Foto Kegiatan

Senin, 25 Februari 2013

Metode Kuantum

PEMBELAJARAN KUANTUM
Pembelajaran kuantum atau Quantum Learning merupakan metode dan falsafah belajar yang dipelopori seorang pendidik berkebangsaan Bulgaria bernama Dr. Georgi Lozanov. Ia merupakan ahli pendidikan yang meneliti tentang apa yang ia sebut sebagai suggestology. Menurutnya,  sugesti dapat dan pasti memengaruhi hasil situasi belajar, dan setiap detail apa pun memberikan sugesti positif dan negatif.  Salah satu upaya yang dilakukan  Dr. Georgi Lozanov dalam riset ini ialah menerapkan pembalajaran pada sebuah perkemahan yang disebutnya dengan istilah SuperCamp (DePorter, 1999: 14).
Berdasarkan penelitian di SuperCamp antara tahun 1983-1989 diperoleh informasi bahwa Quantum Learning dapat meningkatkan hasil belajar dengan peningkatan 97%. Data tersebut diperoleh dari 6.042 siswa lulusan SuperCamp usia 12-22 tahun (DePorter, 1999: 14).
Berdasarkan Quantum Learning, lahirlah istilah Quantum Teaching. Quantum Teaching merupakan strategi belajar diciptakan berdasarkan teori-teori pendidikan seperti Accelerated Laerning, Multipel Intelligences, Neuro Linguistic Programming, Cooperative Learning, dan lain-lain (DePorter, 2010: 32).
Sehubungan dengan Quantum Teaching,  Hamid (2011: 102) berpendapat  Quantum Teaching menunjukkan kepada kita cara untuk menjadi guru yang baik. Quantum Teaching mencoba menguraikan cara-cara baru yang memudahkan proses belajar melalui perpaduan unsur seni dan pencapaian-pencapaian terarah pada setiap mata pelajaran yang diajarkan.
Selanjutnya DePorter (1999: 14) mendefinisikan quantum learning sebagai interaksi-interaksi yang mengubah energi menjadi cahaya. Mereka mengamsalkan kekuatan energi sebagai bagian penting dari tiap interaksi manusia. Dengan mengutip rumus klasik E = mc2, mereka alihkan ihwal energi itu ke dalam analogi tubuh manusia yang “secara fisik adalah isi”. Sebagai pelajar, tujuan pelajar adalah meraih sebanyak mungkin cahaya: interaksi, hubungan, inspirasi agar menghasilkan energi cahaya. Pada kaitan inilah, quantum learning menggabungkan sugestologi, teknik pemercepatan belajar dengan teori, keyakinan, dan metode tertentu. Termasuk konsep-konsep kunci dari teori dan strategi belajar, seperti: teori otak kanan/kiri, teori otak triune (3 in 1), pilihan modalitas (visual, auditorial, dan kinestetik), teori kecerdasan ganda, pendidikan holistik, belajar berdasarkan pengalaman, belajar dengan simbol (metaphoric learning), simulasi/permainan (Kurnia, 2008: 3)
Pendapat di atas menunjukkan bahwa pembelajaran kuantum merupakan metode yang baik, maka guru akan menjadi pengajar yang baik pula. Selain itu pembelajaran kuantum merupakan pembelajaran yang memadukan unsur seni dalam pembelajaran. Dari sisi hasil belajar, dengan menggunakan pembelajaran ini diharapkan dapat meningkatkan pestasi siswa.

1)   Prinsip-Prinsip dalam Pembelajaran Kuantum
Pada dasarnya pembelajaran kuantum merupakan pendekatan pembelajarn yang memadukan unsur seni dalam interaksi guru dan siswa untuk mempercepat kesuksesan belajar siswa.  Untuk kepentingan hal tersebut dibutuhkan unsur-unsur yang dapat memengaruhi hasil belajar siswa.  Dalam  hal ini terdapat lima prinsip utama  yang dianut dalam pembelajaran ini. Adapun prinsip tersebut adalah a) segalanya berbicara, b) segalanya bertujuan, c) pengalaman sebelum pemberian nama, d) akui setiap usaha, e) jika layak dipelajari, maka layak pula dirayakan (DePorter, 2010: 36-37).  Penjelasan lima unsur tersebut sebagai berikut.
a)   Segalanya Berbicara
Yang dimaksud dengan segalanya bicara dalam prinsip ini adalah semua hal yang ada  dalam kelas mengirim pesan tentang belajar. DePorter (2010: 36) menjelaskan bahwa segala dari lingkungan kelas hingga bahasa tubuh guru, kertas, hingga rancangan pembelajaran guru mengandung pesan untuk kepentingan pembelajaran.
b)   Segalanya Bertujuan
Maksud segalanya bertujuan adalah segala perubahan yang dilakukan guru memiliki tujuan untuk kepentingan pembelajaran. Hamid (2011: 102) menafsirkan hal tersebut sebagai perubahan yang terjadi dalam pembelajaran kuantum mengandung tujuan tertentu untuk meningkatkan kualitas pengajaran. Hal tersebut disebabkan dalam proses interaksi belajar mengajar guru memiliki peranan penting menciptakan situasi yang kondusif dan efektif untuk menciptakan tercapainya tujuan pembelajaran. Guru tidak cukup mengetahui bahan pembelajaran, tetapi harus mengetahui filosofi dan didaktiknya sehingga mampu memotivasi dalam interaksi dengan peserta didik. Setiap proses dalam interaksi pendidikan  harus ada tujuan yang ingin dicapai (Sardiman, 2011: 13).
c)   Pengalaman Sebelum Pemberian Nama
Hamid (2011: 103) menafsirkan hal tersebut dengan memberikan penjelasan bahwa proses pembelajaran yang paling baik terjadi jika para siswa telah memiliki informasi atau pengalaman sebelum mereka mempelajari suatu isi pelajaran. Sebab pada dasarnya  otak akan berkembang dan menggerakkan rasa ingin tahunya. Hal tersebut senada dengan konsep pembelajaran kontruktivisme yang menganggap bahwa belajar sebagai hasil kontruksi mental. Maksudnya para siswa belajar dengan cara mencocokkan informasi baru  yang mereka peroleh bersama-sama dengan apa yang mereka ketahui (Asrosi, 2007: 28). Oleh karena itu proses belajar paling baik terjadi ketika siswa telah mengalami informasi sebelum mereka memperoleh nama untuk apa yang mereka pelajari.
d)   Akui Setiap Usaha
Belajar mengandung risiko. Belajar berarti melangkah keluar dari kenyamanan. Pada saat siswa mengambil langkah ini, mereka patut mendapat pengakuan atas kecakapan dan kepercayaan diri mereka (DePorter, 2010: 37). Hal ini berarti guru telah menjadi guru yang berfungsi sebagai motivator. Dengan motivasi dari guru siswa akan terdorong melakukan kegiatan atau pekerjaan belajar. Makin tepat motivasi yang diberikan guru, makin berhasil usaha siswa dalam belajar. Dengan demikian motivasi menentukan  intensitas usaha belajar siswa. Pengakuan setiap usaha yang dilakukan oleh siswa merupakan salah satu bentuk motivasi belajar.
e) Jika Layak Dipelajari, maka Layak Pula Dirayakan
Perayaan merupakan umpan balik mengenai kemajuan dan meningkatkan asosiasi positif siswa (DePorter, 2010: 37).  Menurut Hamid (2011: 103) telah terbukti bahwa suatu perayaan mempu memberikan umpan balik terhadap kemajuan untuk meningkatkan asosiasi positif dalam belajar.

2)   Sintaks dalam Pembelajaran Kuantum
Pada dasarnya langkah-langkah (sintaks) pembelajaran kuantum dibagi menjadi dua seksi utama yaitu konteks dan isi. Dari sisi konteks pembelajar kuantum bertujuan menggugah a) suasana yang memberdayakan, b) landasan yang kukuh, c) lingkungan yang mendukung, d) rancangan belajar yang dinamis. Sedangkan dari sisi isi pembelajaran kuantum dapat dipakai pada penyampaian kurikulum apa pun, disamping strategi yang dibutuhkan siswa untuk bertanggung jawab atas apa yang mereka pelajari (DePorter, 2010: 38). Dengan demikian sintaks pembelajaran kuantum bersifat fleksibel.
Adapun sintaks tersebut oleh DePorter (2010: 39) diberi nama Tandur. Tandur merupakan kepanjangan dari Tumbuhkan, Alami, Namai, Demonstrasikan, Ulangi, dan Rayakan.
a)   Tumbuhkan, maksudnya menumbuhkan minat siswa dengan cara memuaskannya. DePorter (1999: 48) menjelaskan teknik menciptakan minat belajar adalah dengan menemukan apa yang disebutnya sebagai Ambak yaitu kepanjangan dari Apa  Manfaatnya Bagiku. Ambak adalah motivasi yang didapat dari pemeliharaan secara mental dan akibat-akibat suatu keputusan. Artinya ketika akan belajar seharusnya ditanyakan apakah isi yang akan dipelajari bermanfaat untuk pebelajar. Manfaat tersebut mungkin saja berbeda bagi setiap individu.  Strategi yang dapat dipakai untuk menumbuhkan antara lain dengan membuat pertanyaan, pantomim, lakon pendek dan lucu, drama, video, dan cerita (DePorter, 2010: 129).
b)   Alami, maksudnya menciptakan atau mendatangkan pengalaman yang dapat dimengerti oleh semua siswa (DePorter, 2010: 39). Unsur  ini memberikan pengalaman kepada siswa, pengalaman dapat menuntun siswa untuk memanfaatkan pengetahuan dan keingintahuan mereka. Strategi yang dapat dipakai untuk tahap ini permainan, simulasi dan lain-lain (DePorter 2010: 130).
c)   Namai, maksudnya memanai kegiatan yang akan dilakukan selama proses belajar mengajar dengan menyediakan kata kunci, konsep, model, rumus, strategi, dan masukan (DePorter, 2010: 39). Hal ini penting sebab penamaan memuaskan hasrat alami otak untuk memberikan indentitas, mengurutkan, dan mendefinisikan. Penamaan dibangun di atas pengetahuan  dan keingintahuan siswa. Pada tahap ini guru dapat mengajarkan konsep, keterampilan berpikir, dan strategi belajar. Strategi yang dapat dipakai dalam penamaan antara lain menggunakan susunan gambar, warna, alat bantu, kertas tulis, dan poster (DePorter, 2010: 131).
d)   Demonstrasikan, maksudnya menyediakan kesempatan bagi siswa untuk menunjukkan atau mendemonstrasikan bahwa ia mangetahui atau menguasai suatu hal (DePorter, 2010: 39). Hal ini penting sebab tahap ini dapat memberi peluang kepada siswa untuk menterjemahkan dan menerapkan pengetahuan mereka ke dalam pembelajaran dan ke dalam kehidupan mereka. Pertanyaan yang dapat menuntun tahap ini adalah dengan cara apa siswa dapat  memperagakan kecakapan mereka dengan pengetahuan yang baru. Sedangkan strategi yang dapat dipakai adalah sandiwara, video, permainan, lagu, penjabaran dalam grafik dan lain sebagainya (DePorter, 2010: 132).
e)   Ulangi, maksudnya mengulang kembali apa yang telah disampaikan pada tahap demonstrasi. Hal ini di pakai untuk menegaskan apa saja yang telah dikuasahi oleh siswa dalam pembelajaran (Hamid, 2011: 108). Sedangkan menurut DePorter (2010: 133), pengulangan dapat memperkuat koneksi saraf dan menumbuhkan rasa kepercayaan diri pada siswa bahwa mereka telah mengetahui segala sesuatu yang telah dipelajarinya saat itu. Strategi yang dapat dipakai dalam tahap ini antara lain 1) draf isian buku “aku tahu bahwa aku tahu'', menirukan perkataan guru,ahli, tokoh; menyebut sesuatu (isi yang telah dipelajari), bertepuk dan mengucapkan ''ya aku bisa'' dan lain sebagainya (DePorter, 2010: 133).
f)   Rayakan, maksudnya, merayakan keberhasilan yang sudah dilakukan siswa dalam pembelajaran. Hal ini dilakukan untuk memberikan pengakuan atas partisipasi siswa dan pemerolehan ketrampilan siswa (Hamid, 2011: 109). Strategi yang dilakukan dalam tahap ini adalah memberi pujian, bernyanyi bersama, pesta kelas dan lain sebagainya (DePorter, 2010: 137).

3)   Pemanfaatan Modalitas Belajar dalam Pembelajaran Kuantum
Hamid (2011: 84) menyinonimkan kata modalitas dengan gaya belajar. Lebih lanjut, Hamid (2011: 84) menjelaskan, gaya belajar adalah  cara siswa menyerap, dan mengelola informasi baru. Oleh karena itu hendaknya para guru  menyadari bahwa setiap siswa mempunyai cara sendiri yang optimal dalam mempelajari informasi baru. Pengetahuan memahami cara belajar siswa tersebut membantu mendekati para siswa.
DePorter (1999: 110) mengemukakan faktor-faktor seseorang memiliki gaya belajar tertentu.  Faktor-faktor tersebut adalah a) fisik siswa, b) emosional siswa, c) sosiologis siswa, dan d) lingkungan siswa. Faktor fisik yang memengaruhi gaya belajar siswa adalah kondisi pendengarannya, atau kondisi penglihatannya. Seorang siswa dengan pendengaran yang kurang baik, ia akan cenderung menggunakan penglihatannya untuk menyerap informasi. Seseorang yang dibesarkan di lingkungan suka membaca akan berbeda cara belajarnya dengan seseorang yang dibesarkan di lingkungan yang suka mendengar. Ada juga orang yang suka belajar dengan cara mendengarkan musik, sebab ia sejak kecil bargaul dengan lingkungan yang menyukai musik.
Menurut DePorter (1999: 112) terdapat tiga modalitas atau gaya belajar siswa. Tiga modalitas tersebut adalah pelajar visual, pelajar audiotorial, dan pelajar kinestetik. Pelajar visual adalah pelajar yang dapat belajar dengan baik jika menggunakan indera penglihatan. DePorter (1999: 116) menjelaskan ciri-ciri seorang pelajar visual antara lain 1) rapi dan teratur, 2) berbicara dengan cepat, 3) perencana dan pengatur jangka panjang yang baik, 4) teliti terhadap detail, 5) mementingkan penampilan, baik dalam hal pakaian maupun presentasi, 6) pengeja yang baik dan dapat melihat kata-kata yang sebenarnya dalam pikiran mereka, 7) mengingat apa yang dilihat daripada apa yang didengar, 8) mengingat dengan asosiasi visual, 9) biasanya tidak terganggu oleh keributan, 10) mempunyai masalah untuk mengingat intruksi verbal kecuali jika ditulis, dan sering kali minta bantuan orang untuk mengulanginya, 11) pembaca cepat dan tekun, 12) lebih suka membaca dari pada dibacakan, 13) membutuhkan pandangan dantujuan yang menyeluruh dan bersikap waspada sebelum secara mental merasa pasti tentang suatu masalah atau proyek, 14) mencoret-coret tanpa arti selama berbicara di telepon dan dalam rapat, 15)  lupa menyampaikan pesan verbal kepada orang lain, 16) sering menjawab pertanyaan dengan jawaban singkat ya atau tidak, 17) lebih suka melakukan demonstrasi dari pada berpidato, 18) lebih suka seni dari pada musik, 19) sering kali mengetahui apa yang harus dikatakan tapi tidak pandai memilih kata-kata, 20) kadang-kadang kehilangan konsentrasi ketika mereka ingin memerhatikan.
Pelajar auditorial adalah pelajar yang dapat belajar dengan baik melalui indera pendengarannya. DePorter (1999: 118) menjelaskan ciri-ciri seorang pelajar auditorial antara lain 1) berbicara kepada diri sendiri saat bekerja, 2) mudah terganggu oleh keributan, 3) menggerakkan bibir mereka dan megucapkan tulisan di buku ketika membaca, 4) senang membaca dengan keras dan mendengarkan, 5) dapat mengulangi kembali dan menirukan nada, birama dan warna suara, 6) merasa kesulitan untuk menulis, tetapi hebat dalam bercerita, 7) berbicara dengan irama yang terpola, 8) biasanya pembicara yang fasih, 9) lebih suka musik dari pada seni, 10) belajar dengan mendengarkan dan mengingat apa yang didiskusikan dari pada yang dilihat, 11) suka berbicara, berdiskusi, dan menjelaskan sesuatu panjang lebar, 12) mempunyai masalah dengan pekerjaan-pekerjaan yang melibatkan  visualisasi, 12) lebih pandai mengeja dengan keras dari pada menuliskannya, 13) lebih suka gurauan lisan dari pada membaca komik.
Pelajar pelajar kinestetik adalah pelajar yang dapat belajar dengan baik jika menggunakan  gerakan atau sentuhan. DePorter (1999: 118-119) menjelaskan ciri-ciri seorang pelajar kinestetik antara lain 1) berbicara dengan perlahan, 2) menanggapi perhatian fisik, 3) menyentuh orang untuk mendapatkan perhatian orang, 4) berdiri dekat ketika berbicara dengan orang, 5) selalu berorientasi pada fisik dan banyak bergerak, 6) mempunyai perkembangan awal otot-otot yang besar, 7) belajar melalui manipulasi    dan praktik, 8) menghafal dengan cara berjalan dan melihat, 9) menggunakan jari sebagai petunjuk  ketika membaca, 10) banyak mnggunakan isyarat tubuh, 11) tidak dapat duduk diam dalam waktu yang lama, 12) tidak dapat mengingat geografi kecuali jika mereka memang telah pernah berada di tempat itu, 13) menggunakan kata-kata yang mengandung aksi, 14) menyukai buku-buku yang berorientasi pada plot, 15) kemungkinan tulisannya jelek, 16) ingin melakukan segala sesuatu, 17) menyukai permainan yang menyibukkan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

COACHING DALAM PENDIDIKAN

A. Pendahuluan            Senin, 1 Februari 2021 merupakan hari bersejarah bagi pendidikan Indonesia. Pada hari itu Menteri Pendidikan dan K...