UNSUR PEMBANGUN NOVEL
A. Pengertian Novel
Di
Indonesia, istilah novel dikenal sejak zaman kemerdekaan, karena para sastrawan
dan intelektual berorientasi ke Inggris dan Amerika. Inggris dan Amerika
mengenal istilah novel sebagai karya fiksi. Sebelum zaman kemerdekaan bangsa Indonesia
memakai istilah roman. Sedangkan dalam kesustraan Melayu klasik lebih dikenal
dengan istilah hikayat.
Istilah roman digunakan pada waktu itu karena
sastrawan Indonesia pada umumnya berorientasi ke negeri Belanda, yang lazim
menamakan bentuk novel dengan sebutan roman. Istilah ini dipakai juga di
Perancis dan Rusia serta sebagian di negara Eropa (Semi,1988:32).
Dalam sastra Indonesia, istilah roman atau novel
seperti terdapat dalam sastra Inggris dan Amerika sudah digunakan secara
berangsur-angsur. Dan yang umum digunakan sampai sekarang ini adalah roman.
Dalam tulisan ini kedua istilah itu dipergunakan dalam pengertian yang sama.
Istilah
novel berasal dari bahasa Latin, novella yang berarti sebuah karangan
baru yang kecil ( Nurgiyantoro, 2010:9). Sementara itu menurut istilah novel
didefinisikan sebagai sebuah karangan prosa fiksi yang panjangnya cukup, tidak
terlalu panjang, tidak terlalu pendek ( Nurgiyantoro, 2010:10). Tim penyusun
Kamus Besar Bahasa Indonesia mendefinisikan novel dengan istilah roman.
Sedangkan Roman didefinisikan sebagai karangan prosa yang melukiskan
perbuatan-perbuatan pelakunya menurut watak isi jiwa masing-masing ( Tim,
2008:1314).
Dengan demikian kesimpulannya adalah istilah roman
dan novel digunakan dalam pengertian yang sama, yaitu karangan prosa panjang
yang mengandung rangkaian cerita kehidupan seseorang dengan orang disekitarnya,
yang melukiskan perbuatan-perbuatan pelakunya menurut watak isi jiwa
masing-masing.
Stanton
(1965) sebagaimana dikutip Nurgiantoro
(2010: 25) novel novel dibangun dengan tiga unsure yaitu fakta,
tema, sarana pengucapan (sastra). Fakta dalam sebuah cerita meliputi karakter
(tokoh cerita), plot, dan setting. Dengan demikian
kesimpulannya adalah istilah roman dan novel digunakan dalam pengertian yang
sama, yaitu karangan prosa panjang yang mengandung rangkaian cerita kehidupan
seseorang dengan orang di sekitarnya, dengan menonjolkan karakter dan perilaku
setiap tokoh.
B. Unsur Pembangun Novel
Novel adalah bagian dari karya sastra. Karya satra
erat hubungannya dengan psikologi. Sastra pada dasarnya mengungkapkan kejadian.
Namun kejadian tersebut bukanlah “fakta sesungguhnya“, melainkan sebuah fakta
mental pengarang. Karya sastra merupakan bagian dari suatu kebudayaan. Bila
kita melukiskan kebudayaan, kita tidak dapat melihatnya sebagi suatu yang
statis (tidak bertahan), tetapi merupakan sesuatu yang dinamis (selalu
berubah-ubah).
Kesustraan
sebagai ekspresi menyatakan tiga unsur, yaitu (1) Kesustraan mencerminkan
sistem keberatan, sistem sosial, sistem pendidikan dan kepercayaan yang
terdapat dalam masyarakat yang bersangkutan, (2) Kesustraan mencerminkan sisten
ide dan sistem nilai, bahkan karya sastra itu sendiri mejadi objek penelitian
yang dilakukan oleh anggota masyarakat, (3) Mutu peralatan kebudayaan yang ada
dalam masyarakat tercermin pula pada bentuk peralatan tulis-menulis yang
digunakan dalam mengembangkan sastra (Semi, 1989:55). Sastra adalah suatu karya
individual yamg didasarkan pada kebebasan mencipta dan dikembangkan lewat imajinasi.
Dikatakan pula sastra adalah kegiatan kreatif sebuah karya seni.
Sebagai
salah satu karya sastra, fiksi mengandung unsur-unsur meliputi: (1) pengarang
dan narator, (2) isi penciptaan, (3) media pencapai isi berupa bahasa, (4)
elemen-elemen fiksional atau unsur-unsur intrinsik yang membangun karya fiksi
itu sendiri sehingga menjadi suatu wacana (Aminudin, 2010:66). Adapun unsur-unsur yang membangun karya
fiksi secara garis besar dibagi menjadi dua bagian, yaitu (1) struktur luar
(ekstrinsik) dan (2) struktur dalam (intrinsik).
Struktur
luar (ekstrinsik) adalah segala macam unsur yang berada diluar suatu karya
sastra yang ikut mempengaruhi kehadiran karya satra tersebut, misalnya faktor
sosial, faktor ekonomi, faktor kebudayaan, faktor sosial politik, faktor
keagamaan dan tata nilai yang dianut masyarakat. Struktur dalam (intrinsik)
adalah unsur-unsur yang membentuk karya sastra tersebut seperti penokohan
(perwatakan), tema, alur (plot), pusat pengisahan, latar dan gaya bahasa (Semi,
1988:35).
Sesuai
dengan tujuan penelitian yakni analisis tentang alur dan penokohan, maka
setidaknya dalam sub bab ini akan diuraikan mengenai unsur-unsur pembangun
cerita tersebut. Menurut Sayuti (1988:33) disebutkan bahwa elemem pembangun
fiksi meliputi fakta cerita, sarana cerita, dan tema. Fakta cerita meliputi:
plot, tokoh, dan latar. Sarana cerita terdiri dari judul, sudut pandang, gaya,
dan nada.
.1 Perilaku Tokoh dan Penokohan
a) Perilaku Tokoh
Psikologi
merupakan ilmu tentang perilaku atau aktivitas-aktivitas individu. Karya sastra
masih ada hubungannya dengan psikologi. Woodworth dan Marquis (Walgito, 2003:
15) memberikan gambaran bahwa psikologi itu mempelajari aktivitas-aktivitas
individu atau perilaku individu. Perilaku atau aktivitas-aktivitas tersebut
dalam pengertian yang luas, yaitu perilaku yang menampak (overt behaviour) dan
atau perilaku yang tidak menempak (inert behaviour), demikian pula
aktivitas-aktivitas tersebut di samping aktivitas motorik juga termasuk
aktivitas emosional dan kognitif.
Menurut
Tim (2005:858) di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, “perilaku”
bermakna “tanggapan atau reaksi individu terhadap rangsangan atau lingkungan”.
Ini menunjukkan bahwa perilaku yang ada pada individu tidak timbul dengan
sendirinya, tetapi sebagai akibat dari stimulus yang diterima oleh individu
yang bersangkutan baik stimulus eksternal maupun stimulus internal. Namun
demikian, sebagian tersebar dari perilaku individu itu sebagai respon terhadap
stimulus eksternal.
Kaum
behaviouris memandang bahwa perilaku sebagai respon terhadap stimulus, akan
sangat ditentukan oleh keadaan stimulusnya dan individu atau organisme
seakan-akan tidak mempunyai kemampuan untuk menentukan perilakunya. Hubungan
stimulus dan respon seakan-akan bersifat mekanistis.
Aliran
Kognitif memandang perilaku individu merupakan respon dari stimulus, namun
dalam diri individu ada kemampuan untuk menentukan perilaku yang diambilnya. Ini
berarti individu dalam keadaan aktif. Hubungan stimulus dan respon tidak secara
otomatis, tetapi individu mengambil peranan dalam menentukan perilakunya.
Woodworth dan Schosberg membuat kaitan antara stimulus, organisme, dan perilaku
sebagai respon.
Peristiwa
dalam karya fiksi seperti halnya dalam kehidupan sehari-hari, yang tampak atau
kelihatan pada pelaku-pelaku tertentu, pelaku yang memerankan peristiwa dalam
cerita fiksi sehingga peristiwa itu mampu menjalin suatu cerita tersebut dengan
penokohan (Aminuddin, 2010:79).
Tokoh
merupakan hasil imajinasi penulis dalam membentuk suatu personalitas tertentu
dalam cerita. Berhasilnya suatu penokohan akan dapat menimbulkan kepercayaan
terhadap cerita terhadap pembaca. Sebuah penokohan atau perwatakan harus
menampilkan tokoh atau karakter yang berkelakuaan seperti dalam kehidupan yang
sebenernya (Sukada:63).
Orang
dapat mengamati tingkah laku tokoh-tokoh dalam sebuah roman atau novel dengan
memanfaatkan pertolongan pengetahuan psikologi. Andai kata ternyata tingkah
laku tokoh-tokoh tersebut sesuai dengan apa yang diketahuinya tentang jiwa
manusia, maka dia telah berhasil menggunakan teori-teori psikologi modern untuk
menjelaskan dan menafsirkan karya sastra.
Tokoh
adalah individu atau seseorang yang menjadi pelaku cerita. Pelaku cerita atau
pemain novel disebut aktor (pria) dan aktris (wanita). Tokoh dalam cerita fiksi
berkaitan dengan nama, usia, jenis kelamin, tipe fisik, jabatan, dan keadaan
kejiwaan.
Tokoh-tokoh dalam fiksi diklasifikasi sebagai
berikut.
a. Berdasarkan sifatnya,
1)
Tokoh
protagonis yaitu tokoh utama yang mendukung cerita. Biasanya ada satu atau dua
tokoh protagonis.
2)
Tokoh
antagonis yaitu tokoh penentang cerita. Biasanya ada seorang tokoh utama yang
menentang cerita.
3)
Tokoh
tritagonis yaiutu tokoh pembantu, baik untuk tokoh protagonis maupun untuk
tokoh antagonis.
b. Berdasarkan peranannya, tokoh
diklasifikasi menjadi tiga.
1) Tokoh sentral yaitu tokoh-tokoh yang
paling menentukan dalam novel. Tokoh sentral merupakan penyebab terjadinya
konfik. Tokoh sentral meliputi tokoh protagonis dan tokoh antagonis.
2) Tokoh utama yaitu tokoh pendukung
penentang tokoh sentral. Dapat juga sebagai perantara tokoh sentral. Dalam hal
ini adalah tokoh tritagonis.
3) Tokoh pembantu yaitu tokoh-tokoh yang
memegang peran pelengkap atau tambahan dalam mata rangkaian cerita. Kehadiran
tokoh pembantu ini menurut kebutuhan cerita saja. Tidak semua novel menampilkan
kehadiran tokoh pembantu.
2 Penokohan
Perwatakan disebut juga penokohan. Perwatakan/penokohan
adalah penggambaran sifat batin seseorang tokoh yang disajikam dalam cerita.
Perwatakan tokoh-tokoh dalam novel digambarkan melalui dialog, ekskpresi, atau
tingkah laku sang tokoh. Penggambaran watak tokoh dalam naskah novel erat
kaitannya dalam pemilihan setting atau tempat terjadinya peristiwa. Watak para
tokoh digambarkan dalam tiga dimensi (watak demensiona). Penggambaran itu berdasarkan
keadaan fisik, psikis, dan sosial (fisiologis, psikologis, dan sosiologis).
Keadaan fisik biasanya dilukiskan paling awal, baru kemudian sosialnya.
Pelukisan watak tokoh bisa langsung pada dialog yang mewujudkan watak dan
perkembangan lakon, tetapi dapat juga dijumpai pada catatan samping (catatan
teknis dalam teks).
a. Keadaan Fisik
Kadaan
fisik tokoh dapat digunakan untuk menyatakan watak tokoh. Kedaan fisik tokoh
seperti umur, jenis kelamin, ciri-ciri tubuh, cacat jasmani, ciri khas yang
menonjol, suku, bangsa, raut muka, kesukan, tinggi/pendek, kurus/gemuk, atau
suka senyum/cemberut.
b. Keadaan Psikis
Keadaan
psikis tokoh meliputi : watak, kegemaran, mental, standar moral, temperamen,
ambisi, psikologis yang dialami, dan keadaan emosi.
c. Keadaan Sosialogis
Keadaan
sosiologis tokoh meliputi: jabatan, pekerjaan, kelas sosial, ras, agama, dan
idiologi.
Penokohan
atau perwatakan ialah pelukisan mengenai tokokh cerita baik keadaan lahir
maupun batin yang berupa pandangan hidupnya, sikapnya, keyakinnya, adat
istiadatnya, dan sebagainya (Suhariyanto,1982:31). Sayuti (1988:38) mengatakan
bahwa tokoh utama suatu fiksi ditentukan paling tidak dengan tiga cara, yakni;
(1) Tokoh itu paling banyak terlibat dengan makna atau tema, (2) Tokoh itu
paling banyak berhubungan dengan tokoh lain, dan (3) Tokoh itu paling banyak
memerlukan waktu pencarian.
Hubungan
yang logis antara satu tindakan dengan yang lain dalam suatu karya fiksi lahir
sebagai hukum sebab akibat. Suatu perbuatan akan menimbulkan perbuatan lain,
sehingga membentuk suatu kesatuan rangkaian adegan-adegan dan dapat dilihat
sebagai suatu kesatuan yang terkait oleh waktu.
3 Karakter Tokoh
Karakter
ialah pelukisan mengenai tokoh cerita baik keadaan lahir maupun batin yang
berupa pandangan hidupnya, sikapnya, dan keyakinannya.
Pelukisan
tokoh menurut Lubis (1981:18) adalah (1) melukiskan bentuk lahir tokoh, (2)
melukiskan jalan pikiran tokoh, (3) melukiskan reaksi tokoh terhadap kejadian,
(4) pengarang langsung menganalisis watak tokoh, (5) melukiskan keadaan tokoh,
(6) melukiskan pandangan tokoh lain dalam satu cerita terhadap tokoh utama, (7)
melukiskan perbincangan tokoh-tokoh lain tentang tokoh utama.
Erat
kaitannya dengan tokoh adalah karakter. Sebagaimana dikemukakan di atas
karakter merupakan teknik penampilan tokoh oleh pengarang. Jadi, karakter
berkaitan dengan teknik penulisannya. Teknik penokohan menurut Lubis (1981:18)
terdiri dari beberapa cara, yaitu:
1)
Physical description (melukiskan bentuk lahir dari pelakon);
2)
Portrayal of thought strearri of concious
thoght (melukiskan jalan
pikiran pelakon atau apa yang melintas dalam pikiarnya);
3)
Reaction of event (bagaimana reaksi pelakon itu terhadap
kejadian);
4)
Direct author analysis (pengarang dengan langsung menganalisis
watak pelakon);
5)
Discution of enviroment (melukiskan keadaan sekitar pelakon);
6)
Reaction of other to character (bagaimana pandangan pelakon lain dalam
suatu cerita terhadap pelaku utama);
7)
Conversation of other character (pelakon-pelakon lainnya dalam suatu
cerita memperbincangkan keadaan pelakon utama).
Untuk menentukan tokoh dalam suatu cerita
memerlukan langkah-langkah yang harus ditempuh agar tidak menimbulkan keraguan,
yaitu dengan jalan (1) dilihat permasalahannya tokoh mana yang paling banyak
berhubungan dengan masalah itu, (2) tokoh mana yang paling banyak berhubungan
dengan tokoh-tokoh lainnya, dan (3) tokoh mana yang paling banyak memerlukan
waktu penceritaan.
Tokoh
dalam suatu cerita terdiri dari berbagai jenis. Berdasarkan cara penampilannya
dikenal tokoh datar dan tokoh bulat, juga dikenal tokoh tipologi dan tokoh
psikologis. Sementara dengan kualitas permasalahan yang dihadapi tokoh, dikenal
adanya simple karakter dan komplek
karakter. Sedangkan berdasarkan fungsinya, dikenal tokoh sentral dan tokoh
bawahan. Ditinjau dari sikap, watak ,dan cara berpikir tokoh dalam cerita dapat
kita bedakan menjadi tiga, yaitu (1) tokoh protagonis, yaitu tokoh yang memilki
watak dan sikap hidup baik sehingga disenangi pembaca, (2) tokoh antagonis,
yaitu tokoh yang memilki watak yang tidak sesuai dengan pembaca. (3) tokoh
tritagonis, yaitu tokoh yang selalu bertindak sebagai pihak ketiga yang
berusaha menjadi juru penengah dalam konflik yang terjadi antara tokoh
protagonis dan antagonis.
Latar
adalah tempat terjadinya cerita (Sumarjo, 1984:60). Latar memiliki empat unsur pokok, yakni latar
tempat, latar waktu, latar alat dan latar sosial. Latar tempat berkaitan dengan lokasi geografis, dalam ruang bahkan di alam
bebas. Sedang latar waktu
berkaitan dengan waktu terjadinya peristiwa yang dapat ditinjau dari jam, hari,
tanggal, bulan tahun, malam, siang, musim dan zaman tertentu. Latar sosial menggamarkan status
sosial tokoh tertentu, misalnya
pekerjaan, agama, dan lain sebagainya. Latar alat
mengacu pada alat atau barag yang digunakan tokoh dalam menjalankan
cerita.
Fungsi latar menurut Sayuti (1988:75-82) adalah
sebagai metafora yang digunakan untuk mengungkapkan suasana
hati tokoh yang berkaitan dengan ungkapan-ungkapan yang bersifat metaforik.
Selain itu fungsi latar sebagai atmosfir karena berkaitan dengan suasana atau
cahaya emosional yang disarankan terutama oleh latar. Fungsi yang lain adalah
sebagai penonjolan elemen latar yakni penonjolan waktu dan tempat.
4 Nilai dalam Karya Sastra Novel
Bertens (2007:
140) menjelaskan pengertian nilai
melalui cara
memperbandingkannya dengan fakta.
Fakta menurutnya adalah sesuatu yang ada atau berlangsung begitu saja.
Sementara nilai adalah sesuatu yang berlaku, sesuatu yang memikat atau
menghimbau kita. Fakta dapat ditemui dalam konteks deskripsi semua unsurnya
dapat dilukiskan satu demi satu dan uraian
itu pada prinsipnya
dapat diterima oleh
semua orang. Nilai berperanan dalam
suasana apresiasi atau
penilaian dan akibatnya sering
akan dinilai secara berbeda oleh orang banyak. Nilai selalu berkaitan
dengan penilaian seseorang,
sementara fakta menyangkut
ciri-ciri obyektif saja.
Tim Penyusun Kamus (2008: 690) menjelaskan pengertian nilai sebagai
sifat-sifat atau hal-hal yang penting atau berguna bagi masyarakat.
Mencari nilai luhur dari karya sastra adalah
menentukan kreativitas terhadap hubungan kehidupannya. Dalam karya sastra akan tersimpan nilai atau pesan
yang berisi amanat atau nasihat. Melalui karyanya, pencipta karya sastra
berusaha untuk mempengaruhi pola pikir pembaca dan ikut
mengkaji tentang baik dan buruk, benar mengambil pelajaran, teladan yang patut
ditiru sebaliknya, untuk dicela bagi yang tidak baik. Karya sastra diciptakan
bukan sekedar untuk dinikmati, akan tetapi untuk dipahami dan diambil
manfaatnya. Karya sastra tidak sekedar benda mati yang tidak berarti, tetapi
didalamnya termuat suatu ajaran berupa nilai-nilai hidup dan pesan-pesan luhur
yang mampu menambah wawasan manusia dalam memahami kehidupan.
Dalam karya sastra, berbagai nilai hidup dihadirkan karena hal ini
merupakan hal positif yang mampu mendidik manusia, sehingga manusia mencapai
hidup yang lebih baik sebagai makhluk yang dikaruniai oleh akal, pikiran dan
perasaan.
Novel merupakan salah satu bentuk karya sastra
yang banyak memberikan penjelasan secara jelas tentang sistem nilai. Nilai itu
mengungkapkan perbuatan apa yang dipuji dan dicela, pandangan hidup mana yang dianut dan dijauhi, dan hal
apa saja yang dijunjung tinggi. Adapun nilai-nilai pendidikan dalam novel
sebagai berikut.
a. Nilai Religius
Religi merupakan suatu kesadaran
yang menggejala secara mendalam dalam lubuk hati manusia sebagai human nature.
Religi tidak hanya menyangkut segi kehidupan secara lahiriah melainkan juga
menyangkut keseluruhan diri pribadi manusia secara total dalam integrasinya
hubungan ke dalam keesaan Tuhan (Rosyadi, 1995: 90). Nilai-nilai religious
bertujuan untuk mendidik agar manusia lebih baik menurut tuntunan agama dan
selalu ingat kepada Tuhan. Nilai-nilai religius yang terkandung dalam karya
sastra dimaksudkan agar penikmat karya tersebut mendapatkan renungan-renungan
batin dalam kehidupan yang bersumber pada nilai-nilai agama. Nilai-nilai
religius dalam sastra bersifat individual dan personal.
Kehadiran unsur religi dalam
sastra adalah sebuah keberadaan sastra itu sendiri (Nurgiyantoro, 2005: 326).
Semi (1993: 21) menyatakan, agama merupakan kunci sejarah, kita batu memahami
jiwa suatu masyarakat bila kita memahami agamanya. Semi (1993: 21) juga
menambahkan, kita tidak mengerti hasil-hasil kebudayaanya, kecuali bila kita
paham akan kepercayaan atau agama yang mengilhaminya. Religi lebih pada hati,
nurani, dan pribadi manusia itu sendiri. Dari beberapa pendapat tersebut dapat
disimpulkan bahwa nilai religius yang merupakan nilai kerohanian tertinggi dan mutlak
serta bersumber pada kepercayaan atau keyakinan manusia.
b. Nilai Moral
Moral merupakan sesuatu yang igin
disampaikan pengarang kepada pembaca, merupakan makna yang terkandung dalam
karya sastra, makna yang disaratkan lewat cerita. Moral dapat dipandang sebagai
tema dalam bentuk yang sederhana, tetapi tidak semua tema merupaka moral (Kenny
dalam Nurgiyantoro, 2005: 320). Moral merupakan pandangan pengarang tentang
nilai-nilai kebenaran dan pandangan itu yang ingin disampaikan kepada pembaca.
Hasbullah (2005: 194) menyatakan bahwa, moral merupakan kemampuan seseorang
membedakan antara yang baik dan yang buruk.
Nilai moral yang terkandung dalam
karya sastra bertujuan untuk mendidik manusia agar mengenal nilai-nilai etika
merupakan nilai baik buruk suatu perbuatan, apa yang harus dihindari, dan apa
yang harus dikerjakan, sehingga tercipta suatu tatanan hubungan manusia dalam
masyarakat yang dianggap baik, serasi, dan bermanfaat bagi orang itu,
masyarakat, lingkungan, dan alam sekitar. Uzey (2009:2) berpendapat bahwa nilai
moral adalah suatu bagian dari nilai, yaitu nilai yang menangani kelakuan baik
atau buruk dari manusia moral
selalu berhubungan dengan nilai, tetapi tidak semua nilai adalah nilai moral.
Moral berhubungan dengan kelakuan atau tindakan manusia. Nilai moral inilah
yang lebih terkait dengan tingkah laku kehidupan kita sehari-hari.
Dapat disimpulkan bahwa nilai
pendidikan moral menunjukkan peraturan-peraturan tingkah laku dan adat istiadat
dari seorang individu dari suatu kelompok yang meliputi perilaku. Untuk karya
menjunjung tinggi budi pekerti dan nilai susila.
c. Nilai Sosial
Kata “sosial” berarti hal-hal
yang berkenaan dengan masyarakat/ kepentingan umum. Nilai sosial merupakan
hikmah yang dapat diambil dari perilaku sosial dan tata cara hidup sosial.
Perilaku sosial brupa sikap seseorang terhadap peristiwa yang terjadi di
sekitarnya yang ada hubungannya dengan orang lain, cara berpikir, dan hubungan
sosial bermasyarakat antar individu. Nilai sosial yang ada dalam karya sastra
dapat dilihat dari cerminan kehidupan masyarakat yang diinterpretasikan
(Rosyadi, 1995: 80). Nilai pendidikan sosial akan menjadikan manusia sadar akan
pentingnya kehidupan berkelompok dalam ikatan kekeluargaan antara satu individu
dengan individu lainnya.
Nilai sosial mengacu pada
hubungan individu dengan individu yang lain dalam sebuah masyarakat. Bagaimana
seseorang harus bersikap, bagaimana cara mereka menyelesaikan masalah, dan menghadapi situasi tertentu
juga termasuk dalam nilai sosial. Dalam masyarakat Indonesia yang sangat
beraneka ragam coraknya, pengendalian diri adalah sesuatu yang sangat penting
untuk menjaga keseimbangan masyarakat.
Sejalan dengan tersebut nilai
sosial dapat diartikan sebagai landasan bagi masyarakat untuk merumuskan apa
yang benar dan penting, memiliki ciri-ciri tersendiri, dan berperan penting
untuk mendorong dan mengarahkan individu agar berbuat sesuai norma yang
berlaku. Uzey (2009:7) juga berpendapat bahwa nilai sosial mengacu pada
pertimbangan terhadap suatu tindakan benda, cara untuk mengambil keputusan
apakah sesuatu yang bernilai itu memiliki kebenaran, keindahan, dan nilai
ketuhanan. Jadi nilai sosial dapat disimpulkan sebagai kumpulan sikap dan
perasaan yang diwujudkan melalui perilaku yang mempengaruhi perilaku seseorang
yang memiliki nilai tersebut. Nilai sosial merupakan sikap-sikap dan perasaan
yang diterima secara luas oleh masyarakat dan merupakan dasar untuk merumuskan
apa yang benar dan apa yang penting.
d. Nilai Budaya
Nilai-nilai budaya menurut
Rosyadi (1995:74) merupakan sesuatu yang dianggap baik dan berharga oleh suatu
kelompok masyarakat atau suku bangsa yang belum tentu dipandang baik pula oleh
kelompok masyarakat atau suku bangsa lain sebab nilai budaya membatasi dan
memberikan karakteristik pada sutu masyarakat dan kebudayaannya.
Nilai budaya merupakan tingkat
yang paling abstrak dari adat, hidup dan berakar dalam alam pikiran masyarakat,
dan sukar diganti dengan nilai budaya lain dalam waktu singkat. Uzey (2009: 1)
berpendapat mengenai pemahaman tentang nilai budaya dalam kehidupan manusia
diperoleh karena manusia memaknai ruang dan waktu. Makna itu akan bersifat
intersubyektif karena ditumbuh-kembangkan secara individual, namun dihayati
secara bersama, diterima, dan disetujui oleh masyarakat hingga menjadi latar
budaya yang terpadu bagi fenomena yang digambarkan.
Sistem nilai budaya merupakan
inti kebudayaan, sebagai intinya ia akan mempengaruhi dan menata elemen-elemen
yang berada pada struktur permukaan dari kehidupan manusia yang meliputi
perilaku sebagai kesatuan gejala dan benda-benda sebagai kesatuan material.
Sistem nilai budaya terdiri dari konsepsi-konsepsi yang hidup dalam alam
pikiran sebagian besar warga masyarakat, mengenai hal-hal yang harus mereka
anggap amat bernilai dalam hidup. Karena itu, suatu sisitem nilai budaya
biasanya berfungsi sebagai pedoman tertinggi bagi kelakuan manusia.
Dapat disimpulkan dari pendapat
tersebut sistem nilai budaya menempatkan pada posisi sentral dan penting dalam
kerangka suatu kebudayaan yang sifatnya abstrak dan hanya dapat diungkapkan
atau dinyatakan melalui pengamatan pada gejala-gejala yang lebih nyata seperti
tingkah laku dan benda-benda material sebagai hasil dari penuangan
konsep-konsep nilai melalui tindakan berpola. Adapun nilai-nilai budaya yang
terkandung dalam novel dapat diketahui melalui penelaahan terhadap
karakteristik dan perilaku tokoh-tokoh dalam cerita.
2.3. Pendidikan Karakter Bangsa
2.3.1 Nilai Religius
Religius adalah kata kerja yang
berasal dari kata religion. Bertens (2007:140) menjelaskan pengertian nilai melalui
cara memperbandingkannya dengan fakta. Fakta menurutnya adalah sesuatu yang
ada atau berlangsung begitu saja. Sementara nilai adalah sesuatu yang berlaku,
sesuatu yang memikat atau menghimbau kita. Fakta dapat ditemui dalam konteks
deskripsi semua unsurnya dapat dilukiskan satu demi satu dan uraian itu
pada prinsipnya dapat
diterima oleh semua
orang. Nilai berperanan dalam
suasana apresiasi atau
penilaian dan akibatnya sering
akan dinilai secara berbeda oleh orang banyak. Nilai selalu berkaitan
dengan penilaian seseorang, sementara
fakta menyangkut ciri-ciri obyektif saja.
Dengan demikian, nilai
adalah sesuatu yang subjektif, sesuatu yang dianggap benar, berlaku dalam
kelompok masyarakat tertentu yang berkaitan dengan hak manusia sebagai
individu.
Menurut Tim
Penyusun KBBI (2008:1286) relegi bermakna ‘kepercayaan akan adanya Tuhan’,
sedangkan relegius bermakna ‘taat
agama’. Dasuki (2011) mendefinisikan nilai-nilai religius sebagai sesuatu yang menempati peringkat yang
sangat tinggi dalam kehidupan seorang yang beradab. Dikatakan demikian karena
nilai-nilai religius berkaitan dengan kebenaran Ilahi
yang bersifat absolut dan universal yang berangkat dari dan
bermuara pada hak asasi manusia yang paling asasi, yaitu hubungan seseorang
dengan Penciptanya.
Sesungguhnya nilai religius tidak semata
berkaitan dengan kehidupan ritual keagamaan seseorang, tetapi tercermin juga
dalam kehidupan sehari-hari seperti menjunjung tinggi nilai-nilai luhur
tertentu, seperti kejujuran, keikhlasan, kesediaan
berkorban, kesetiaan dan lain sebagainya.
Nilai-nilai religius merupakan nilai yang
dapat mendorong manusia selalu dapat mengontrol kehidupannya. Sebab dengan
nilai relegius seseorang akan merasa semua perbuatannya diawasi oleh Sang
pencipta.
Sedangkan Kemendiknas (2010:9) menjelaskan indikator
religius sebagai sikap dan perilaku yang patuh dalam melaksanakan ajaran agama
yang dianutnya, toleran terhadap pelaksanaan ibadah agama lain, dan hidup rukun
dengan pemeluk agama lain.
2.3.2 Nilai Kejujuran
Kejujuran merupakan kualitas manusiawi melalui mana
manusia mengomunikasikan diri dan bertindak secara benar (truthfully).
Karena itu, kejujuran sesungguhnya berkaitan erat dengan nilai kebenaran,
termasuk di dalamnya kemampuan mendengarkan, sebagaimana kemampuan berbicara,
serta setiap perilaku yang bisa muncul dari tindakan manusia. Secara sederhana,
kejujuran bisa diartikan sebagai sebuah kemampuan untuk mengekpresikan
fakta-fakta dan keyakinan pribadi sebaik mungkin sebagaimana adanya. Sikap ini
terwujud dalam perilaku, baik jujur terhadap orang lain maupun terhadap diri
sendiri (tidak menipu diri), serta sikap jujur terhadap motivasi pribadi maupun
kenyataan batin dalam diri seorang individu (Galus:2011)
Kualitas kejujuran seseorang meliputi seluruh perilakunya,
yaitu, perilaku yang termanifestasi keluar, maupun sikap batin yang ada di
dalam. Keaslian kepribadian seseorang bisa dilihat dari kualitas kejujurannya.
Konsep tentang kejujuran bisa membingungkan dan
mudah dimanipulasi karena sifatnya yang lebih interior. Perilaku jujur mengukur
kualitas moral seseorang di mana segala pola perilaku dan motivasi tergantung
pada pengaturan diri (self-regulation) seorang individu (Galus:2011)
2.3.3 Nilai Toleransi
Halim
(2008) dalam arikel
yang berjudul “Menggali
Oase Toleransi”, menyatakan “Toleransi berasal dari bahasa Latin, yaitu tolerantia, berarti kelonggaran, kelembutan hati, keringanan, dan
kesabaran”. Secara umum, istilah ini mengacu pada sikap terbuka, lapang dada,
sukarela, dan kelembutan. United Nations Educational,Scientific and Cultural Organization (UNESCO)
mengartikan toleransi sebagai sikap “saling
menghormati, saling menerima,
dan saling menghargai
di tengah keragaman budaya, kebebasan berekspresi, dan karekter
manusia”. Untuk itu, toleransi harus didukung oleh cakrawala pengetahuan yang
luas, bersikap terbuka, dialog,
kebebasan berfikir dan beragama. Singkatnya toleransi setara dengan bersikap
positif dan menghargai
orang lain dalam
rangka menggunakan kebebasan
asasi sebagai manusia. Ada dua
model toleransi, yaitu : Pertama, toleransi pasif, yakni sikap
menerima perbedaan sebagai sesuatu yang
bersifat faktual. Kedua, toleransi aktif, melibatkan diri dengan yang
lain ditengah perbedaan dan keragaman. Toleransi aktif merupakan ajaran semua
agama. Hakikat toleransi adalah hidup berdampingan secara damai dan saling
menghargai di antara keragaman.
Di Indonesia, praktik toleransi mengalami pasang
surut. Pasang surut ini dipicu oleh
pemahaman distingtif yang
bertumpu pada relasi
“mereka” dan “kita”.
Tak pelak, dalam berbagai
diskursus kontemporer, sering dikemukakan bahwa, radikalisme, ekstremisme,
dan fundamentalisme merupakan
baju kekerasan yang ditimbulkan oleh
pola pemahaman yang
eksklusif dan antidialog
atas teks-teks keagamaan. Seluruh
agama harus bertanggung jawab untuk
mewujudkan keadilan dan kedamaian. Hal
ini tidak akan
tercapai hanya dengan mengandalkan
teologi eksklusif yang hanya berhenti pada klaim kebenaran, tetapi membutuhkan teologi pluralisme yang
berorientasi pada pembebasan.
Toleransi yang dimaksudkan dalam tulisan ini adalah: sikap saling menghormati, saling
menghargai, dan saling menerima ditengah keragaman budaya, suku, agama dan
kebebasan berekspresi. Dengan adanya sikap toleransi, warga suatu komunitas
dapat hidup berdampingan secara damai, rukun, dan bekerja sama dalam mengatasi
berbagai permasalahan yang terjadi di lingkungannya.
2.3.4 Nilai Kedisiplinan
Kedisiplinan berasal dari kata "disiplin"
yang berarti taat,yang mendapat imbuhan ke-an yang secara etimologis memiliki
makna,suatu ketaatan pada aturan dan tata tertib. Sedang secara terminologis
pengertian disiplin sangatlah bervariasi tergantung dari sudut mana parapakar
atau ahli meninjaunya.
Disiplin berasal dari kata dicipulus yang
berarti “student” atau “pupil” (Mc
Phil,1982:130). Yang berarti seseorang yang menerima
intruksi dari yang
lain, khususnya seseorang
yang menerima intruksi dari
gurunya yang membantu
perkembangan atau diartikan
sebagai pengikut (follower) berhubungan dengan
control seseorang berdasarkan
pada otoritas luar
yang biasanya dilakukan secara terpaksa atau karena takut hukuman (punishment).
2.3.5 Nilai Tanggung Jawab
Makna dari istilah
“tanggung jawab” adalah “siap menerima kewajiban atau tugas”. Arti
tanggung jawab di atas semestinya sangat mudah untuk dimengerti oleh setiap
orang. Tetapi jika kita diminta untuk melakukannya sesuai dengan definisi
tanggung jawab tadi, maka seringkali masih merasa sulit, merasa keberatan,
bahkan ada orang yang merasa tidak sanggup jika diberikan kepadanya suatu
tanggung jawab. Kebanyakan orang
mengelak bertanggung jawab, karena jauh lebih mudah untuk “menghindari”
tanggung jawab, daripada “menerima” tanggung jawab.
Tanggung jawab menurut kamus umum Bahasa Indonesia
adalah, keadaan wajib menanggung segala sesuatunya.Tanggung jawab adalah
kesadaran manusia akan tingkah laku atau perbuatannya yang disengaja maupun
yang tidak di sengaja. Tangung jawab juga berarti berbuat sebagai perwujudan
kesadaran akan kewajibannya.
2.3.6 Nilai Persahabatan
Persahabatan atau pertemanan
adalah istilah yang menggambarkan perilaku kerja sama dan saling mendukung
antara dua atau lebih entitas sosial. Dalam pengertian ini, istilah
"persahabatan" menggambarkan suatu hubungan
yang melibatkan pengetahuan, penghargaan
dan afeksi.
Sahabat akan menyambut kehadiran sesamanya dan menunjukkan kesetiaan satu sama lain,
seringkali hingga pada altruisme. selera mereka biasanya
serupa dan mungkin saling bertemu, dan mereka menikmati kegiatan-kegiatan yang
mereka sukai. Mereka juga akan terlibat dalam perilaku
yang saling
menolong, seperti tukar-menukar nasihat dan saling menolong dalam
kesulitan. Sahabat adalah orang yang memperlihatkan perilaku yang berbalasan
dan reflektif. Namun bagi banyak orang, persahabatan seringkali tidak lebih
daripada kepercayaan bahwa seseorang atau sesuatu tidak akan merugikan atau
menyakiti mereka.
2.3.7 Nilai Kreatif
Menurut
NACCCE (National Advisory
Committee on Creative
and Cultural Education)
(dalam Craft, 2005), kreativitas adalah aktivitas imaginatif yang menghasilkan
hasil yang baru dan bernilai.
Selanjutnya Feldman (dalam Craft, 2005) mendefinisikan kreativitas adalah: “the
achievement of something remarkable and new, something which transforms and
changes a field of endeavor in a significant way . . . the kinds of things that
people do that change the world.”
Menurut Munandar (1985), kreativitas adalah kemampuan
untuk membuat kombinasi baru,
berdasarkan data, informasi atau unsur-unsur yang ada. Hasil yang diciptakan
tidak selalu hal-hal yang baru, tetapi juga dapat berupa gabungan (kombinasi) dari
hal-hal yang sudah ada sebelumnya. Guilford
dalam Munandar (2009)
menyatakan kreativitas merupakan kemampuan berpikir
divergen atau pemikiran
menjajaki bermacam-macam
alternatif jawaban terhadap suatu
persoalan, yang sama benarnya.
2.3.8 Nilai Kemandirian
Menurut kamus besar edisi ketiga, Kemandirian
didefinisikan sebagai hal atau keadaan dapat berdiri sendiri tanpa bergantung
kepada orang lain.(Dep. Pendidikan Nasional, 2000) dan pengertian lain dari
kemandirian adalah suatu sikap yang ditandai oleh adanya kepercayaan diri.
Kemandirian (independence) merupakan suatu kemampuan
individu untuk mengatur dirinya sendiri dan tidak tergantung kepada orang lain.
Hal yang senada juga diungkapkan oleh Brawer (1973) bahwa kemandirian merupakan
perilaku yang terdapat pada seseorang yang timbul karena dorongan dari dalam
dirinya sendiri, bukan karena pengaruh orang lain. (Aishiteru:2009)
Pendidikan adalah suatu upaya sadar untuk
mengembangkan potensi peserta didik secara optimal. Usaha sadar itu tidak boleh
dilepaskan dari lingkungan peserta didik berada, terutama dari lingkungan
budayanya, karena peserta didik hidup tak terpisahkan dalam lingkungannya dan bertindak sesuai
dengan kaidah-kaidah budayanya. Pendidikan yang tidak dilandasi oleh prinsip
itu akan menyebabkan peserta didik tercerabut dari akar budayanya. Ketika hal
ini terjadi, maka mereka tidak akan mengenal budayanya dengan baik sehingga ia
menjadi orang “asing” dalam lingkungan budayanya. Selain menjadi orang asing,
yang lebih mengkhawatirkan adalah dia menjadi orang yang tidak menyukai
budayanya (Kemendiknas, 2010:3).
Pendidikan adalah suatu proses enkulturasi, berfungsi mewariskan
nilai-nilai dan prestasi masa lalu ke generasi mendatang. Nilai-nilai dan
prestasi itu merupakan kebanggaan bangsa dan menjadikan bangsa itu dikenal oleh
bangsa-bangsa lain. Selain mewariskan, pendidikan juga memiliki fungsi untuk
mengembangkan nilai-nilai budaya dan prestasi masa lalu itu menjadi nilai-nilai
budaya bangsa yang sesuai dengan kehidupan masa kini dan masa yang akan datang,
serta mengembangkan prestasi baru yang menjadi karakter baru bangsa. Oleh
karena itu, pendidikan budaya dan karakter bangsa merupakan inti dari suatu proses pendidikan (Kemendiknas,
2010:4).
Proses pengembangan nilai-nilai
yang menjadi landasan dari karakter itu
menghendaki suatu proses yang berkelanjutan, dilakukan melalui berbagai
mata pelajaran yang ada dalam kurikulum (kewarganegaraan, sejarah, geografi,
ekonomi, sosiologi, antropologi, bahasa Indonesia, IPS, IPA, matematika, agama,
pendidikan jasmani dan olahraga, seni, serta ketrampilan).
Karakter adalah watak, tabiat,
akhlak, atau kepribadian seserang yang terbentuk dari hasil internalisasi
berbagai kebajikan (virtues) yang diyakini dan digunakan sebagai
landasan untuk cara pandang, berpikir, bersikap, dan bertindak. Kebajikan
terdiri atas sejumlah nilai, moral, dan norma, seperti jujur, berani bertindak, dapat dipercaya, dan
hormat kepada orang lain. Interaksi seseorang dengan orang lain menumbuhkan
karakter masyarakat dan karakter bangsa. Oleh karena itu, pengembangan karakter
bangsa hanya dapat dilakukan melalui pengembangan karakter individu seseorang.
Akan tetapi, karena manusia hidup dalam lingkungan sosial dan budaya tertentu,
maka pengembangan karakter individu seseorang hanya dapat dilakukan dalam
lingkungan sosial dan budaya yang bersangkutan. Artinya, pengembangan budaya
dan karakter bangsa hanya dapat dilakukan dalam suatu proses pendidikan yang
tidak melepaskan peserta didik dari lingkungan sosial, budaya masyarakat dan
budaya bangsa. Lingkungan sosial dan budaya bangsa adalah Pancasila; jadi
pendidikan budaya dan karakter bangsa haruslah berdasarkan nilai-nilai
Pancasila. Dengan kata lain, mendidik budaya dan karakter bangsa adalah
mengembangkan nilai-nilai Pancasila pada diri peserta didik melalui pendidikan
hati, watak, dan fisik (Kemendiknas, 2010:5).
Fungsi pendidikan budaya dan karakter
bangsa adalah:
1)
pengembangan:
pengembangan potensi peserta didik untuk menjadi pribadi berperilaku baik; ini
bagi peserta didik yang telah memiliki sikap dan perilaku yang mencerminkan
budaya dan karakter bangsa;
2)
perbaikan: memperkuat kiprah pendidikan nasional untuk bertanggung jawab dalam
pengembangan potensi peserta didik yang lebih bermartabat; dan
3)
penyaring:
untuk menyaring budaya bangsa sendiri dan budaya bangsa lain yang tidak sesuai
dengan nilai-nilai budaya dan karakter bangsa yang bermartabat (Kemendiknas, 2010:6)
Sedangkan tujuan pendidikan
budaya dan karakter bangsa adalah:
1)
mengembangkan
potensi kalbu/nurani/afektif peserta didik sebagai manusia dan warganegara yang
memiliki nilai-nilai budaya dan karakter bangsa;
2)
mengembangkan
kebiasaan dan perilaku peserta didik yang terpuji dan sejalan dengan
nilai-nilai universal dan tradisi budaya bangsa yang religius;
3)
menanamkan
jiwa kepemimpinan dan tanggung jawab peserta didik sebagai generasi penerus
bangsa;
4)
mengembangkan
kemampuan peserta didik menjadi manusia yang mandiri, kreatif, berwawasan
kebangsaan; dan
5)
mengembangkan
lingkungan kehidupan sekolah sebagai lingkungan belajar yang aman, jujur, penuh
kreativitas dan persahabatan, serta dengan rasa kebangsaan yang tinggi dan
penuh kekuatan (dignity). (Kemendiknas, 2010:7)
Nilai-nilai yang dikembangkan dalam pendidikan
budaya dan karakter bangsa diidentifikasi dari sumber-sumber berikut ini: relegius, jujur, toleransi,
disiplin, kerja keras, kreatif, mandiri, demokratis, rasa ingin tahu, semangat
kebangsaan, cinta tanah air, menghargai prestasi, bersahabat/komunikatif, cinta
damai, gemar membaca, peduli lingkungan, peduli sosial, dan tanggung jawab (Kemendiknas, 2010:10-11)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar