Foto Kegiatan

Minggu, 22 Juli 2012

KUMPULAN LEGENDA TERBENTUKNYA GOA



Asal Usul Goa Pindul
Asal-usul Nama Goa Pindul sendiri berasal dari kisah perjalanan Ki Juru Mertani dan Ki Ageng Pemanahan yang dutus oleh Panembatan Senopati di Mataram untuk membunuh bayi laki-laki buah cinta putri Panembatan senopati yaitu Mangir Wonoboyo dari Mangiran (Bantul). Dalam perjalanannya, kedua abdi itu sepakat untuk tidak membunuh sang bayi, keduanya lalu pergi lalu pergi kearah timur (arah Gunungkidul) hingga tiba disuatu dusun didaerah Karangmojo.
Disana keduanya menggelar tikar dan alas tempat tidur bekas persalinan sang bayi kemudian menguburnya. Dusun tersebut dinamakan dusun Gelaran. Sementara itu sang bayi terus saja menangis, kedua utusan itu pun memutuskan untuk memandikan sang bayi. Ki Juru Mertani naik kesalah satu bukit dan menginjak tanah di puncak bukit, dengan kesaktiannya tanah yang diinjakpun runtuh dan mengangalah sebuah lubang besar dengan aliran air dibawahnya.
Sang bayi kemudian dibawa turun dan dimandikan di dalam goa dilubang tadi. Saat dimandikan, pipi sang bayi terbentur (jawa : kebendhul) batu yang ada didalam. Karena peristiwa tersebut akhirnya goa itu dinamakan Goa Pindul.
Goa pindul diresmikan sebagai objek wisata alam oleh almarhum Sumpeno Putro, Bupati Gunungkidul, pada tanggal 10 oktober 2010 bertepatan dengan fam tour pejabat kabupaten Gunungkidul.


CERITA RAKYAT REMBANG

Pada zaman dahulu, daerah Rembang Jawa Tengah pernah terjadi kekeringan yang panjang.Sungai-sungai kering. Orang desa berkumpul untuk berunding mencari jalan keluar. Salah satu penduduk mengusulkan agar menemui Kiai Mojo Agung di Tuban. Beliau dikenal sebagai kiai yang saleh.
Akhirnya seluruh penduduk memutuskan untuk memohon bantuan Kiai Mojo Agung. Mereka menyampaikan maksud kedatangan dan Kiai Mojo Agung menyanggupi dan akan datang sendiri ke Rembang.
Pada suatu hari dinantikan, Kiai Mojo Agung datang. Penduduk yang tampak miskin menyambut kedatangan Kiai MojoAgung.Hati Kiai Mojo Agung terharu menyaksikan keadaan penduduk. Lalu ia tancapkan tongkat besi ke tanah. Ia mulai berdoa. Ia berdoa cukup lama. Selesai berdoa, Kiai mengangkat kepalanya memandang berkeliling. Terdengar suaranya berkumandang.
“Akan datang air dan kura-kura.”
Dengan penuh keheranan,rakyat Rembang menyaksikan gunung batu karang tiba-tiba merekah dan dari guamengalir air jernih.Dalam air itu berenang ikan dan kura-kura.Rakyat Rembang berlutut di hadapan kiai.
Rakyat senang dan memanfaatkan air itu.Kiai MojoAgung membuat tandaberupa gambar sebuah gunung pada dinding gua.Hanya air yang keluar dari gua yang boleh dipergunakan.Selesai itu Kiai Mojo Agung memegang tongkatnya lalu pulang ke Tuban.
Hingga saat ini air dalam gua tersebut dianggap keramat oleh penduduk Rembang.Para orangtua menceritakan mukjizat yang dibuat Kiai Mojo Agung demi menolong rakyat Rembang.


Sumber : http://sunarno.co.cc/id/?p=44




LEGENDA TERBENTUKNYA GUA MAMPU


            Jangan pernah mengancungkan telunjukmu ke muka seseorang. Sebab kamu akan mengalami nasib yang sama dengan penduduk sebuah desa purba dikaki Gunung Mampu. Desa yang terletak di Kabupaten Bone, belahan timur propinsi Sulawesi Selatan. Desa purba itu kini telah punah. Seluruh penduduknya mati menggenaskan kena kutuk dewa. Bagaimana kisahnya ? mari kita ikuti bersama :
           Kokok ayam jantan berkumandang. Pagi menjelang. Satu-persatu penduduk desa purba keluar rumah menuju sawahnya masing-masing. Hawa dingin menusuk tulang. Kicau burung bersahutan. Areal persawahan terhampar luas dibawah bayang Gunung Mampu yang tinggi menjulang. Anak beranak berjalan beriringan menyusur pematang. Dalam sekejap rumah-rumah di desa purba menjadi senyap. Dimusim tanam padi seperti ini, orang malu berdiam dirumah. Kecuali disebuah rumah panggung diujung jalan desa tepat ditepi hutan. Dengan malas, Lapute beranjak dari pembaringannya. Ayah ibunya sudah berangkat kesawah. Bahkan kini di desa tersebut, tinggal dia satu-satunya manusia yang masih berada dirumahnya pagi itu.  
            Aaaaahhgggg…. ! Lapute menguap.
            Ia berjalan menuju perigi untuk mandi. Selanjutnya bersalin pakaian dan berdandan. Rutinitas yang dilakoninya setiap hari. Lapute sadar betul dengan anugerah kecantikan wajah dan kemolekan tubuh yang dianugerahkan Tuhan kepadanya. Maka dari itu, ia merasa wajib untuk menjaganya. Tepatnya menonjolkan kelebihannya itu.
            Lapute adalah kembang desa Purba. Ia ibarat tumbuhan yang hijau segar daunnya, merah merona bunganya dan harumnya berhembus dibawa angin kemana-mana.  Lapute adalah gadis yang tengah berada dipuncak pesona. Bibirnya bak gunung berkawah cekung. Lentik matanya seolah mampu menahan sebatang lidi untuk tidak jatuh bila diletakkan diatasnya. Tapi sayang, sayang seribu sayang. Seperti tipikal seluruh penduduk desa purba pada umumnya, Lapute juga memiliki sifat deging. Egois dan berkepala batu.
            Bukan rahasia lagi diseantero jazirah bugis kala itu. Penduduk desa purba terkenal dengan tabiat kepala batunya. Jangan sekali-kali mengajak mereka berdebat tentang sesuatu hal. Bila pun terpaksa, usahakan menjaga jarak dari mereka paling kurang dua langkah kaki rusa yang tengah dikejar macan.
Kawan, penduduk desa Purba jika berdebat dengan orang lain begitu gemar mengancungkan telunjuknya kepada lawan bicaranya. Telunjuk itu mengayun serupa kapak membelah kayu ke jidat orang. Berkali-kali, tanpa henti. Maka pada zaman itu, desa-desa lainnya segan menaruh persolan dengan penduduk desa purba.
Matahari sudah hampir sejajar dengan kepala. Lapute berhenti mematut-matut dirinya didepan cermin. Sebentar lagi ibunya pulang untuk memasak, sebelum kembali lagi kesawah membawa bekal makan siang untuk ayahnya. Lapute tak mau ibunya menyaksikannya berlaku malas.
Ia kemudian menggelar alat tenunnya. Bersiap menyelesaikan sehelai kain yang cukup untuk dijadikan dua lembar sarung buat ibu bapaknya. Ia telah berjanji kepada mereka akan menyelesaikan tenunan itu. Janji sekaligus alasan yang membebaskannya dari keharusan bekerja disawah seperti teman-teman gadisnya yang lain. Pekerjaan sawah membuat kulit mereka gosong. Kuku-kuku berubah hitam dan rambut kering berantakan. Lapute secara teliti mengukur waktu kerjanya, agar tenunannya selesai bersamaan dengan berakhirnya musim tanam. Dengan begitu tak ada alasan kedua orangtuanya untuk memaksa ia membantu mereka disawah.
Selain cantik, Lapute rupanya juga seorang gadis yang cerdik.
Rutinitas Lapute itu tak berubah. Berlansung hari demi hari dimusim tanam itu. Sama seperti hari ini. Matahari bersinar garang. Membuat hawa didalam rumah berubah gerah. Lapute pun memindahkan alat tenunnya keteras rumah. Dimana angin bertiup semilir menyejukkan. Hawa sejuk pelan-pelan mengusap wajahnya. Kepala Lapute terantuk-antuk menahan kantuk. Tak sadar ia tertidur. Didalam tidurnya tanpa sengaja ia menendang jatuh alat tenunnya ketanah
Lapute terbangun dari tidurnya mendengar suara alat tenunnya menimpa tanah.
Aiiiiiihhhhh… keluhnya dalam hati.
Rasa kantuk yang tersisa menahan niatnya untuk turun ketanah mengambil alat tenunnya kembali. Dengan tetap berbaring seperti semula, Lapute memilih untuk berteriak meminta bantuan orang lain. Siapa tahu ada orang lewat yang mendengarnya.
“ Oeeeeeeee !!! tolong ambilkan alat tenunku dibawah rumah ! “ teriak Lapute
Lapute mengulang sampai tiga kali teriakannya. Hatinya kesal karena tak sebatang hidung pun terlihat datang untuk memenuhi permintaannya. Dengan nada main-main ia pun mengulang teriakannya. Kali ini ia mencoba menawarkan hadiah kepada orang yang bisa menolongnya. Ia sendiri tak serius dengan janjinya itu. Namun apa salahnya dicoba ? Siapa tahu berhasil ? Demikian pikir Lapute.
“ Oeeeeee ! yang menolongku mengambil alat tenun dibawah rumah akan kuberi hadiah ! “ teriak Lapute. Tanpa pikir panjang akan akibat perkataannya, ia melanjutkan sambil tersenyum jahil “ yang menolongku akan kujadikan suamiku “
Terdengar bunyi langkah kaki dari bawah kolong rumah. Lalu suara-suara yang mengangkat perangkat alat tenun. Derik anak tangga berbunyi satu persatu saat penolong itu melangkah naik keatas rumah.
Alangkah terkejutnya Lapute melihat sosok yang menolongnya membawa alat tenun keatas rumah. Muka lapute pias. Pucat serupa mayat. Sosok penolong itu setinggi diri lapute. Sekujur badannya ditumbuhi bulu-bulu berwarna coklat kemerahan. Panjang dan lebat. Tampak ekornya yang panjang menjuntai menyentuh lantai rumah. Mukanya bukan muka manusia. Mukanya, muka seekor kera.
Sang penolong itu adalah seekor Kera besar yang menakutkan. Lapute sontak berdiri hendak melarikan diri. Namun urung begitu mendengar sosok kera besar itu menegurnya. Sungguh aneh. Kera itu mampu bercakap seperti manusia.
“ Hei. Kamu mau kemana ? bukankah kamu sudah berjanji akan memberi hadiah bagi yang menolongmu membawa naik alat tenunmu ini “ ujar kera besar itu mengingatkan
Lapute gugup. Perasaannya campur aduk. Takut, kecewa, heran.
“ Tatatata…tapi..kamu bububu..kan manusia “ ujar Lapute gugp sambiil mengancungkan telunjuknya kearah muka kera.
Wajah kera berubah masam. “ Memang bukan. Tapi apakah kau ingat dengan ucapan mu tadi. Kamu tidak mengatakan akan menikah dengan manusia yang membawakan alat tenunmu. Tapi kamu mengatakan ‘ yang membawakan alat tenunku’. Kamu jangan ingkar janji Lapute“
 Badan Lapute mengigil-gigil. Ia adalah kembang desa purba. Gadis tercantik diantara yang cantik. Tamat sudah hidupnya membayangkan dirinya bersuamikan seekor kera. Seekor kera tetaplah kera, walau bisa berbicara seperti manusia.
Mengingat posisinya yang rumit itu, Lapute mencoba menyelamatkan masa depannya. Apa jadinya anak keturunannya kelak jika bapak mereka seekor kera. Lapute memberanikan diri untuk membantah perkataan kera besar itu. Sifat kepala batunya mencuat. Pendapat kera besar itu ditentangnya habis-habisan.
“ Kamu pasti salah mendengar perkataanku tadi. Jelas-jelas akau mengatakan ‘ barang siapa manusia yang membawakan alat tenunku’. Jadi kamu tidak termasuk didalamnya wahai kera jelek “ bantah Lapute. Tak lupa ia mengancung-ancungkan jari telunjuknya kearah muka kera besar itu untuk mempertegas ucapannya.
“ Kamu berbohong lapute ! “ kera itu bersikeras dengan keyakinannya.
“ Tidak ! kamu yang bohong. Kamu mencoba memanfaatkan situasi ini ! Dasar kera tidak tahu diri ! “ Lapute balik membantah dengan keras. Tetap dengan jari telunjuk yang terancung kemuka kera.
Mereka berdua memegang pendapatnya masing-masing. Lapute tetap tak mau mengalah.
“ Aku lebih baik menjadi batu daripada harus bersuamikan dirimu wahai kera jelek ! “ kata Lapute akhirnya.
Tiba-tiba – seperti lazimnya sebelum sebuah peristiwa luar biasa terjadi-  petir menggelegar membelah angkasa. Kera besar itu berubah ke wujud aslinya. Rupanya ia seorang dewa yang menyamar menjadi seekor kera. Tubuhnya lalu terangkat, melayang tinggi ke udara. Sebelum menghilang, dewa itu mengeluarkan suara keras yang menggema.
“ Hai Lapute ! karena kamu ingkar janji, maka kamu kukutuk menjadi batu seperti keinginanmu ! Dan sejak hari ini, barang siapa penduduk desa Purba yang mengancungkan telunjuknya kepada orang lain, maka orang yang ditunjuknya itu akan berubah menjadi batu ! “
Dalam sekejap, Lapute pun berubah menjadi batu.
Matahari kembali keperaduan. Penduduk desa menghentikan pekerjaannya disawah dan  kembali kerumah masing-masing. Sesampai diteras rumahnya, kedua orang tua Lapute terkejut tidak kepalang. Anak kesayangan mereka ditemukan dalam bentuk onggokan batu. Tangis mereka pecah. Lalu mereka terlibat dalam pertengkaran hebat. Saling menyalahkan satu sama lain sebagai penyebab kejadian mengerikan itu.
“ Ini salahmu ! “ maki bapak Lapute pada istrinya. “ Coba seandainya kamu pulang cepat kerumah tadi sore “
Istrinya tak mau kalah. Balas memaki suaminya “ Tidak ! ini salahmu. Kamu yang melarangku untuk pulang cepat “
Keduanya berbalas maki sembari saling mengacungkan telunjuknya kemuka satu sama lain. Serentak keduanya juga ikut berubah menjadi batu kena tulah kutukan dewa.
Penduduk desa yang sempat mendengar tangis dan pertengkaran kedua orang tua Lapute datang berbondong-bondong menuju kerumah itu. mereka terpaku menyaksikan pemandangan tiga sosok anak beranak yang telah berubah menjadi batu. Penduduk desa ramai memperdebatkan kejadian aneh itu. Masing-masing bersikukuh dengan dugaannya. Pertengkaran sesama penduduk desa jadi tak terelakkan. Seperti kebiasaan mereka setiap kali bertengkar, tak lupa sambil mengacungkan telunjuk kemuka lawan debatnya. Dalam tempo singkat semuanya ikut kena kutukan dewa. Seisi desa berubah menjadi batu tanpa kecuali.
Beberapa waktu kemudian desa tanpa penghuni itu terkena bencana tertimbun longsoran dari gunung Mampu. Tepat dibawah longsoran itu kemudian mengalir sungai bawah tanah berkelok-kelok melintasi tempat dimana desa itu (dulu) berada. Air sungai itu beratus tahun selanjutnya menyusut kering. Dan terowongan bekas alirannya berubah menjadi gua dengan banyak ornamen batu yang menyerupai arca manusia dalam beragam bentuk. Orang-orang di zaman modern ini menamainya Gua Mampu.
 (Dongeng rakyat Sulawesi Selatan)
Oleh Rusdianto
Sumber : http://istanadongeng.wordpress.com/category/dongeng-rakyat/

SEJARAH DAN LEGENDA GUA BORALLA.


Versi kedua, mengatakan, ujar Gozali Lubis, ”Boralla” berasal dari kata ”Berhala”. Goa ini pernah dijadikan orang terdahulu (sebelum masuknya Islam) tempat menyembah berhala. Hal ini ada juga benarnya, sebab kalau kita masuk kedalam goa, kita akan menemukan ukiran seperti patung yang menggambar laki-laki dan perempuan sedang bersanding. Mungkin inilah berhala yang dijadikan orang dulu sebagai tempat sembahannya.
Selain itu, legenda mengenai keberadaan goa ini terus bergulir dari mulut ke mulut warga. Menurut mereka, dahulunya di sekitar goa ada satu kerajaan yang mempunyai dua putra mahkota yang bernama Kaliot dan Maliot. Setelah keduanya dewasa, Kaliotpun hendak dikawinkan ayahandanya dengan gadis cantik, ternyata rencana perkawinan ini membuat Maliot cemburu. Sebab. Maliot berkeinginan dirinyalah yang pantas dikawinkan dengan gadis tersebut. Maliotpun pun berusaha menghalangi perkawinan itu, namun tidak bisa, lantas Maliot pun berencana membunuh Kaliot.
Strategipun disusun Maloit, ia pun mengajak Kaliot masuk kedalam goa dengan alasan memancing di sungai yang berbentuk kolam yang terdapat di dalam goa. Saat sedang asyik memancing, Maliotpun menjatuhkan Kaliot kedalam sungai dengan cara menolaknya. Sekejap saja, kaliotpun menghilang bagaikan ditelan bumi. Ketika itu, Maliot menganggap Kaliot sudah mati, iapun langsung pulang kerumah menjumpai ayah dan ibunya.
Di hadapan ayah dan ibunya, Maliot menceritakan kalau Kaliot sudah jatuh tergelincir kedalam sungai yang berbentuk kolam di dalam goa. Betapa sedih kedua orangtuanya mendapat berita tersebut, perkawinan yang sudah dipersiapkan pun dibatalkan. Lantas bagaimana nasib Kaliot ?, rupanya ia masih beruntung. Kaliot bukannya mati seperti anggapan Maliot, tapi setelah jatuh ke sungai ia ditolong seekor Penyu. Penyu itu pun lantas membawa Kaliot jauh mendarat sampai di Bonjol (Sumatera Barat). Setelah kondisinya sehat, Kaliotpun pulang kembali dengan maksud bergabung bersama keluarganya.
Tapi alangkah terkejutnya Kaliot, begitu ia sampe di rumahnya ada pesta meriah. Kaliot lebih terkejut lagi ketika ia melihat bahwa yang bersanding di pelaminan itu adalah adiknya sendiri, yaitu Maliot dengan calon isterinya dulu. Di sisi lain, Maliot pun terkejut bukan main melihat kedatangan abangnya Kaliot. Selama ini Maliot dan keluarganya menganggap Kaliot sudah mati jatuh kedalam sungai yang ada di dalam goa, tapi rupanya tidak. Kaliotpun langsung menjumpai ayah dan ibunya dan menceritakan apa yang sesungguhnya terjadi pada dirinya.
Mendengar penuturan Kaliot, ayahnya sangat murka. Perkawinan maliot dengan wanita cantik yang tidak lain calon kakak iparnya pun di batalkan seketika. Maloitpun dihukum oleh ayahnya, hukuman yang diberikan adalah Maliot di buang ke daerah Air Bangis (Sumatera barat). Tidak berapa lama kemudian, Kaliot pun di kawinkan dengan calon isterinya itu.

Sumber:




LEGENDA ASAL USUL GOA PAWON

Konon, setelah manusia purba menempati gua ini pada 9.000 tahun lalu, Dayang Sumbi, perempuan yang dalam cerita Sunda terkait denganasal usul Gunung Tangkuban Perahu, pernah menempati gua ini. Posisi Gunung Tangkuban Perahu dan Gunung Masigit diyakini menyambung.

Konon, Danau Bandung Purba diciptakan berkat kesaktian Sangkuriang yang berusaha memenuhi permintaan Dayang Sumbi yang akan disuntingnya sebagai isteri. Wanita yang diceriterakan tetap cantik di masa tuanya itu tidak lain dari ibunya sendiri. Rencananya, pasangan anak dan ibu itu akan berbulan madu dengan berlayar mengarungi danau tersebut yang diciptakan dengan membendung Sungai Citarum.

Namun, sang ibu rupanya tak kalah akal untuk menggagalkan rencana tersebut. Dengan kesaktiannya, ia berhasil mengelabui anaknya tercinta. Ia menciptakan seolah-olah fajar yang menjadi batas waktu yang dijanjikan, sudah menyingsing. Keadaan itu disusul dengan ramainya kokok ayam jantan. Burung-burung berkicau bersahut-sahutan menyambut pagi.
Menyadari usahanya telah gagal, Sangkuriang kemudian menendang perahunya yang belum rampung sehingga terbalik. Dan, setelah sadar bahwa dirinya telah tertipu, ia mengejar-ngejar Dayang Sumbi. Wanita bernasib malang itu menyelamatkan diri dengan melompat ke atas lunas perahu yang terbalik sehingga menciptakan lubang yang besar menembus perut bumi.
Kelak dikemudian hari, perahu yang terbalik itu berubah menjadi Gunung Tangkuba Perahu.

Di bagian tengahnya terdapat kawah Ratu, tempat di mana Dayang Sumbi melompat dan kemudian hilang ditelan bumi. Karena itu, jika swaktu-waktu kita bernasib mujur tatkala berkunjung ke Gunung Tangkubanperahu, sesekali akan terdengar suara yang berasal dari lepasan tufa panas dari kawahnya. Suaranya yang terdengar mendengus-dengus itu diibaratkan sebagai tangis Dayang Sumbi yang harus menanggung derita sampai akhir hayatnya. Konon, Goa Pawon adalah dapur dimana Dayang Sumbi biasa memasak. Kenyataannya menurut para ahli tempat ini memang difungsikan sebagai dapur oleh manusia prasejarah dengan ditemukannya fosil sisa-sisa makanan dan biji buah-buahan. Gua Pawon sebenarnya merupakan gua yang tidak mempunyai lorong-lorong yang panjang dan gelap, tapi hanya terdiri dari banyak ruang (10 ruang besar) yang merupakan ceruk di dinding bukit.

Dayang Sumbi menghilang atau tidak lagi menempati Gua Pawon ketika Sangkuriang tidak mampu menepati janjinya membuatkan perahu. Jasadnya boleh hilang, tetapi rohnya dipercaya masih ber-semayam. Roh Dayang Sumbi dan manusia purba sebelumnya masih diyakini warga selalu ada di Gua Pawon.

Sumber: http://naafinaf.blogspot.com/2011/03/legenda-asal-usul-goa-pawon.html



Legenda Goa Putri
Kunon menurut legenda, Dahulu disini pernah hidup seorang putri bernama Puteri Dayang Merindu bersama keluarganya.        Pada suatu hari Sang Puteri sedang mandi di muara sungai Semuhun, lewatlah seorang pengembara ditempat itu. Tatkala melihat Sang Puteri timbul perasaan ingin menyapa, namun saat itu tidak mendapat perhatian sama sekali sehingga dia merasa gusar. "Sombong sekali puteri ini, diam seperti batu" ujarnya. Tiba-tiba saja tubuh Puteri Dayang Merindu berubah menjadi batu. Kemudian Sang Pengembara memasuki desa, ketika tampak desa yang sepi karena penduduk sedang bekerja disawah dia kembali berkata "Katanya desa tetapi sepi seperti goa batu". Dan seperti tadi desa tersebut berubah menjadi goa batu.        Ternyata Pengembara tersebut adalah Si Serunting Sakti yang dijuluki Si Pahit Lidah, yang bila menyumpah semua yang terkena akan menjadi batu.        Demikianlah menurut legenda asal mulanya Goa Puteri yang sekarang menjadi Obyek Wisata di Kabupaten Ogan Komering Ulu.

*Seperti yg kita temukan di Goa Putri
--------GGGGGGGGG-----
agi itu sungguh cerah, mentari tak enggan menyapa ramah seisi bumi dengan sinarnya yang menyilaukan dari ufuk timur sana, menerobos celah tersisa antara dedaunan yang rapat sekaligus coba mengeringkan embun.
Seorang perempuan muda berparas jelita dan seorang wanita setengah baya terlihat asyik berjalan santai sambil bercengkrama.
"Akan kemana kita, Putri? Tak biasanya putri berjalan lama dan sejauh ini..." tanya wanita setengah baya itu disela pembicaraan mereka.
Putri Dayang Merindu, begitulah si perempuan muda akrab dikenal penduduk, tetap saja berjalan...
"Aku tahu kita berjalan semakin jauh dari istana, tidakkah bibi lihat suasana secerah ini, tidakkah bibi ingin menikmatinya juga...?"
"Iya putri, tapi apakah tadi putri sudah meminta ijin dari Sang Prabu, putri terlalu jauh meninggalkan istana tanpa pengawalan..."
Ada sedikit perubahan pada paras wajah sang putri saat mendengar kata-kata wanita setengah baya yang biasa dipanggilnya Bibi Nas itu, tapi sesaat kemudian dia tersenyum
"Bibi benar, tapi sekarang aku ingin sekali berdiri diatas jerambah gantung, memandang lepas Air Ogan yang mengalir dibawahnya..."
Belum sempat Bibi Nas menimpali, tiba-tiba saja dari kejauhan tampak 6 orang prajurit mendekati mereka.
Terhembus nafas berat dari Sang Putri, kedatangan mereka adalah pertanda keinginannya pagi ini takkan tercapai.
"Maaf Putri, kami diperintahkan Sang Prabu menjemput Putri".
*
"Ading... kakang hari ini juga akan kembali ke kerajaan, istana sedang membutuhkan kakang disana..."
Prabu Amir Rasyid memecah kesunyian, dia menghampiri Putri Dayang Merindu yang tengah duduk di Pembaringan, duduk disebelah putri yang sedang terpekur sedih.
"Kapan kakang akan kesini lagi...?"
"Tak tahulah ading... secepatnya kakang akan menjenguk ading lagi..."
Putri Dayang Merindu berdiam diri, pandangan matanya kosong.
"Ada apa gerangan, ading?"
"Tidak ada apa-apa kakang, hanya saja kali ini ading merasa begitu sedih, sepertinya kita takkan pernah bertemu lagi setelah perpisahan ini..."
"Jangan berkata seperti itu, kakang akan baik-baik saja begitupun dirimu... Kakang juga takkan pernah lupa untuk mengirimkan semua kebutuhanmu" sahut Prabu Amir Rasyid sambil mengusap-usap rambut panjang Putri Dayang Merindu.
"Kang... Bolehkah ading meminta sesuatu sebelum kakang berangkat ke kerajaan?"
"Apa itu, adingku?"
"Temani ading melihat-lihat Air Ogan dari atas Jembatan Gantung"
*
Putri Dayang Merindu adalah salah satu selir Prabu Amir Rasyid yang juga mantan salah satu dari dayang Prabu Amir Rasyid, Raja Kerajaan Ogan, ia memiliki kecantikan luar biasa dan berkepribadian baik. Karena itulah Prabu Amir Rasyid sangat menyayangi Putri Dayang Merindu dan lantas menjadikan Putri Dayang Merindu menjadi selir dari status dayang sebelumnya. Perhatian yang lebih kepada Sang Putri tentu saja mengundang reaksi dari para dayang lain, para selir bahkan Permaisuri yang juga ikut merasa tersisih. Kabar-kabar tak sedap pun beredar didalam istana bahkan bocor sampai ke telinga Rakyat. Putri Dayang Merindu akan disingkirkan secara diam-diam! Berita itu sampai kepada Prabu Amir Rasyid dan membuatnya murka. Raja memberikan peringatan keras terhadap siapa saja yang mengancam keselamatan Putri Dayang Merindu. Tapi tidak hanya itu, diam-diam Raja pun membangun sebuah istana kecil untuk Sang Putri untuk menghindari kemungkinan buruk yang dapat terjadi bila Putri Dayang Merindu tetap berada diistana kerajaan. Sesuai rencana Prabu Amir Rasyid, begitu Istana Suhuman, istana yang dibangun Prabu Amir Rasyid untuk sang putri, selesai maka Sang Putri pun dipindahkan oleh Sang Prabu dari Istana Kerajaan untuk menempatinya. Sebuah istana yang sesuai namanya seolah menjadi tempat persembunyian, Prabu Amir sengaja menentukan lokasi jauh dari pemukiman masyarakat agar Sang Putri mendapatkan ketenangan tanpa harus terganggu dengan hingar bingar keramaian aktifitas masyarakat, selain itu Istana Suhuman juga didirikan di Dusun Padang Bindu yang merupakan tempat Putri Dayang Merindu dilahirkan dan dibesarkan sampai akhirnya disunting oleh Sang Prabu, dibawa keistana kerajaan untuk menjadi dayangnya.
*
Itulah mengapa Putri Dayang Merindu harus mendiami istananya dan harus siap banyak melewati waktu tanpa Prabu Amir Rasyid menemaninya, seperti hari ini perpisahan untuk kesekiankalinya pun harus terjadi...

Selanjutnya di...
Legenda Goa dan Batu Putri II
----------------OOOOOOO------

Legenda Goa Putri II (Versi DK)

oleh Goa Putri Padang Bindu Baturaja pada 26 Januari 2010 pukul 10:35 ·
Rumah itu hampir menyerupai sebuah istana kecil, yang membedakannya mungkin hanyalah tidak adanya prajurit yang berjaga disekitar rumah itu. Lawang masuk layaknya sebuah gerbang lengkap dengan gapura berukir naga dan dibiarkan tanpa daun lawang sehingga semua orang dapat masuk dengan begitu saja kedalamnya setiap saat tanpa harus mengetuk terlebih dahulu. Tapi kenyataannya tidaklah begitu, rumah itu adalah kediaman Ni Sewu Sakti, seorang tokoh sakti tanah jawa yang disegani oleh semua orang di saentero nusantara. Sangat jarang ada orang yang mendekati rumah itu selain ada keperluan penting. Orang yang menyambangi kediaman Nenek Tua ini juga bukan tujuan biasa, melainkan untuk meminta bantuan jasa kesaktian si nenek ataupun meminta agar si nenek bersedia menjadi guru bagi mereka.
Seorang pemuda berpakaian ringkas serba hitam menghentikan langkahnya tepat didepan gerbang, matanya memandang ukir-ukiran naga dan sesaat kemudian terlihat kepalanya mengangguk-angguk seolah memastikan bahwa rumah itu benar adalah yang ia cari.
Kemudian si pemuda mengubah posisi tubuhnya membungkuk tak ubahnya bentuk orang yang menjura hormat, lantas ia berkata pelan...
"Ni Sewu, hamba Hang Serunting, datang jauh dari Bumi Sriwidjaya sengaja berniat mengunjungi Nini guna sebuah tujuan yang kiranya tak sopan bila hamba sebutkan disini, yang hamba yakini sudahpun Nini ketahui sendiri sebelum hamba mengutarakannya. Bila kiranya nini berkenan menerima tamu seperti hamba biarkanlah hamba masuk kedalam meskipun itu hanya untuk bertatap muka dengan nini saja, demìkian juga kiranya bila nini tidak berkenan, berikanlah hamba siksa karena telah lancang menginjakkan kaki hamba yang kotor di istana nini yang megah ini..."
Usai berkata seperti itu, Si Pemuda beranjak dari tempat ia menjura hormat dan dengan langkah yang tak mengurangi kesan hormat perlahan melewati gerbang dan memasuki rumah itu.
*
"Anak muda, kau begitu pandai memilih kata, cara bicara dan sikap tubuhmu menggambarkan kesopanan tapi aku tak melihat itu dalam jiwamu yang sebenarnya, kau pandai memakai topeng untuk menutupi yang memang harus kau sembunyikan guna suatu tujuan tapi kau tentu tahu kalau aku takkan bisa dibohongi."
Hang Serunting hanya bisa tertunduk mendengar kata-kata Ni Sewu Sakti, nenek tua yang berdiri 6 kaki didepannya.
"Mulutmu begitu manis tapi lidahmu sangat pahit, dalam jiwamu penuh kelicikan serta ambisi yang harusnya kau singkirkan..."
Keringat dingin mulai bercucupan dari tubuh Hang Serunting. Masih tak berani menatap mata Ni Sewu Sakti.
"Maafkan hamba Nini, bukan maksud untuk memperdaya Nini, hamba telah lancang ingin meminta sedikit ilmu dari Nini tanpa melihat diri saya sendiri, hamba memang bukan orang yang dapat dikatakan berhati mulia. Sekali lagi maafkan hamba, bila Nini ingin memberikan hukuman pada hamba itu sudah selayaknya dan akan hamba terima atau biarkanlah hamba pergi untuk kembali lagi nanti dengan perubahan jiwa yang lebih bersih..."
"Ya, kau tahu aku takkan pernah mau menjadikanmu murid, baik sekarang maupun nanti. Tidak akan pernah! Aku takkan pernah memberimu sedikitpun ilmu hingga kau tidak boleh menyebutku sebagai guru. Tapi aku menerimamu sebagai tamu jauh dan kau berhak mendapatkan jamuan dariku, bukan hukuman. Waktuku tak banyak, kau boleh tidur terlebih dahulu disini untuk melepaskan penat dan sebangun dari itu kau harus segera pergi dan melupakan pertemuan ini."
Usai berkata seperti itu tiba-tiba saja Ni Sewu Sakti menghilang bersamaan dengan sebotol air ramuan berwarna hijau yang entah kapan datangnya tiba-tiba sudah ada didekat Hang Serunting.
Berpikir bahwa sebotol air hijau itu adalah jamuan yang dimaksudkan, Hang Serunting cepat mengmbil jamuan itu, sebelum ia menegak air dalam botol itu diam mengucapkan rasa terima kasihnya pada Ni Sewu Sakti
"Sebuah kehormatan bagiku Nini bersedia menerima aku sebagai tamu, terima kasih untuk waktu Nini, berikut jamuannya. Biarlah setelah meminum ini hamba kembali ke penginapan untuk beristirahat..."
Hang Serunting membuka tutup botol dan langsung menegak isinya. Dapat dirasakannya air itu begitu pahit, tapi demi menghormati Ni Sewu Sakti ia bertahan untuk menghabiskan air itu. Bahkan ia tak tahu akhirnya air dalam botol itu sudah dihabiskan atau belum, karena kemudian ia segera tak sadarkan diri. Sebelum tak sadarkan diri ia teringang kata-kata Ni Sewu Sakti
"Mulutmu begitu manis tapi lidahmu sangat pahit... Lidahmu sangat pahit..."


Apa yang terjadi dengan Hang Serunting?
Mengapa ia sampai ketanah jawa!
Apa hubungannya dengan Batu ataupun Goa Putri yang dikisahkan?
Bagaimana pula kelanjutan kisah Putri Dayang Merindu?

Temukan jawabannya hanya di...
Legenda Batu dan Goa Putri III
-------------OOOOO--------------

Legenda Goa Putri III (Versi DK)

oleh Goa Putri Padang Bindu Baturaja pada 12 Mei 2010 pukul 15:00 ·
"Pergi saja kau dari daerah ini, memalukan, apa yang bisa kau lakukan selain merusak nama kehormatan keluarga kita!!!"
Bentakan itu terdengar begitu nyaring, angin malam yang bertiup kencangpun tak cukup meredamnya. Disusul kemudian keluarlah seorang pemuda dari rumah itu, dengan tergesa-gesa segera beranjak meninggalkan tempat itu...
Hang Serunting menghela nafasnya dalam-dalam, peristiwa itu masih saja selalu terkenang dibenaknya. Adalah Hang Natra, kakaknya nomor dua, yang telah mengusirnya setelah peristiwa perampokan yang Hang Serunting lakukan. Sebenarnya saat itu dia mau melawan tapi ia sadar bahwa Hang Natra memiliki kepandaian silat yang jauh diatas dia, niat itupun diurungkan. Hingga akhirnya dia memilih untuk pergi membawa dendam terhadap kakaknya sendiri, Hang Natra, mencari ilmu agar kelak dapat membalas sang kakak.
Hang Serunting tercenung, kemarin ia telah pun sampai ketanah jawa dan mencoba peruntungan agar bisa diangkat murid oleh Ni Sewu Sakti, tapi apa hasil? Dia ditolak bahkan dikerjai oleh Nenek Sakti itu melalui 'jamuan' yang membuatnya tak sadarkan diri hampir seharian.
Tak tahu harus melangkahkan kaki kemana membuat Hang Serunting pun kembali ke Tanah Sumatera, tapi tetap dengan dendam yang terjaga...
*
Suara derap kaki kuda itu menghentikan lamunan Hang Serunting yang tengah menyusuri sawangan, dilihatnya dari kejauhan dua ekor kuda dengan masing-masing penunggangnya yang sebentar lagi tentunya akan melewati dia, ah dia butuh bantuan untuk menumpang pada salah satu kuda guna mempercepat jalannya menuju dusun terdekat dan mencari makan disana.
Sepasang kuda itu semakin dekat, Hang Serunting segera menggerakkan tangannya menunjukkan isyarat menyuruh berhenti, tapi dua kuda itu tetap dipacu kencang oleh penunggangnya yang ternyata adalah sepasang muda-mudi, tak memperdulikan Hang Serunting. Saat mereka tepat berada disamping Hang Serunting, Hang Serunting keluarkan suara keras
"Hei, berhenti dulu!!"
Tapi tetap saja sepasang muda-mudi itu tak memperdulikan, bahkan mereka bersikap seolah tidak sama sekali melihat Hang Serunting.
Tentu saja Hang Serunting kesal, tapi dia hanya bisa mengupat tanpa bisa berbuat banyak untuk kekesalannya.
"Mereka tak melihatku, mereka tak mendengarku, seperti batu saja..."
Hang Serunting terus memandangi sepasang muda-mudi itu sampai kemudian ia menyaksikan suatu hal yang ia sendiri sulit mempercayainya, sepasang muda-mudi yang tengah menunggangi kudanya masing-masing itu tiba-tiba berhenti berikut juga kudanya, tak bergeming sama sekali.
Hang Serunting pun mendekati mereka, dan menemukan fakta bahwa sepasang muda-mudi berikut kuda yang ditunggangi itu telah menjadi batu!
*
Putri Dayang Merindu bangkit dari pembaringannya, entah mengapa dia merasakan gelisah dan tiba-tiba saja teringat pada Prabu Amir Rasyid. Dia berjalan keluar dari kamar, dan melihat Bibi Nas tengah memberi makan Himau Jage, Harimau jinak kesayangannya yang sengaja ditempatkan Prabu Amir Rasyid untuk menjaga dirinya selain juga tentunya para prajurit.
Putri menghampiri mereka, ia mengelus kepala Harimau Penjaga itu, mata Himau Jage berkedip dan memandang sayu pada Sang Putri.
"Belakangan ini, Himau Jage tak mau makan putri, hamba cemas... Dia semakin kurus saja!" berbicara Bik Nas pada Sang Putri.
"Kenapa kau tak mau makan, Himau. Sinar matamu juga tak seterang biasanya, apa kau juga dapat merasakan kegelisahanku..." berujar Sang Putri pada Himau Jage yg hanya membalas dengan mengedipkan kedua matanya.
"Maaf kalau hamba lancang putri, kalau Putri sudi, hendaknya Putri menceriterakan gerangan apa kesedihan putri pada hamba, siapa tahu hamba bisa coba bantu sedikit menghibur Putri..."
"Entahlah Bik Nas, aku tak tahu apa kiranya yang mengganjal dihati ini sehingga bisa merasakan perasaan tak enak seperti ini, aku selalu teringat akan Kakang Prabu dan merasakan sedih karenanya."
"Putri hanya merasakan rindu, atau mungkin dikerajaan sedang ada masalah yang mengusik Baginda Prabu dan Putri dapat merasakan itu, semua akan baik-baik saja Putri"
Perhatian Putri Dayang Merindu dan Bibi Nas tiba-tiba teralih pada seorang Prajurit tang menghampiri mereka dan segera duduk mengambil sikap hormat didepan Putri dan Bibi Nas.
"Maaf Purti, Hamba membawa sepucuk surat dari Baginda Prabu untuk diberikan pada Putri" Ujar Si Prajurit seraya menjulurkan kedua tangannya pada Putri guna memberikan sepucuk surat yang ada ditangannya.
Ada gerangan apa kiranya, Paman?" Sahut Purti seraya menyambut sepucuk surat itu.
"Hamba tidak tahu, Putri, hanya saja tadi ada 2 pucuk surat dan aadapun surat yang satu lagi sudah disampaikan pada Paman Hang Supa seperti yang diamanatkan Baginda Prabu."
"Hei, mengapa kedua matamu berlinang, Himau??!!"
*
Gerangan apa yang disampaikans Prabu Amir Rasyid untuk Putri Dayang Merindu melalui suratnya?
Siapa pula Paman Hang Supa?
Bagaimana pula perjalanan Hang Serunting?
Semua terjawab dalam Legenda Goa Putri IV
--------------000000-----------

Legenda Goa Putri IV (Versi DK)

oleh Goa Putri Padang Bindu Baturaja pada 26 Januari 2011 pukul 20:56 ·
Legenda Goa Putri IV

Sepasang muda-mudi tampak asyik bercengkrama sambil tetap memacu kudanya masing-masing dengan pelan, tak jauh dibelakang mereka tampak terlihat 12 orang berpakaian prajurit yang juga berkuda mengikuti. Sepasang muda-mudi itu adalah Karna Metra, Putra Mahkota Kerajaan Kemuning, bersama kekasihnya, yang pada hari itu tengah berjalan-jalan untuk mencari kebahagiaan dengan melewati hari secara bersama.
Ketika mereka melintasi sebuah kedai nasi, tampak Karna Metra menghentikan kudanya dan segera memberi isyarat kearah rombongan prajurit untuk menghampirinya. Salah seorang dari prajurit turun dari kudanya dan segera saja mendekat kearah Karna Metra.
“Paman, aku hanya ingin berdua saja dengan Karin, kalian tunggu saja disini, makanlah sepuasnya dan beristirahatlah sambil menungguku kembali…”  ujar Karna Metra
“ Tidak, Pangeran. Kami dititahkan oleh Paduka Raja untuk sekejappun tidak melepaskan pandangan dari Pangeran. Kami tidak berani membantahnya.” Jawab Si Prajurit yang tak lain adalah Kepala Prajurit dari Rombongan Pengawal Putra Mahkota.
“Tidak akan terjadi apa-apa, Paman. Kami hanya ingin melihat Danau diujung desa ini. Lagipula bukankah tak akan nada yang tahu hal ini…”
“Tidak, kami tidak berani membantah titah paduka, tolong mengerti kami, Pangeran.”
“Sedikit saja dalam waktuku, tak adakah yang tanpa pengawasan, aku iri pada pemuda desa yang bebas kemana saja sendirian ataupun hanya berdua dengan kekasihnya. Paman, haruskah aku memohon padamu untuk hal ini…”
Perbincangan mereka berjalan cukup alot. Akhirnya Kepala Prajurit itu mengalah dan membiarkan Karna Metra melanjutkan kebersamaan dengan kekasihnya hanya berdua saja, ia bersama para prajurit yang lain pun menunggu kembalinya pangeran dikedai nasi itu, seperti yang dipinta Karna Metra.
Sebuah penantian tak berujung karena Sang Pangeran dan kekasihnya ternyata tak akan pernah kembali kekedai untuk hari itu, besok maupun selamanya. Sebuah kelalaian yang berujung maut bagi rombongan prajurit itu karena esoknya mereka harus rela dihukum pancung oleh Prabu Ansa yang marah besar karena Karna Metra, Putra Kesayangannya yang akan didaulat menjadi Raja berikutnya Kerajaan Kemuning, ditemukan sudah menjadi Batu bersama kekasihnya.
****
Berita menghebohkan tentang Pangeran Karna Metra, Putra Mahkota Kerajaan Kemuning yang menjadi Batu bersama kekasihnya saat tengah menunggangi kuda menjadi topik pembicaraan yang dibahas oleh hampir semua orang. Apa penyebabnya menjadi sebuah pertanyaan tanpa jawaban, sayembara yang diadakan Kerajaan Kemuning pun tidak dapat mampu untuk menemukan titik terangnya. Berita itu menyebar luas, dari mulut ke mulut segera saja sampai ke Derah Ogan. Belum lagi dingin berita itu, muncul lagi peristiwa-peristiwa serupa berikutnya, ada begitu banyak kejadian aneh dengan kasus yang sama, entah itu manusia, hewan, ataupun benda, semuanya menjadi batu! Mau tak mau tentu saja hal ini menimbulkan keresahan bagi masyarakat, setiap kepala berpikir bisa saja berikutnya merekalah yang akan menjadi batu. Tapi itu tetap hanyalah sebuah ketakutan tanpa pemecahan, mereka tak tahu apa yang harus dilakukan sebagai langkah pencegahan karena yang menyebabkan fenomena ini terjadi sama sekali tidak diketahui.
****
“Ading Merindu… Kakang kirimkan surat ini sebagai pengganti kakang yang belum bisa pulang. Menyampaikan risau yang kakang rasakan, gerangan yang dikarenakan kakang tak bisa mengenyahkan bayangan sendu wajah ading yang dipenuhi  kegelisahan sebelum kakang pergi kemarin. Terlebih lagi duka Kerajaan Kemuning, Ananda Prabu Ansa membatu raga, dan kejadian-kejadian  serupa berikutnya yang bila diperhatikan semakin bergerak mendekati daerah kita. Ketakutan itu ada, karenanya kakang minta pada ading untuk tidak meninggalkan Suhuman dalam waktu dekat, terlebih lagi tanpa pengawalan seperti yang sering ading lakukan. Untuk itu, tadi kakang juga telah berkirim pesan pada Paman Hang Supa untuk lebih meningkatkan pengamanan Suhuman dan pengawalan terhadap ading tentunya.
Ading Merindu… Malam tadi kakang bermimpi ading mandi di Air Ogan, dibawah jerambah gantung tempat dimana kemarin kita berdiri, ading tersenyum pada kakang dan kakang terjaga, dan entah mengapa kakang merasakan gelisah karenanya. Tapi hal itu tentunya dikarenakan rindu yang bersemayam dihati kakang, semuanya akan baik-baik saja. Tembang Rindu Padang Bindu…. Kita akan bersama lagi ahad depan”
Putri Dayang Merindu menyeka air matanya yang tanpa terasa menetes dan menyisir pipinya saat membaca Surat dari Prabu Amir Rasyid, apa yang ia rasakan saat ini hanyalah kegelisahan yang belakangan ini tak pernah mau pergi darinya.
****
Hang Serunting tampak terlihat duduk dibawah sebuah pohon rindang yang melindunginya dari sengatan panas sinar matahari, dia terpekur pandangan matanya yang kosong. Ribuan pertanyaan ada dipikirannya tentang hal-hal aneh yang belakangan terjadi padanya.
Mengapa setiap umpatannya yang menyebut kata-kata batu didalamnya selalu menjadi kenyataan? Apa yang ada didalam dirinya hingga bisa melakukan itu? Mungkinkah Jamuan Hijau dari Ni Sewu Sakti tempo hari yang menyebabkannya?
Dua kejadian aneh pertama ia memang belum menyadari keanahan didalam dirinya, tapi kejadian ketiga manakala ia diacuhkan oleh seorang pemburu dan mengeluarkan umpatan yang membuat si pemburu seketika itu juga menjadi batu membuat ia menyadari “kelebihan sekaligus kekurangan” itu. Karenanya ia pun berusaha menjaga ucapan, tapi tetap saja dua kejadian berikutnya menyusul karena ia tak sanggup mengendalikan emosinya.
Dari hati kecilnya mengeluhkan itu, pada dasarnya ia lelaki baik, hanya saja selalu sulit dalam mengendalikan emosi, dia bukan tergolong orang yang sabaran dalam melakukan sesuatu, hingga seingkali bertindak kasar dan tak jarang mengambil jalan pintas untuk mendapatkan yang ia inginkan.
Itu bukan yang ia inginkan, ia bahkan tak pernah berpikir untuk melakukan misi balas dendamnya kepada Hang Natra kakaknya dengan dengan cara itu, yang tentunya akan sangat mudah ia lakukan bila memang ia mau.
Hang Serunting bangkit dari tempatnya manakala ia sadari matahari sudah tidak begitu menyengat lagi, melanjutkan kakinya kearah utara… langkah yang tak lama lagi akan membawa ia memasuki Daerah Ogan….

Selanjutnya…...
Legenda Goa Putri V
----------------0000000000000-------

Legenda Goa Putri V (Versi DK)

oleh Goa Putri Padang Bindu Baturaja pada 29 Juni 2011 pukul 17:54 ·
Suara merdu itu ikut menghiasi pagi yang cerah disekitar Istana Suhuman, terlebih lagi suara itu berasal dari mulut Putri Dayang Merindu. Seisi istana tersenyum mendengarnya, itu adalah pertanda perubahan yang baik bagi istana yang sepekan belakangan kehilangan suara emas itu. Keceriaan yang tersirat itu tentu saja mengakhiri periode muram istana yang seolah ikut tak bergairah seiring kesedihan Putri Dayang Merindu dan hari ini itu telah berakhir.
Putri Dayang Merindu menghampiri Bik Nas yang tengah menyiapkan jamuan makan pagi untuk Sang Putri
“Nah gitu dong, Putri. Semua orang pada senang kalau putri kembali ceria seperti ini…” sapa Bik Nas mendahului Putri Dayang Merindu yang sudah hendak menyapa Bik Nas.
“Besok kakang datang, itu yang membuat Putri begitu senang. Belakangan Putri memang mengkhawatirkan sesuatu yang tak beralasan. Maafkan Putri sudah membuat cemas bibik dengan kegelisahan itu…”
“Gak ada yang perlu dimaafkan, kegelisahan yang Putri rasakan bukanlah kesalahan melainkan hanya sebuah kepekaan perasaan yang siapapun dapat mengalaminya..."
“Bik… Putri mau ke Dusun, sudah lama rasanya tak berkumpul dengan keluarga…”
…..
Paman Hang Supa menghela nafas panjang. Titah dari Raja mengharuskan dia tidak membiarkan Putri Dayang Merindu keluar dari Istana dalam selain untuk urusan penting keluarga yang dalam hal ini hanyalah perihal sakit keras dan kematian dari pihak keluarga Putri Dayang Merindu, tapi kali ini Putri ingin berjumpa dengan keluarganya dalam kondisi yang normal. Sebenarnya mudah saja Paman Hang Supa bila ingin memutuskan tidak memberi ijin, tapi mengingat keceriaan Sang Putri yang baru kembali setelah sepekan belakangan dirundung kesedihan, Paman Hang Supa takut itu akan mengembalikan kesedihan Sang Putri.
“Baiklah, Putri… Biar beberapa prajurit yang akan pergi ke Dusun guna mengajak kiranya keluarga besar Putri berkumpul disini…” ujar Paman Hang Supa coba mengambil jalan tengah dari kebingungannya.
“Paman, jikalah itu hanya diperuntukkan kepada adik-adik putri saja mungkin tak mengapa, tapi apakah tidak kurang sopan jika gerangan seperti ini diberlakukan juga bagi kakak apalagi orang tua putri?” timpal Putri Dayang Merindu
Menyadari maksud dan kebenaran kata-kata Putri Dayang Merindu, Paman Hang Supa akhirnya tak bias berkata apa-apa, hal yang terbaik yang bias dia lakukan adalah menjaga keceriaan Putri Dayang Merindu, dia pun mengambil keputusan berani dengan mengijinkan Putri Dayang Merindu menjenguk keluarganya di Dusun, diseberang Suhuman, tetapi tentu saja dengan pengawalan dari dia sendiri dan beberapa prajurit.
….
“Huft! Panas sekali hari ini….” Gerutu Hang Serunting sambil menyeka peluh yang bersemimbah dikeningnya. Diatas sana matahari bersinar begitu menyilaukan seakan ingin membakar seisi bumi dengan panasnya yang luar biasa. Kakinya terus melangkah menyusuri tepi jalanan sebuah desa yang terlihat begitu sepi. Rumah-rumah panggung yang sepertinya menjadi rumah khas daerah itu tampak berjajar gagah menyambut seorang tamu asing seperti dirinya. Terlebih dari yang ia perhatikan, disadari oleh Hang Serunting bahwa sedari tadi sangat jarang ia melihat seorang laki-laki, yang ada hanya para wanita dan anak-anak kecil yang tengah bercengkrama bersama teman-temannya, duduk santai di lintut rumah atau pun bermain-main di tengalaman. Hingga sampailah ia disebuah kalangan,, matanya cepat mencari kedai nasi, saatnya bagi dia untuk memanjakan perutnya yang dari tadi terus saja berontak meminta makanan..
“Ini desa apa, pak?” Tanya Hang Serunting pada pelayan yang menghidangkan nasi untuknya.
“Ini Curup Mulia, dek.” Jawab pelayan itu ringkas. Sebuah nama desa yang sama sekali asing ditelinga Hang Serunting. Tadi tanpa sengaja dia menyusuri aliran sungai daerah hingga akhirnya sampailah ia pada tempat dia berada sekarang.
“Daerah mana?”
“Ogan Ulu, emang adek dari mana dan mau kemana?”
“Saya baru saja pulang dari tanah jawa dan tidak tahu harus kemana….” Tukas Hang Serunting sambil segera saja menyuapkan nasi kedalam mulutnya, membuat Si Pelayan yang sebenarnya masih hendak bertanya mengurungkan niatnya dan segera berbalik guna melayani pengunjung lainnya.
….
“Adik, ayo kita mandi di air ogan. Ayuk sudah rindu kesegarannya…” ajak Putri Dayang Merindu pada Putri Desta adiknya.
“Tapi tidakkah mereka akan melarang ayuk untuk mandi ke air?” timpal Putri Desta
…” Cetus Putri Dayang Merindu. “Jangan sampai mereka tahu, kita ambil jalan memutar lewat gelanggung..."
Desa Padang Bindu merupakan desa terbesar dikawasan Daerah Ogan Ulu, rumah-rumahnya rapat bersusun layaknya barisan orang sholat berjamaah. Tak heran jika penduduk membuat jalan-jalan kecil yang akan mempermudah mereka untuk kemana-kemana.
.Purti Desta segera saja menyambut ide Sang Ayuk dengan gembira, untuk tak lama kemudian mereka secara diam-diam menghilang dari rumah menuju pangkalan.

Next:
"Sudah kukatakan Aku takkan pulang, apa kau sudah menjadi batu hingga tak mendengarnya!" Timpal Hang Serunting keras. Untuk kemudian Hang Natra tiba-tiba saja merasakan sekujur tubuhnya menjadi dingin, mulutnya tak dapat digerakkan untuk menjawab kata-kata Hang Serunting, dapat dirasakan pula bagian-bagian tubuhnya yang lain mulai membeku, pandangannya mulai kabur, sayup-sayup masih sempat ia dengar derai tawa kemenangan Hang Serunting hingga akhirnya semuanya menjadi gelap.
selengkapnya di Legenda Goa Putri VI (Sequel 1)
 =================0000OO00OO==========

Legenda Goa Putri VI Sequel 1 (Versi DK)

oleh Goa Putri Padang Bindu Baturaja pada 20 Agustus 2011 pukul 14:41 ·
Hang Natra terus saja mengikuti Hang Serunting secara diam-diam, malam tadi ia mengusir Sang Adik melalui sebuah pertengkaran kecil. Hang Serunting yang dimarahinya karena kedapatan merampok seorang saudagar kaya asal desa tetangga itu lantas pergi meninggalkan rumah. Tapi ternyata Hang  Natra tak cukup berpuas diri dengan kepergian Hang Serunting, diam-diam ia mengikuti adiknya itu, ia takut kegilaan yang dilakukan Hang Serunting malah semakin menjadi. Semalaman ia mengikuti Hang Serunting yang berjalan tak tahu arah, semakin lama semakin jauh dan semakin membingungkan, hingga terang datang meyakinkan bahwa ia telah terbawa ke sebuah daerah asing tepian sebuah sungai.
Dilihatnya sang adik bergerak mendekati tepian sungai, menghampiri sebuah batu besar dan duduk diatasnya. Hang Natra terus memperhatikan wajah sendu sang adik dari tempat ia bersembunyi, Hang Serunting tampak terpekur memandang kosong kearah air sungai yang mengalir menimbulkan perasaan iba dan bersalah pada diri Hang Natra. Ingin rasanya dia segera keluar menghampiri adiknya, meminta maaf dan mengajaknya pulang.
Suara ayam yang tengah mencari makanan mengais diantara sesampahan itu cukup membuat Hang Serunting sedikit terganggu dan lantas mengalihkan pandangannya.
“Diam kau ayam, mengganggu saja, lebih baik kau menjadi batu!”
Apa yang selanjutnya disaksikan oleh Hang Natra adalah hal yang sangat mengejutkan, suara ayam itu segera saja menghilang menyusul juga gerakan dari ayam tersebut. Benarkah ayam itu menjadi batu seperti ucapan adiknya? Ilmu apa yang dipakai adiknya?
Hang Natra tak begitu pedulikan itu, dia segera menghampiri Hang Serunting yang tentu saja sangat terkejut mendapati kemunculannya.
“Adik mari kita pulang, maafkan khilaf kakang semalam…”
Hang Serunting beringsut menjauh…
“Tidak! Aku tak mau pulang. Tak semudah itu aku bisa memaafkanmu. Segera kau pergi dan jangan pedulikan aku lagi…”
Hang Natra sempat menyapukan pandangannya kearah ayam tadi yang tarnyata benar saja sudah tak bergerak sama sekali, sudah menjadi batu.
“Kakang mengaku salah, malam tadi tak seharusnya kakang sampai mengusirmu… mari kita pulang…”
“Sudah kukatakan, Aku tak mau pulang! Apa  kau juga sudah menjadi Batu hingga tak mendengar aku!” Jawab Hang Serunting ketus, bersamaan dengan itu juga Hang Natra merasakan sekujur tubuhnya perlahan menjadi dingin, mulutnya tak dapat digerakkan untuk menimpali kata-kata sang adik, sekujur tubuhnya mulai menjadi kaku. Pandangannya pun mulai gelap, sayup-sayup ia masih sempat mendengar suara tawa kemenangan Hang Serunting sebelum akhirnya kesadarannya hilang sama sekali.
.oO
Hang Natra menyeka keringat diwajahnya, nafasnya masih tersengal-sengal. Masih diatas pembaringan, dia terduduk memikirkan mimpi buruk yang baru saja menghampirinya.
“Mungkinkah dia?” Gumam Hang Natra coba mengaitkan beberapa kejadian menggemparkan belakangan ini dengan adiknya. Ada begitu banyak kejadian “Menjadi Batu”, dari Putra Mahkota hingga Rakyat Jelata, mimpi tadi mau tidak mau, percaya tidak percaya menjadi semacam petunjuk bagi Hang Natra. Apa yang harus dia lakukan dan dimana juga dia bisa menemukan Hang Serunting. Mungkinkah dia harus mengganggap ini sebagai mimpi biasa dan tak memperdulikannya sedangkan mimpi tadi telah membuat ia menjadi ikut merasa bersalah dengan semua kejadian menggemparkan itu. Dia harus bergerak menemukan keberadaan Hang Serunting, mencoba mengingat-ingat lagi daerah dalam mimpi itu dan menemukannya didunia nyata. Dia mempunyai firasat akan terjadi sesuatu pula disana dan hal itu berkaitan dengan Hang Serunting adiknya.

Putri Dayang Merindu dan Putri Desta berlari-lari kecil menuruni tangga batu menuju pangkalan. Kegembiraan tertangkap jelas diwajah Putri Dayang Merindu ketika mendapati air sungai yang mengalir tenang lagi jernih itu, dalam otaknya cepat menghitung mundur kapan terakhir kalinya ia mandi di Pangkalan itu bersama teman-temannya. Pangkalan Batu, demikian pangkalan itu diberi nama oleh penduduk karena pangkalan itu satu-satunya yang menggunakan tangga batu didusun Padang Bindu itu, adalah tempat dimana 4 tahun lalu Putri Dayang Merindu bersama teman-temannya masih sering mandi serempak, mencuci piring ataupun pakaian, sebelum akhirnya ia diajak oleh Prabu Amir Rasyid ke Istana. Seperti hari ini sebenarnya dia ingin mengajak teman-temannya ke ayakh tapi itu tak mungkin ia lakukan.
Sesampainya dipangkalan, segera dua kakak beradik itu memakai basahan.
“Ayuk, maukah kita keulu jerambah dan hanyut-hanyutan kesini lagi…” Ajak Putri Desta
Tawaran yang disambut baik oleh Putri Dayang Merindu, mereka berdua menyusuri pinggir sungai kearah berlawanan dengan arus sungai. Mencoba memanfaatkan sebaik mungkin saat-saat berarti bagi Putri Dayang Merindu guna melepas kerinduannya pada Sungai Ogan.
=================OOOOOO====                    
Pada suatu hari Sang Puteri sedang mandi di muara sungai Semuhun, lewatlah seorang pengembara ditempat itu. Tatkala melihat Sang Puteri timbul perasaan ingin menyapa, namun saat itu tidak mendapat perhatian sama sekali sehingga dia merasa gusar. “Sombong sekali puteri ini, diam seperti batu” ujarnya. Tiba-tiba saja tubuh Puteri Dayang Merindu berubah menjadi batu. Kemudian Sang Pengembara memasuki desa, ketika tampak desa yang sepi karena penduduk sedang bekerja disawah dia kembali berkata “Katanya desa tetapi sepi seperti goa batu”. Dan seperti tadi desa tersebut berubah menjadi goa batu.        Ternyata Pengembara tersebut adalah Si Serunting Sakti yang dijuluki Si Pahit Lidah, yang bila menyumpah semua yang terkena akan menjadi batu.
 ==================000ooooo====
=====



Goa Nagabumi

Pada zaman dahulu ada sebuah kerajaan yang sangat besar dan kuat. Kerajaan itu bernama Mataram. Wilayah kekuasaan kerajaan Mataram meliputi seluruh tanah Jawa, bahkan pengaruhnya meluas sampai ke berbagai negeri di seberang lautan. Raja yang bertahta di Kerajaan Mataram itu bergelar Kanjeng Panembahan Senopati. Di bawah pemerintahannya, Kerajaan Mataram dengan pesat berkembang menjadi sebuah kerajaan yang besar.

Sejak sebelum menjadi raja, Kanjeng Panembahan Senopati adalah seorang prajurit yang tangguh dan perkasa. Sikapnya yang satria memperkuat kedudukannya sebagai senopati yang sangat dicintai oleh para bawahannya, dan sangat disegani, baik oleh kawan maupun lawan.

Kanjeng Panembahan Senopati terkenal memiliki kesaktian yang luar biasa dan sangat pintar dalam menyusun siasat perang. Itulah sebabnya, maka banyak raja dari negeri lain menyatakan takluk di bawah kekuasaan Kerajaan Mataram. Kesaktian Kanjeng Panembahan Senopati tidak hanya membuat kerajaan-kerajaan manusia menjadi takut, tetapi juga membuat gentar kerajaan-kerajaan makhluk halus yang ada di Pulau Jawa.


Salah satu dari sekian banyak kerajaan makhluk halus itu ada yang terletak di sekitar Segara Kidul. Kerajaan itu diperintah oleh seorang ratu (raja perempuan) yang bergelar Kanjeng Ratu Kidul. Oleh karena letaknya yang dekat dengan pusat kerajaan Mataram, maka untuk menghindari agar jangan sampai kerajaannya hancur lebur bila bertentangan dengan Kanjeng Panembahan Senopati, maka Kanjeng Ratu Kidul berusaha menggabungkan kerajaannya dengan Kerajaan Mataram.

Suatu saat, ketika Kanjeng Panembahan Senopati sedang mengasingkan diri di pantai selatan, Kanjeng Ratu Kidul menemuinya dengan menyamar menjadi manusia biasa, dalam wujud seorang puteri yang sangat cantik. Melihat kecantikan puteri jelita yang datang menghampiri itu, Kanjeng Panembahan Senopati terpikat hatinya. Singkat cerita, Kanjeng Ratu Kidul lalu diperisteri oleh Kanjeng Panembahan Senopati. Akibat dari perkawinannya dengan Kanjeng Ratu Kidul itu, maka Kerajaan Mataram wilayahnya menjadi sangat luas. Dan, bukan hanya manusia saja, melainkan juga seluruh mahkluk halus di wilayah Pulau Jawa dan sekitarnya menjadi takluk di bawah kekuasaan Kanjeng Panembahan Senopati.

Dari perkawinannya dengan Kanjeng Ratu Kidul, Kanjeng Panembahan Senopati memiliki seorang putera yang dinamakannya Raden Ronggo. Oleh karena ia adalah anak dari dua orang yang sangat sakti, maka Raden Ronggo pun setelah besar, menjadi seorang pemuda yang tampan, dan terkenal sangat sakti. Tak ada seorang pun yang berani membantah kata-kata Raden Ronggo karena kesaktiannya dan juga karena dia adalah putera Kanjeng Panembahan Senopati, raja Mataram.

Makin lama Raden Ronggo menjadi makin sombong, bahkan mulai bertindak sewenang-wenang pada penduduk Mataram. Setiap kemauannya harus tersampaikan. Apabila ada orang yang berusaha membantah atau menghalangi niatnya, dilawannya dengan kekuatan atau kesaktiannya, juga dengan wewenangnya sebagai putera raja. Tidak segan-segan Raden Ronggo menindas, menyiksa, bahkan membunuh siapa saja yang berani menentang atau merintangi maksudnya. Rakyat Mataram pun menjadi resah.

Berita mengenai sikap semena-mena anaknya terhadap rakyat Mataram itu, membuat Kanjeng Panembahan Senopati prihatin. Beliau menyadari kedudukannya sebagai raja, haruslah menjadi pengayom rakyat dan penjamin kesejahteraan hidup rakyat seluruh negerinya. Sangat sedih hati Kanjeng Panembahan Senopati, mengetahui kelakuan puteranya yang ternyata tercela di mata rakyatnya. Seharusnya puteranya bersikap melindungi rakyatnya, tetapi nyatanya malah bertindak sewenang-wenang terhadap rakyat.

Kanjeng Panembahan Senopati adalah seorang raja yang adil dan bijaksana. Tidak kepalang tanggung baginda memberikan hadiah kepada rakyatnya yang berjasa kepada negara. Dan, tidak segan-segan pula beliau menjatuhkan hukuman kepada siapa saja yang melanggar undang-undang.

Namun kali ini ia merasa terpojok. Ternyata puteranya sendiri telah bertindak sebagai warga negara yang melanggar undang-undang. Tidak boleh tidak, ia harus menjatuhkan hukuman yang setimpal kepada puteranya.

Kanjeng Panembahan Senopati menyadari bahwa puteranya sangat sakti. Tak seorang pun dari rakyat dan hambanya mampu mengimbangi kesaktian puteranya itu. Maka dari itu, Kanjeng Panembahan Senopati menentukan sikap untuk tidak akan menyerahkan puteranya kepada pengadilan, sebab tak ada seorang pun dari rakyatnya yang berani bertindak atas diri Raden Ronggo, meskipun berdasarkan putusan pengadilan.

Untuk melaksanakan hukuman atas diri puteranya, Kanjeng Panembahan Senopati lalu memanggil Kanjeng Ratu Kidul, yang bertahta di dasar Segara Kidul. Kepada Kanjeng Ratu Kidul, Kanjeng Panembahan Senopati bersabda: “Puteramu, si Ronggo, ternyata mencemarkan kewibaan keluarga raja, dan tentu saja mencemarkan kewibawaanku sebagai raja. Kalau dia tidak segera disingkirkan, aku khawatir rakyatku makin cemas. Maka dari itu, ambillah dia. Bawalah pulang ke keratonmu.”

“Baiklah kakangmas”, jawab Kanjeng Ratu Kidul.

“Terserah bagaimana caramu menyingkirkan dia dari lingkungan kerajaan Mataram”, sabda baginda.

Setelah mendapat perintah dari Kanjeng Panembahan Senopati, maka Kanjeng Ratu Kidul pun lalu mencari akal untuk mengambil puteranya dari daratan Mataram. Untuk itu, Kanjeng Ratu Kidul mengutus seekor naga yang bertempat tinggal di dasar laut pantai selatan menjemput Raden Ronggo. Namun, naga itu diperintahkan terlebih dahulu untuk memporak-porandakan wilayah perkampungan penduduk yang ada di tepi pantai agar Raden Ronggo terpancing dan berusaha membunuh si naga.

Setelah naga itu naik ke darat, kemudian ia langsung mengganas di wilayah perkampungan penduduk. Naga itu mengganggu ketenteraman penduduk. Ternak-ternak penduduk menjadi mangsa si naga. Orang-orang yang tinggal di sekitar pantai berusaha untuk membunuhnya. Namun hal itu ternyata sia-sia, sebab naga itu sangat sakti. Tak ada seorang pun yang mampu membunuhnya. Makin lama rakyat menjadi makin tintrim (resah, cemas, gelisah, takut). Ulah si naga semakin mengganas. Jumlah ternak yang musnah akibat menjadi mangsa naga itu, makin hari makin bertambah. Penduduk khawatir, jangan-jangan naga itu akhirnya akan memangsa mereka bila jumlah ternak sudah makin menipis.

Warga sekitar pantai kemudian bermusyawarah mencari untuk cara agar si naga dapat segera dimusnahkan. Dalam musyawarah itu, salah seorang diantaranya berkata: “Kalau Raden Ronggo mau bertindak, tentu mampu membunuh naga itu.”

“Ya, ia adalah orang sakti”, sambung yang lain.

“Kalau dia mau, naga itu tentu dapat dibunuhnya,” kata yang lainnya lagi.

“Kalau begitu, sebaiknya kita menghadap padanya”, yang lain mengusulkan.

“Setuju”, lainnya lagi menguatkan. “Kita perlu menghadap Kanjeng Panembahan Senopati, memohon kesediaannya untuk menitahkan Raden Ronggo turun tangan membunuh naga itu.”

Begitulah, Raden Ronggo yang semula dibenci oleh rakyat karena sikapnya yang menindas rakyat dan senantiasa menyiksa rakyat, akhirnya diangkat sebagai pahlawan. Kepada Raden Ronggo, segenap rakyat menumpukan seluruh harapan, untuk membebaskan mereka dari ancaman bencana yang mungkin ditimbulkan oleh naga itu.

Setelah Kanjeng Panembahan Senopati mendengarkan permintaan rakyatnya, yang menggantungkan harapannya kepada Raden Ronggo untuk menolong mereka, maka baginda pun lalu memanggil Raden Ronggo untuk menghadap.

“Ronggo, anakku”, kata baginda kepada puteranya setelah Raden Ronggo duduk bersimpuh di hadapannya. “Kau tahu rakyat kita sekarang dalam keadaan cemas karena adanya naga yang mengganggu ketenteraman.”

“Ya, ayahanda”, jawab Raden Ronggo seraya menyembah dengan hormat.

“Dan kau pun tahu, bahwa tak seorang pun dari rakyat kita yang berani menghadapi naga itu,” kata baginda lagi.

“Ya, ayahanda.”

“Sekarang, bagaimanakah sikapmu?”

“Maksud ayahanda?”

“Apakah engkau sampai hati hanya berdiam diri saja, membiarkan rakyat cemas mengkhawatirkan keselamatan hidupnya?”

Raden Ronggo termenung, kepalanya makin merunduk mendengar sabda baginda yang bernada sedih itu.

Selanjutnya bagianda raja berkata lagi: “Kau harus bertindak, anakku.”

“Jadi maksud ayahanda, hamba harus membunuh naga itu?” sembah Raden Ronggo.

“Ya,” kata baginda dengan tegas. “Kau harus turun tangan. Rakyat tahu, bahwa kau memiliki kemampuan luar biasa. Dan rakyat yakin, bahwa hanya kaulah yang mampu membunuh naga itu.”

Raden Ronggo merenung sejenak, lalu sembahnya: “Kalau ayahanda memerintahkan, hamba pun akan melaksanakannya.”

“Bagus!” kata baginda. “Kalau kau mau bertindak membunuh naga itu, berarti tidak sia-sialah harapan rakyat yang ditumpukan ke pundakmu.”
“Atas perintah baginda, hamba akan bertindak”, sembah Raden Ronggo.

“Bagus”, kata baginda. “Demi keselamatan jiwa rakyat dan ketenteraman negara, aku memerintahkan kau membunuh naga itu.”

Setelah memohon restu dari baginda raja untuk menunaikan tugas berat itu, Raden Ronggo lalu mundur dari hadapan ayahandanya dan berangkat menghadapi naga yang mencemaskan hati rakyat itu.

Setelah mengetahui bahwa Raden Ronggo bersedia turun tangan akan membunuh naga itu, maka segenap rakyat lalu bersorak-sorak: “Hidup Raden Ronggo, hidup Raden Ronggo.”

Begitu keluar dari istana, dengan tenangnya Raden Ronggo berjalan, dan orang banyak berduyun-duyun berjalan di belakangnya. Kepada Raden Ronggo, orang banyak itu menunjukkan lokasi naga itu berada, yaitu di suatu goa dekat pemukiman mereka. Sesampai di depan pintu goa, orang banyak yang mengiringi perjalanan Raden Ronggo itu pun berhenti, sedang Raden Ronggo meneruskan masuk ke dalam goa.

Tidak lama setelah Raden Ronggo masuk ke dalam goa, terdengarlah suara dahsyat dari dalam goa. Terjadilah pertempuran hebat antara Raden Ronggo dengan naga yang ganas itu. Kedua-duanya memiliki kesaktian yang luar biasa. Suara gelegar bagai guruh dan guntur yang menyambar-nyambar terdengar dari dalam goa itu. Tiap gelegar suara diiringi oleh goncangan bumi bagai gempa.

Pada akhirnya suara menggelegar dan goncangan bumi bagai gempa itu pun berhenti. Itu menandakan bahwa pertempuran telah berakhir. Dan, ternyata baik Raden Ronggo maupun sang naga, kedua-duanya mati. Selesainya pertempuran dahsyat yang diakhiri dengan kematian kedua belah pihak itu, alam menyambutnya dengan curahan hujan yang sangat lebat. Segenap rakyat berterima kasih terhadap jasa Raden Ronggo, yang telah mengorbankan dirinya demi kelangsungan hidup rakyat.

Goa tempat berlangsungnya pertempuran antara Raden Ronggo dengan naga yang ganas itu, sampai sekarang masih ada dan dikenal dengan nama Goa Nagabumi.


Sumber:
Suwondo, Bambang. 1981. Cerita Rakyat Daerah Istimewa Yogyakarta. Yogyakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

http://uun-halimah.blogspot.com/search/label/cerita%20rakya




CERITA RAKYAT KALIMANTAN TENGAH.

Liang Saragih

Tidak banyak orang tahu mengenai legenda Liang Saragi. Legenda asal Kalimantan Tengah yang nyaris terlupakan. Cerita dimulai ketika Kerajaan Tumpuk Lusun Bumi Manang Menuh sedang sibuk mencari jodoh bagi sang tuan puteri. Dari sekian banyak pria di desa itu, tidak ada satupun yang berkenan di hati Putri Layu Turus Riwut Pasang Angin. Entah apa yang menyentuh hati Putri Layu. Ia justru memilih pria miskin bernama Saragi.
Singkat cerita, Saragi yang yatim berhasil memenuhi semua persyaratan yang diajukan raja. Bersama ibunya, Saragi dibawa ke istana. Ia dan Putri Layu kemudian melangsungkan pernikahan meriah. Beberapa raja dan pangeran dari negeri tetangga diundang untuk menghadiri pesta pernikahan.

Saat pesta berlangsung, Kerajaan Tumpuk Lusun Bumi Manang Menuh dijatuhi kutukan. Azab itu datang ketika para pemuda pesaing yang datang dari luar kerajaan melanggar perintah raja. Mereka mencemooh Saragi. Kerajaan yang tadinya megah akhirnya hancur diterjang bencana dan berubah menjadi gua dan lautan air.

Saragi selamat namun tidak begitu dengan istrinya. Setelah bencana berakhir, Saragi terus mencari Putri Layu Turus Riwut. Namun, pencarian tidak juga berhasil. Bahkan Saragi tersesat di sebuah goa yang kemudian dikenal dengan nama Liang Saragi.

Pada akhirnya, pasangan ini dipertemukan kembali berkat pertolongan gaib yang dilakukan oleh Suku Dayak. Saragi dan Putri Layu Turus Riwut Pasang Angin kembali bersatu setelah melalui proses reinkarnasi....

Sumber: http://www.kaskus.us/showthread.php?t=1531511






Tidak ada komentar:

Posting Komentar

COACHING DALAM PENDIDIKAN

A. Pendahuluan            Senin, 1 Februari 2021 merupakan hari bersejarah bagi pendidikan Indonesia. Pada hari itu Menteri Pendidikan dan K...