sosial mengacu pada hubungan individu dengan individu yang lain dalam sebuah masyarakat. Bagaimana seseorang harus bersikap, bagaimana cara mereka menyelesaikan masalah, dan menghadapi situasi tertentu juga termasuk dalam nilai sosial. Dalam masyarakat Indonesia yang sangat beraneka ragam coraknya, pengendalian diri adalah sesuatu yang sangat penting untuk menjaga keseimbangan masyarakat.
Sejalan dengan tersebut nilai sosial dapat diartikan sebagai landasan bagi masyarakat untuk merumuskan apa yang benar dan penting, memiliki ciri-ciri tersendiri, dan berperan penting untuk mendorong dan mengarahkan individu agar berbuat sesuai norma yang berlaku. Uzey (2009:7) juga berpendapat bahwa nilai sosial mengacu pada pertimbangan terhadap suatu tindakan benda, cara untuk mengambil keputusan apakah sesuatu yang bernilai itu memiliki kebenaran, keindahan, dan nilai ketuhanan. Jadi nilai sosial dapat disimpulkan sebagai kumpulan sikap dan perasaan yang diwujudkan melalui perilaku yang mempengaruhi perilaku seseorang yang memiliki nilai tersebut. Nilai sosial merupakan sikap-sikap dan perasaan yang diterima secara luas oleh masyarakat dan merupakan dasar untuk merumuskan apa yang benar dan apa yang penting.
d. Nilai  Budaya
Nilai-nilai budaya menurut Rosyadi (1995:74) merupakan sesuatu yang dianggap baik dan berharga oleh suatu kelompok masyarakat atau suku bangsa yang belum tentu dipandang baik pula oleh kelompok masyarakat atau suku bangsa lain sebab nilai budaya membatasi dan memberikan karakteristik pada sutu masyarakat dan kebudayaannya.
Nilai budaya merupakan tingkat yang paling abstrak dari adat, hidup dan berakar dalam alam pikiran masyarakat, dan sukar diganti dengan nilai budaya lain dalam waktu singkat. Uzey (2009: 1) berpendapat mengenai pemahaman tentang nilai budaya dalam kehidupan manusia diperoleh karena manusia memaknai ruang dan waktu. Makna itu akan bersifat intersubyektif karena ditumbuh-kembangkan secara individual, namun dihayati secara bersama, diterima, dan disetujui oleh masyarakat hingga menjadi latar budaya yang terpadu bagi fenomena yang digambarkan.
Sistem nilai budaya merupakan inti kebudayaan, sebagai intinya ia akan mempengaruhi dan menata elemen-elemen yang berada pada struktur permukaan dari kehidupan manusia yang meliputi perilaku sebagai kesatuan gejala dan benda-benda sebagai kesatuan material. Sistem nilai budaya terdiri dari konsepsi-konsepsi yang hidup dalam alam pikiran sebagian besar warga masyarakat, mengenai hal-hal yang harus mereka anggap amat bernilai dalam hidup. Karena itu, suatu sisitem nilai budaya biasanya berfungsi sebagai pedoman tertinggi bagi kelakuan manusia.
Dapat disimpulkan dari pendapat tersebut sistem nilai budaya menempatkan pada posisi sentral dan penting dalam kerangka suatu kebudayaan yang sifatnya abstrak dan hanya dapat diungkapkan atau dinyatakan melalui pengamatan pada gejala-gejala yang lebih nyata seperti tingkah laku dan benda-benda material sebagai hasil dari penuangan konsep-konsep nilai melalui tindakan berpola. Adapun nilai-nilai budaya yang terkandung dalam novel dapat diketahui melalui penelaahan terhadap karakteristik dan perilaku tokoh-tokoh dalam cerita.

 2.3. Pendidikan Karakter Bangsa
2.3.1 Nilai Religius
Religius adalah kata kerja yang berasal dari kata religion. Bertens  (2007:140) menjelaskan pengertian nilai melalui cara memperbandingkannya   dengan  fakta. Fakta menurutnya adalah sesuatu yang ada atau berlangsung begitu saja. Sementara nilai adalah sesuatu yang berlaku, sesuatu yang memikat atau menghimbau kita. Fakta dapat ditemui dalam konteks deskripsi semua unsurnya dapat dilukiskan satu demi satu  dan  uraian  itu  pada  prinsipnya  dapat  diterima  oleh  semua  orang.  Nilai berperanan  dalam  suasana  apresiasi  atau  penilaian dan  akibatnya  sering  akan dinilai secara berbeda oleh orang banyak. Nilai selalu berkaitan dengan penilaian seseorang,  sementara fakta menyangkut ciri-ciri obyektif saja. 
Dengan demikian, nilai adalah sesuatu yang subjektif, sesuatu yang dianggap benar, berlaku dalam kelompok masyarakat tertentu yang berkaitan dengan hak manusia sebagai individu.
Menurut  Tim Penyusun KBBI (2008:1286) relegi bermakna ‘kepercayaan akan adanya Tuhan’, sedangkan relegius bermakna  ‘taat agama’. Dasuki (2011) mendefinisikan nilai-nilai religius  sebagai sesuatu yang menempati peringkat yang sangat tinggi dalam kehidupan seorang yang beradab. Dikatakan demikian karena nilai-nilai religius berkaitan dengan kebenaran Ilahi yang bersifat absolut dan universal yang berangkat dari dan bermuara pada hak asasi manusia yang paling asasi, yaitu hubungan seseorang dengan Penciptanya.
Sesungguhnya nilai religius tidak semata berkaitan dengan kehidupan ritual keagamaan seseorang, tetapi tercermin juga dalam kehidupan sehari-hari seperti menjunjung tinggi nilai-nilai luhur tertentu, seperti kejujuran, keikhlasan, kesediaan berkorban, kesetiaan dan lain sebagainya.
Nilai-nilai religius merupakan nilai yang dapat mendorong manusia selalu dapat mengontrol kehidupannya. Sebab dengan nilai relegius seseorang akan merasa semua perbuatannya diawasi oleh Sang pencipta.
Sedangkan Kemendiknas (2010:9) menjelaskan indikator religius sebagai sikap dan perilaku yang patuh dalam melaksanakan ajaran agama yang dianutnya, toleran terhadap pelaksanaan ibadah agama lain, dan hidup rukun dengan pemeluk agama lain.
2.3.2  Nilai Kejujuran
Kejujuran merupakan kualitas manusiawi melalui mana manusia mengomunikasikan diri dan bertindak secara benar (truthfully). Karena itu, kejujuran sesungguhnya berkaitan erat dengan nilai kebenaran, termasuk di dalamnya kemampuan mendengarkan, sebagaimana kemampuan berbicara, serta setiap perilaku yang bisa muncul dari tindakan manusia. Secara sederhana, kejujuran bisa diartikan sebagai sebuah kemampuan untuk mengekpresikan fakta-fakta dan keyakinan pribadi sebaik mungkin sebagaimana adanya. Sikap ini terwujud dalam perilaku, baik jujur terhadap orang lain maupun terhadap diri sendiri (tidak menipu diri), serta sikap jujur terhadap motivasi pribadi maupun kenyataan batin dalam diri seorang individu (Galus:2011)
Kualitas kejujuran seseorang meliputi seluruh perilakunya, yaitu, perilaku yang termanifestasi keluar, maupun sikap batin yang ada di dalam. Keaslian kepribadian seseorang bisa dilihat dari kualitas kejujurannya.
 Konsep tentang kejujuran bisa membingungkan dan mudah dimanipulasi karena sifatnya yang lebih interior. Perilaku jujur mengukur kualitas moral seseorang di mana segala pola perilaku dan motivasi tergantung pada pengaturan diri (self-regulation) seorang individu (Galus:2011)

2.3.3  Nilai Toleransi
Halim  (2008)  dalam  arikel  yang  berjudul  “Menggali  Oase  Toleransi”, menyatakan      “Toleransi            berasal dari      bahasa Latin,   yaitu    tolerantia,        berarti kelonggaran, kelembutan hati, keringanan, dan kesabaran”. Secara umum, istilah ini mengacu pada sikap terbuka, lapang dada, sukarela, dan kelembutan. United Nations Educational,Scientific and  Cultural Organization (UNESCO) mengartikan toleransi sebagai  sikap  “saling  menghormati,  saling  menerima,  dan  saling  menghargai  di tengah keragaman budaya, kebebasan berekspresi, dan karekter manusia”. Untuk itu, toleransi harus didukung oleh cakrawala pengetahuan yang luas,  bersikap terbuka, dialog, kebebasan berfikir dan beragama. Singkatnya toleransi setara dengan bersikap positif  dan  menghargai  orang  lain  dalam  rangka  menggunakan  kebebasan  asasi sebagai  manusia. Ada dua model toleransi, yaitu : Pertama, toleransi pasif, yakni sikap menerima  perbedaan sebagai sesuatu yang bersifat faktual. Kedua, toleransi aktif, melibatkan diri dengan yang lain ditengah perbedaan dan keragaman. Toleransi aktif merupakan ajaran semua agama. Hakikat toleransi adalah hidup berdampingan secara damai dan saling menghargai di antara keragaman.
Di Indonesia, praktik toleransi mengalami pasang surut. Pasang surut ini dipicu oleh  pemahaman  distingtif  yang  bertumpu  pada  relasi  “mereka”  dan  “kita”.  Tak pelak, dalam        berbagai diskursus kontemporer, sering dikemukakan bahwa, radikalisme,  ekstremisme,  dan  fundamentalisme  merupakan  baju  kekerasan  yang ditimbulkan  oleh  pola  pemahaman  yang  eksklusif  dan  antidialog  atas  teks-teks keagamaan. Seluruh agama  harus bertanggung jawab untuk mewujudkan keadilan dan  kedamaian.  Hal  ini  tidak  akan  tercapai  hanya dengan  mengandalkan  teologi eksklusif yang hanya berhenti pada klaim kebenaran, tetapi  membutuhkan teologi pluralisme yang berorientasi pada pembebasan.
Toleransi yang dimaksudkan   dalam  tulisan  ini adalah: sikap saling menghormati, saling menghargai, dan saling menerima ditengah keragaman budaya, suku, agama dan kebebasan berekspresi. Dengan adanya sikap toleransi, warga suatu komunitas dapat hidup berdampingan secara damai, rukun, dan bekerja sama dalam mengatasi berbagai permasalahan yang terjadi di lingkungannya.

2.3.4  Nilai Kedisiplinan
Kedisiplinan berasal dari kata "disiplin" yang berarti taat,yang mendapat imbuhan ke-an yang secara etimologis memiliki makna,suatu ketaatan pada aturan dan tata tertib. Sedang secara terminologis pengertian disiplin sangatlah bervariasi tergantung dari sudut mana parapakar atau ahli meninjaunya.
Disiplin berasal dari kata dicipulus yang berarti “student” atau “pupil” (Mc  Phil,1982:130). Yang berarti seseorang yang  menerima  intruksi  dari  yang  lain,  khususnya  seseorang  yang  menerima intruksi  dari  gurunya  yang  membantu  perkembangan  atau  diartikan  sebagai pengikut (follower) berhubungan  dengan  control  seseorang  berdasarkan  pada  otoritas  luar  yang biasanya dilakukan secara terpaksa atau karena takut hukuman (punishment).

2.3.5  Nilai Tanggung Jawab
Makna dari istilah “tanggung jawab” adalah “siap menerima kewajiban atau tugas”. Arti tanggung jawab di atas semestinya sangat mudah untuk dimengerti oleh setiap orang. Tetapi jika kita diminta untuk melakukannya sesuai dengan definisi tanggung jawab tadi, maka seringkali masih merasa sulit, merasa keberatan, bahkan ada orang yang merasa tidak sanggup jika diberikan kepadanya suatu tanggung jawab. Kebanyakan orang mengelak bertanggung jawab, karena jauh lebih mudah untuk “menghindari” tanggung jawab, daripada “menerima” tanggung jawab.
Tanggung jawab menurut kamus umum Bahasa Indonesia adalah, keadaan wajib menanggung segala sesuatunya.Tanggung jawab adalah kesadaran manusia akan tingkah laku atau perbuatannya yang disengaja maupun yang tidak di sengaja. Tangung jawab juga berarti berbuat sebagai perwujudan kesadaran akan kewajibannya.

2.3.6  Nilai Persahabatan
Persahabatan atau pertemanan adalah istilah yang menggambarkan perilaku kerja sama dan saling mendukung antara dua atau lebih entitas sosial. Dalam pengertian ini, istilah "persahabatan" menggambarkan suatu hubungan yang melibatkan pengetahuan, penghargaan dan afeksi. Sahabat akan menyambut kehadiran sesamanya dan menunjukkan kesetiaan satu sama lain, seringkali hingga pada altruisme. selera mereka biasanya serupa dan mungkin saling bertemu, dan mereka menikmati kegiatan-kegiatan yang mereka sukai. Mereka juga akan terlibat dalam perilaku yang saling menolong, seperti tukar-menukar nasihat dan saling menolong dalam kesulitan. Sahabat adalah orang yang memperlihatkan perilaku yang berbalasan dan reflektif. Namun bagi banyak orang, persahabatan seringkali tidak lebih daripada kepercayaan bahwa seseorang atau sesuatu tidak akan merugikan atau menyakiti mereka.

2.3.7  Nilai Kreatif
Menurut  NACCCE  (National  Advisory  Committee  on  Creative  and Cultural  Education) (dalam Craft, 2005), kreativitas adalah aktivitas imaginatif yang menghasilkan hasil  yang baru dan bernilai. Selanjutnya Feldman (dalam Craft, 2005) mendefinisikan kreativitas adalah: “the achievement of something remarkable and new, something which transforms and changes a field of endeavor in a significant way . . . the kinds of things that people do that change the world.”
Menurut Munandar (1985), kreativitas adalah kemampuan untuk membuat kombinasi  baru, berdasarkan data, informasi atau unsur-unsur yang ada. Hasil yang diciptakan tidak selalu hal-hal yang baru, tetapi juga dapat berupa gabungan (kombinasi) dari hal-hal yang sudah ada sebelumnya. Guilford  dalam Munandar (2009)  menyatakan  kreativitas  merupakan kemampuan   berpikir  divergen   atau   pemikiran   menjajaki   bermacam-macam alternatif  jawaban terhadap suatu persoalan, yang sama benarnya.  

2.3.8  Nilai Kemandirian
Menurut kamus besar edisi ketiga, Kemandirian didefinisikan sebagai hal atau keadaan dapat berdiri sendiri tanpa bergantung kepada orang lain.(Dep. Pendidikan Nasional, 2000) dan pengertian lain dari kemandirian adalah suatu sikap yang ditandai oleh adanya kepercayaan diri.
Kemandirian (independence) merupakan suatu kemampuan individu untuk mengatur dirinya sendiri dan tidak tergantung kepada orang lain. Hal yang senada juga diungkapkan oleh Brawer (1973) bahwa kemandirian merupakan perilaku yang terdapat pada seseorang yang timbul karena dorongan dari dalam dirinya sendiri, bukan karena pengaruh orang lain. (Aishiteru:2009)
Pendidikan adalah suatu upaya sadar untuk mengembangkan potensi peserta didik secara optimal. Usaha sadar itu tidak boleh dilepaskan dari lingkungan peserta didik berada, terutama dari lingkungan budayanya, karena peserta didik hidup tak terpisahkan dalam lingkungannya dan bertindak sesuai dengan kaidah-kaidah budayanya. Pendidikan yang tidak dilandasi oleh prinsip itu akan menyebabkan peserta didik tercerabut dari akar budayanya. Ketika hal ini terjadi, maka mereka tidak akan mengenal budayanya dengan baik sehingga ia menjadi orang “asing” dalam lingkungan budayanya. Selain menjadi orang asing, yang lebih mengkhawatirkan adalah dia menjadi orang yang tidak menyukai budayanya (Kemendiknas, 2010:3).
Pendidikan adalah suatu proses enkulturasi, berfungsi mewariskan nilai-nilai dan prestasi masa lalu ke generasi mendatang. Nilai-nilai dan prestasi itu merupakan kebanggaan bangsa dan menjadikan bangsa itu dikenal oleh bangsa-bangsa lain. Selain mewariskan, pendidikan juga memiliki fungsi untuk mengembangkan nilai-nilai budaya dan prestasi masa lalu itu menjadi nilai-nilai budaya bangsa yang sesuai dengan kehidupan masa kini dan masa yang akan datang, serta mengembangkan prestasi baru yang menjadi karakter baru bangsa. Oleh karena itu, pendidikan budaya dan karakter bangsa merupakan inti dari suatu proses pendidikan (Kemendiknas, 2010:4).
Proses pengembangan nilai-nilai yang menjadi landasan dari karakter itu  menghendaki suatu proses yang berkelanjutan, dilakukan melalui berbagai mata pelajaran yang ada dalam kurikulum (kewarganegaraan, sejarah, geografi, ekonomi, sosiologi, antropologi, bahasa Indonesia, IPS, IPA, matematika, agama, pendidikan jasmani dan olahraga, seni, serta ketrampilan).
Karakter adalah watak, tabiat, akhlak, atau kepribadian seserang yang terbentuk dari hasil internalisasi berbagai kebajikan (virtues) yang diyakini dan digunakan sebagai landasan untuk cara pandang, berpikir, bersikap, dan bertindak. Kebajikan terdiri atas sejumlah nilai, moral, dan norma, seperti jujur, berani bertindak, dapat dipercaya, dan hormat kepada orang lain. Interaksi seseorang dengan orang lain menumbuhkan karakter masyarakat dan karakter bangsa. Oleh karena itu, pengembangan karakter bangsa hanya dapat dilakukan melalui pengembangan karakter individu seseorang. Akan tetapi, karena manusia hidup dalam lingkungan sosial dan budaya tertentu, maka pengembangan karakter individu seseorang hanya dapat dilakukan dalam lingkungan sosial dan budaya yang bersangkutan. Artinya, pengembangan budaya dan karakter bangsa hanya dapat dilakukan dalam suatu proses pendidikan yang tidak melepaskan peserta didik dari lingkungan sosial, budaya masyarakat dan budaya bangsa. Lingkungan sosial dan budaya bangsa adalah Pancasila; jadi pendidikan budaya dan karakter bangsa haruslah berdasarkan nilai-nilai Pancasila. Dengan kata lain, mendidik budaya dan karakter bangsa adalah mengembangkan nilai-nilai Pancasila pada diri peserta didik melalui pendidikan hati, watak, dan fisik (Kemendiknas, 2010:5).



Fungsi pendidikan budaya dan karakter bangsa adalah:
1)        pengembangan: pengembangan potensi peserta didik untuk menjadi pribadi berperilaku baik; ini bagi peserta didik yang telah memiliki sikap dan perilaku yang mencerminkan budaya dan karakter bangsa;
2)        perbaikan: memperkuat kiprah pendidikan nasional untuk bertanggung jawab dalam pengembangan potensi peserta didik yang lebih bermartabat; dan
3)        penyaring: untuk menyaring budaya bangsa sendiri dan budaya bangsa lain yang tidak sesuai dengan nilai-nilai budaya dan karakter bangsa yang bermartabat (Kemendiknas, 2010:6)
Sedangkan tujuan pendidikan budaya dan karakter bangsa adalah:
1)        mengembangkan potensi kalbu/nurani/afektif peserta didik sebagai manusia dan warganegara yang memiliki nilai-nilai budaya dan karakter bangsa;
2)        mengembangkan kebiasaan dan perilaku peserta didik yang terpuji dan sejalan dengan nilai-nilai universal dan tradisi budaya bangsa yang religius;
3)        menanamkan jiwa kepemimpinan dan tanggung jawab peserta didik sebagai generasi penerus bangsa;
4)        mengembangkan kemampuan peserta didik menjadi manusia yang mandiri, kreatif, berwawasan kebangsaan; dan
5)        mengembangkan lingkungan kehidupan sekolah sebagai lingkungan belajar yang aman, jujur, penuh kreativitas dan persahabatan, serta dengan rasa kebangsaan yang tinggi dan penuh kekuatan (dignity). (Kemendiknas, 2010:7)
 Nilai-nilai yang dikembangkan dalam pendidikan budaya dan karakter bangsa diidentifikasi dari sumber-sumber  berikut ini: relegius, jujur, toleransi, disiplin, kerja keras, kreatif, mandiri, demokratis, rasa ingin tahu, semangat kebangsaan, cinta tanah air, menghargai prestasi, bersahabat/komunikatif, cinta damai, gemar membaca, peduli lingkungan, peduli sosial, dan tanggung  jawab (Kemendiknas, 2010:10-11)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

COACHING DALAM PENDIDIKAN

A. Pendahuluan            Senin, 1 Februari 2021 merupakan hari bersejarah bagi pendidikan Indonesia. Pada hari itu Menteri Pendidikan dan K...