Foto Kegiatan

Minggu, 22 Juli 2012

LEGENDA TERBENTUKNYA PULAU



ASAL MULA PULAU KAKAK BERADIK

Karena dianggap sudah cukup umur, Mina dan Lina dipanggil ibu mereka untuk membicarakan rencana perkawinan kakak-beradik itu.
“Kalian sudah cukup dewasa. Sudah waktunya kalian membangun rumah tangga,” kata sang ibu.
“Kami mau dikawinkan dengan satu syarat,” kata Mina dan Lina.
“Apa syaratnya?”
“Karena kami kakak-beradik, suami kami juga harus kakak-beradik.”
Sang ibu tahu, itu adalah cara mereka menolak perkawinan. Menurut Mina dan Lina, perkawinan membuat orang kehilangan segala sesuatu yang mereka cintai: orang tua, teman, sanak-saudara, bahkan kampung halaman.
Demikianlah, karena tak ada laki-laki kakak-beradik yang menyunting Mina dan Lina, mereka tak kunjung menikah. Waktu pun terus berlalu. Ibu Mina dan Lina meninggal karena usia yang semakin tua. Sepeninggal ibunya, gadis kakak-beradik itu tinggal bersama dengan paman mereka.
Pada suatu hari, sekelompok bajak laut menculik Lina. Pemimpin bajak laut itu ingin memperistri Lina. Lina menolak dan meronta sekuat tenaga.
Penculikan itu diketahui oleh Mina. Karena tak ingin terpisah dari adiknya, Mina bertekad menyusul Lina. Dengan perahu yang lebih kecil, Mina mengejar perahu penculik Lina. Teriakan orang sekampung tak dihiraukannya. Mina terus mengejar sampai tubuhnya tak kelihatan lagi.
Tiba-tiba mendung datang. Tak lama kemudian hujan pun turun. Halilintar menggelegar, petir menyambar-nyambar. Orang-orang berlarian ke rumah masing-masing. Ombak bergulung-gulung. Menelan perahu penculik Lina, menelan Lina, menelan Mina, menelan semuanya.
Ketika keadaan kembali normal, orang-orang dikejutkan oleh dua pulau yang tiba-tiba muncul di kejauhan. Mereka yakin, pulau itu adalah penjelmaan Mina dan Lina. Kedua pulau itu diberi nama Pulau Sekijang Bendera dan Sekijang Pelepah, tetapi kebanyakan orang menyebutnya Pulau Kakak-Beradik.

Sumber :
http://www.ceritaanak.org/index.php?option=com_content&view=article&id=81:cerita-dongeng-anak-pulau&catid=34:cerita-dongeng-anak&Itemid=53




ASAL USUL PULAU BELITUNG


ALKISAH, pada zaman dahulu, di Pulau Bali memerintahlah seorang raja yang adil dan bijaksana. Karena bijaksana dan adilnya, sang Raja sangat disegani dan disayangi rakyatnya. Dikisahkan sang Raja ini mempunyai seorang putri yang cantik jelita. Kecantikannya terkenal hingga ke berbagai pelosok. Hingga setelah menginjak dewasa, banyak pemuda daerah lain hendak melamarnya untuk dijadikan istri.
Suatu hari di antara para pemuda yang datang melamar itu terdapatlah seorang putra mahkota. Namun apa hendak dikata, lamaran itu ditolak putri sang Putri, sehingga Baginda merasa heran. Begitulah yang terjadi hingga lamaran tujuh putra mahkota kerajaan lain selalu ditolak sang putri.
“Mengapa putriku selalu menolak setiap lamaran yang datang?” begitu tanya baginda dalam hati. Baginda raja merasa heran dengan kelakuan putrinya itu. Ia juga malu kepada raja-raja sekitarnya serta khawatir kalau-kalau ada sesuatu yang disembunyikan putrinya.
Karena penolakan tersebut selalu terjadi berulang-ulang, baginda pun bermusyawarah dengan permaisuri. Mencari tahu apa yang membuat sang putri menolak setiap lamaran pemuda yang ingin menjadikannya sebagai istri. Akhirnya, sepakatlah mereka berdua untuk memanggil sang putri dan menanyakan langsung kepadanya.
Pada satu saat permasisuri pun memiliki kesempatan yang tepat untuk memanggil putrinya dan menanyakan latar belakang tingkah lakunya. “Anakku yang cantik, mengapa selama ini ananda selalu menolak lamaran yang datang?” tanya sang permaisuri.
Ditanya demikian sang putri sempat terdiam sesaat. Akhirnya dengan berat hati, sedih bercampur malu sang putri pun menerangkan sikapnya. ”Bukanlah ananda tidak mau menerima lamaran itu. Tapi, merasa malu dengan penyakit yang sedang ananda derita ini,” jawab sang Putri. “Penyakit apakah yang sedang Ananda derita?” tanya sang Permaisuri lagi.
Ditanya demikian sang putri kembali terdiam. Dia tak berani menatap ibunya. Sang Permaisuri pun segera mendekati sang Putri dan memeluk putri kesayangannya itu. Dalam pelukan permaisuri, sambil terisak, sang Putri pun menceritakan ihwal penyakit yang sedang ia derita. Ia menderita penyakit kelamin.
Mendengar jawaban itu, permaisuri pun mengerti dan merasa sedih dengan nasib putrinya itu dan menyampaikannya kepada baginda. Mendengar berita itu baginda sangat bingung. Ia tak tahu harus berbuat apa. Hingga akhirnya ia memutuskan untuk membuat sayembara. Dipanggilnya hulubalang istana.
“Hai hulubalang, buatlah sebuah pengumuman ke seluruh negeri ini. Barang siapa dapat menyembuhkan sang putri, sebagai hadiah akan dinikahkan dengan putriku,” perintah baginda.
Disebarkanlah pengumuman itu ke seluruh negeri. Banyak orang yang datang untuk mencoba menyembuhkan sang putri. Namun, setelah berbagai ikhtiar dilakukan, tak satu pun yang berhasil. Putuslah harapan baginda terhadap kesembuhan putrinya. Karena tak berhasil, baginda pun memilih menempuh jalan lain. Mengasingkan sang putri ke sebuah semenanjung, di sebelah utara Pulau Bali.
Setelah segala sesuatu disiapkan, diantar baginda dan permaisuri beserta pembantu-pembantu istana yang telah ditentukan, sang putri berangkat ke tempat pengasingannya. Sesampai di tempat yang dituju, di tengah hutan, sang putri ditinggal sendiri. Kemudian, setelah memohon kepada dewata bagi perlindungan anaknya, dengan sedih baginda pun meninggalkan tempat tersebut.
Sebetulnya di hutan itu sang putri tak sendiri. Ia ditemani seekor anjing, bernama Tumang. Sesekali waktu datang beberapa orang pembantu istana datang melihat keadaannya sambil membawakan segala keperluan hidup.
Suatu hari, ketika sang putri sedang buang air kecil, dilihat oleh Tumang, anjing peliharaannya itu. Lalu, Tumang pun menjilati air kencing sang putri, juga sisa-sisa air kencing yang melekat di kemaluan sang putri. Sang putri pun membiarkannya. Kejadian seperti itu berlangsung hampir setiap kali sang putri kencing dan cukup lama. Satu keanehan terjadi. Penyakit yang diderita sang putri berangsur sembuh.
Sudah menjadi hukum alam bahwa, manusia adalah makhluk yang lemah. Begitu juga dengan sang putri. Sebagai seorang gadis remaja, ia juga mendambakan kehangatan kasih mesra seorang kekasih. Karena tanpa pengawasan, ditambah lagi asmara yang sedang menggelora, maka perbuatan dengan anjingnya itu berubah sebagai pelampiasan nafsunya yang sedang menggelora. Hari berganti pekan, pekan berganti bulan, kebiasaan sang putri berujung menjadi hubungan kelamin antara kedua makhluk berlainan jenis dan keturunan itu, hingga akhirnya sang putri pun mengandung.
Ketika rombongan dari istana datang meninjau, kelihatanlah bahwa keadaan putri telah berubah dari biasanya. Melihat keadaan itu, pemimpin rombongan menanyakan kejadian sebenarnya yang dialami sang putri. Setelah didesak, sang putri pun berterus terang dan menceritakan apa yang telah dilakukannya dengan si Tumang.
Begitu kembali ke istana, kabar buruk itu pun langsung disampaikan pemimpin rombongan kepada baginda dan permaisuri. Begitu mendengar kabar tersebut, bukan main murkanya baginda. Ingin rasanya ia segera menyudahi putrinya itu.
Setelah beberapa hari berfikir, baginda mendapat cara untuk menyelesaikan persoalan yang menimpa putrinya tersebut. Pada suatu malam, baginda mensucikan diri dan memohon kepada dewata agar putrinya dihukum dengan jalan menghancurkan tempat yang dihuni putrinya berhubung tempat tersebut telah menjadi kotor, sehingga akan mencemarkan nama baik baginda.
Dengan kehendak dewata, beberapa hari kemudian turun hujan sangat deras disertai angin ribut yang sangat besar. Sekejap kemudian putuslah bagian semenanjung utara Pulau Bali yang ditempati sang putri diasingkan, lalu hanyut terapung-apung dibawa gelombang ke utara.
***
Adalah Datu’ Malim Angin dan Datu’ Langgar Tuban, yang sedang memancing ikan menggunakan perahu sampan. Tengah asyik memancing, mereka berdua dikejutkan pemandangan aneh. Tak jauh dari tempat mereka memancing nampak sebuah pulau hanyut melintas terbawa arus laut.
Dalam keheranan, Datu’ Malim Angin segera mengayuh sampannya dan mengejar pulau hanyut tersebut. Begitu berhasil mencapai salah satu bagian pulau tersebut, Datu’ Malim Angin segera naik ke daratan dan mengikatkan tali sauh pada potongan sebatang pohon (konon kabarnya pohon mali berduri, red.). Setelah mengikatkan tali sauh di potongan pohon tersebut, Datu’ Malim Angin segera menancapkannya pada sebuah gunung dan melemparkan jangkarnya ke laut. Seketika pulau hanyut itu pun berhenti. Namun, karena baru terikat pada satu tiang, pulau itu terus berputar.
Melihat pulau tersebut masih terus berputar-putar, Datu’ Malim Angin pun berlari ke arah berlawan dari kayu pertama tadi. Pada sebuah gunung Datu’ Malim Angin berhenti dan mematahkan sebatang pohon baru’ (pohon waru, red.), lalu menancapkannya pada puncak gunung dimana ia tadi berhenti. Setelah itu barulah pulau hanyut tersebut berhenti berputar.
Secara turun temurun cerita pulau Bali yang Terpotong ini berkembang secara lisan di masyarakat. Lama kelamaan penyebutannya berubah menjadi Belitong.
Konon, gunung tempat pertama Datu’ Malim Angin menambatkan tali sauhnya dikenal dengan Gunung Baginde, terletak di Kampung Padang Kandis, Membalong. Gunung ini, oleh mereka yang percaya, dikenal sebagai pancang Selatan Pulau Belitung. Dan, juga menurut mereka yang percaya, sampai sekarang Datu’ Malim Angin




ASAL MULA PULAU SI KANTAN
Labuhan Batu merupakan salah satu kabupaten yang berada di kawasan pantai timur Sumatera Utara. Kabupaten yang beribukota Rantau Prapat ini berjarak kurang lebih 300 km dari ibukota Provinsi Sumatera Utara, Medan, dan dapat ditempuh dengan menggunakan angkutan jalan darat, mobil atau kereta api selama 7-8 jam. Kabupaten ini memiliki Daerah Tujuan Wisata (DTW) yang cukup menarik. Salah satu di antaranya adalah Pulau Si Kantan yang berada di tengah-tengah Sungai Barumun dan berhadapan dengan kota Labuhan Bilik.
Menurut cerita, Pulau Si Kantan dulunya tidak ada. Namun, ratusan tahun yang lalu telah terjadi sebuah peristiwa yang sangat luar biasa, sehingga pulau ini muncul di tengah-tengah Sungai Barumun. Peristiwa tersebut diceritakan dalam sebuah cerita rakyat yang sangat terkenal di kalangan masyarakat Labuhan Batu. Cerita rakyat ini mengisahkan tentang seorang pemuda bernama si Kantan yang menjelma menjadi sebuah pulau. Peristiwa apa sebenarnya yang terjadi, sehingga si Kantan menjelma menjadi sebuah pulau? Ingin tahun jawabannya? Ikuti kisahnya dalam cerita Asal Mula Pulau Si Kantan berikut ini!
Alkisah, pada zaman dahulu kala, di tepi sebuah sungai di daerah Labuhan Batu, Sumatera Utara, hiduplah seorang janda tua bersama seorang anak laki-lakinya bernama si Kantan. Mereka tinggal di sebuah gubuk kecil yang sudah reot. Ayah si Kantan, sudah lama meninggal dunia. Sejak itu, ibu si Kantan-lah yang harus bekerja keras untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka. Si Kantan adalah anak yang rajin dan tekun bekerja. Setiap hari ia membantu ibunya mencari kayu bakar di hutan untuk dijual ke pasar.
Pada suatu malam, ibu si Kantan bermimpi didatangi oleh seorang kakek tua yang tidak dikenalnya. Dalam mimpinya, kakek tua itu menyuruhnya pergi menggali tanah di sebuah tempat di dalam hutan. Pada pagi harinya, ia menceritakan mimpinya tersebut kepada si Kantan. “Wah, itu mimpi yang bagus, Bu! Sebaiknya kita laksanakan petunjuknya. Siapa tahu ini bisa mengubah nasib kita,” ujar si Kantan.
Maka, ibu dan anak itu pergi ke hutan dengan membawa linggis. Sesampainya di hutan, ibu si Kantan berusaha mengingat-ingat petunjuk yang diterima dari kakek tua di dalam mimpinya. “Benar, Anakku! Tempatnya persis di sini!” seru ibu Kantan dengan yakinnya.
“Baiklah, Bu! Semoga ingatan ibu tidak keliru,” kata si Kantan.
Si Kantan pun mulai menggali tanah di bawah sebuah pohon yang besar dengan penuh semangat. Setelah menggali sedalam dua kaki, si Kantan pun menemukan sebuah benda yang terbungkus kain putih yang sudah usang.
“Bu, saya menemukannya!”
“Benda apakah itu, Nak?” tanya sang ibu penasaran.
“Entahlah, Bu!” jawab si Kantan.
Tanpa berpikir panjang, benda panjang yang terbungkus kain itu segera dibukanya. Ternyata benda itu sebuah tongkat emas yang berhiaskan permata.
“Lihatlah, Bu! Benda ini sangat luar biasa.”
“Benar, Anakku! Barangkali Tuhan ingin mengubah nasib kita yang telah lama menderita ini.”
Setelah itu, mereka pun pulang dengan membawa tongkat emas itu. Sesampainya di gubuk, sang ibu menghendaki agar benda itu dijual saja. Hasilnya akan digunakan untuk membeli rumah baru dan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. “Tapi, Ibu! Siapa yang sanggup membeli benda yang sangat berharga ini?” tanya si Kantan. “Benar juga katamu, Nak! Penduduk di desa ini rata-rata hanya petani biasa, yang penghasilannya pas-pasan. Bagaimana jika kamu jual saja di pulau lain?” usul ibu si Kantan.
Si Kantan menerima usulan ibunya dengan senang hati. Namun, di sisi lain, ia sangat sedih karena akan meninggalkan ibunya yang sudah tua itu sendirian.
Keesokan harinya, si Kantan pun berpamitan kepada ibunya. “Jaga diri baik-baik, ya Bu! Setelah benda ini terjual, Kantan akan segera kembali menemui ibu,” ucap si Kantan kepada ibunya. “Baiklah, Anakku! Berangkatlah dan hati-hati di jalan! Jangan lupa cepat kembali kalau sudah berhasil,” seru sang ibu. “Baiklah, Bu! Kantan berangkat!” pamit si Kantan sambil mencium tangan ibunya. Tiba-tiba suasana haru menyelimuti hati ibu dan anak itu. Tak terasa, sang ibu meneteskan air mata, lalu dipeluknya anak satu-satunya itu dengan erat-erat. “Nak, Jangan lupakan ibumu di sini. Cepatlah kembali!” pesan sang ibu. “Iya, Bu! Kantan berjanji kembali secepatnya,” jawab si Kantan membalas pelukan ibunya.
Setelah itu, berangkatlah si Kantan dengan sebuah tongkang menyusuri Sungai Barumun menuju laut lepas, dan seterusnya pergi ke Malaka. Berhari-hari sudah si Kantan terombang-ambing oleh gelombang di tengah laut. Meskipun perjalanan itu menguras tenaga dan membosankan, namun hal itu tidaklah membuat niat si Kantan surut. Ia yakin bahwa hasil dari penjualan tongkat emas itu akan mengubah nasibnya menjadi lebih baik.
Setibanya di Malaka, ia pun segera menawarkan kepada para pedagang di sana. Seluruh pedagang di kota itu sudah ia tawari, namun tak seorang pun yang sanggup membelinya. Ia pun berniat kembali ke kampung halamannya tanpa membawa hasil. Dalam perjalanan menuju ke pelabuhan, ia bertemu dengan beberapa hulu balang dari Kerajaan Malaka yang sedang berkeliling ronda di kota itu.
“Hai, Anak Muda! Benda apa yang sedang kamu bawa itu?” tanya salah seorang hulu balang.
“Tongkat Emas, Tuan!” jawab si Kantan. Lalu ia menceritakan maksud kedatangannya ke kota itu.
“Bagaimana jika benda itu kamu tawarkan kepada raja kami? Siapa tahu beliau tertarik,” hulu balang lainnya menawarkan.
Si Kantan menerima tawaran itu. Ia kemudian dibawa untuk menghadap kepada sang raja. Setibanya di istana, para hulu balang melaporkan kepada raja, bahwa pemuda miskin itu ingin menjual sebuah benda yang sangat berharga. Sang Raja kemudian mengamati benda itu. “Aduhai, istimewa sekali benda ini,” gumam Baginda Raja.
Setelah itu, ia berkata kepada si Kantan, “Hai, Anak Muda! Aku sangat tertarik dengan tongkat emas engkau ini. Tapi, aku tidak ingin membelinya dengan uang. Bagaimana jika engkau tinggal di istana ini dan aku jadikan menantuku?” sang Raja menawarkan.
“Ampun, Baginda! Jika itu kehendak Baginda, hamba menerima tawaran itu,” jawab si Kantan sambil memberi hormat.
Seminggu kemudian, si Kantan pun dinikahkan dengan putri raja yang cantik jelita. Pesta pernikahannya dilangsungkan dengan sangat meriah. Sejak itu, si Kantan resmi menjadi anggota keluarga istana Kerajaan Malaka. Ia bersama istrinya hidup bahagia di istana. Kehidupan yang serba mewah membuat si Kantan lupa kepada ibunya yang sudah tua dan hidup sendirian di kampung. Sementara itu, sang istri selalu mendesak ingin bertemu mertuanya dan ingin melihat kampung halaman suaminya. “Kanda… ! Kapan Kanda akan mengajak Dinda untuk menemui ibu di kampung?” tanya sang istri. Mula-mula si Kantan enggan mengabulkan permintaan istrinya dengan alasan sibuk mengurus istana. Namun, karena didesak terus oleh istrinya dan direstui oleh Baginda Raja, maka si Kantan pun tidak bisa mengelak lagi. “Baiklah, Dinda! Besok pagi kita berangkat,” janji si Kantan kepada istrinya.
Dengan menggunakan kapal pribadinya yang besar dan mewah, si Kantan dan istrinya beserta puluhan prajurit istana berlayar menuju Pulau Sumatera. Setelah berhari-hari mengarungi Selat Malaka, akhirnya kapal si Kantan berlabuh di kota kecil, Labuhan Bilik, yang terletak di muara Sungai Barumun. Penduduk setempat sangat terkejut dengan kehadiran kapal sebesar itu. Mereka pun berdatangan ke pelabuhan ingin melihatnya dari dekat.
“Waaah, megah sekali kapal itu! Tapi, siapa pemiliknya?” kata seorang penduduk penasaran.
“Hai, lihat itu!” seru penduduk lainnya sambil menunjuk ke arah seorang laki-laki gagah bersama seorang wanita cantik berdiri di anjungan kapal.
“Bukankah laki-laki itu si Kantan?” tanya seorang penduduk mengenali si Kantan.
“Benar! Ia adalah si Kantan, pemuda yang tinggal di gubuk di tepi sungai itu,” kata seorang penduduk yang juga mengenal si Kantan.
Maka tersiarlah kabar bahwa si Kantan telah menjadi kaya-raya, bagai seorang raja dengan kapalnya yang besar dan megah. Akhirnya, kabar kedatangan si Kantan pun terdengar oleh ibunya. Perempuan tua itu sangat gembira, karena anak yang ditunggu-tunggunya selama bertahun-tahun telah kembali. Saat menerima berita itu, ia memutuskan untuk menunggu anaknya dengan sabar di gubuk reotnya. Namun, setelah beberapa lama menunggu, anak yang dirindukannya tak kunjung datang. Akhirnya, ibu tua itu memutuskan untuk menyusul anaknya di pelabuhan.
Dengan menggunakan sampan, janda tua itu menyusuri Sungai Barumun menuju pelabuhan tempat kapal si Kantan berlabuh. Ia sudah tidak sabar lagi ingin memeluk anak yang sangat disayanginya itu. Dengan sekuat tenaga, ia mengayuh sampannya lebih cepat lagi. Akhirnya, tampaklah dari kejauhan sebuah kapal besar sedang bersandar di pelabuhan. “Jika benar kata orang-orang, kapal itu pasti milik si Kantan anakku,” pikir janda tua itu. Dengan sisa tenaga yang dimilikinya, ia terus mengayuh sampannya mendekati kapal megah itu.
Ketika sampan yang dinaiki sudah semakin dekat dengan kapal besar itu, ia segera memanggil anaknya.
“Kantaaan… !!! Kantaaan… !!! 
Kantan anakkuuuuu… !!!”
Mendengar suara teriakan dari luar kapal, istri si Kantan pun bertanya kepada si Kantan,
“Kanda! Suara siapakah yang memanggil-manggil nama Kanda?”
“Ah, itu hanya orang gila,” jawab si Kantan pura-pura tidak peduli, walaupun sebenarnya ia sangat mengenal bahwa suara itu adalah suara ibunya. Namun, ia malu memperkenalkan istrinya dengan ibunya yang miskin lagi tua itu.
Panggilan si ibu kembali terdengar semakin dekat.
“Kantan, Anakku!!! Kamu di mana… ?”
“Ini ibumu datang, Nak!” teriak sang ibu.
Maka semakin yakinlah istri si Kantan, kalau yang memanggil suaminya itu adalah mertuanya. Ia semakin penasaran ingin melihat ibu mertuanya yang sudah lama ia rindukan. Ia pun segera lari keluar kapal, tapi disusul oleh si Kantan. Dari anjungan kapal, tampaklah oleh mereka seorang perempuan tua yang sedang mendayung sampan ke arah kapalnya.
“Kantaaan…Anakku! Aku ini ibumu yang telah kau tinggalkan dulu,” teriak ibu tua itu.
“Hei, perempuan jelek! Enak saja mengaku-ngaku sebagai ibuku. Aku tidak punya ibu seburuk kamu!” hardik si Kantan dengan kesal.
“Tenang, Kanda! Siapa tahu wanita itu benar ibu Kanda. Sepertinya ia sangat mengenal Kanda,” sahut sang istri menenangkan suaminya.
“Tidak, Istriku! Ia bukan ibuku. Ibuku masih muda dan cantik,” bantah si Kantan.
“Hei, orang tua gila! Jangan dekati kapalku. Dasar perempuan pembawa sial!” si Kantan kembali mencaci-maki ibunya.
“Pengawal! Usir dia dari sini!” perintah si Kantan.
Setelah beberapa pengawal mengusir perempuan tua itu, si Kantan kembali memerintahkan pengawalnya untuk memutar haluan kapal dan kembali ke Malaka.
Sementera itu, perempuan tua itu bagai disambar petir melihat perilaku anak kesayangannya, yang sungguh di luar dugaan. Dadanya terasa sesak, air matanya pun tak terbendung lagi. Dengan sisa tenaganya, ia mengayuh sampannya kembali ke gubuknya dengan perasaan hancur-lebur. Ia sangat sedih karena telah diusir oleh anak kandungnya sendiri. Dengan deraian air mata, ia pun berdoa, “Ya Tuhan, anak itu telah mendurhakai ibunya yang telah melahirkan dan membesarkannya ini. Berilah ia pelajaran, agar ia menjadi anak yang tahu berbakti kepada orang tua!”
Baru saja ucapan itu lepas dari mulut sang ibu, tiba-tiba petir menyambar, hujan badai yang sangat dahsyat pun datang. Tak berapa lama, air Sungai Barumun pun bergulung-gulung lalu menghantam kapal si Kantan dengan bertubi-tubi. Tak ayal lagi, kapal besar yang megah itu pun tenggelam ke dasar Sungai Barumun. Seluruh awak kapal tak dapat menyelamatkan diri, termasuk si Kantan dan istrinya. Setelah kapal itu sudah tak tampak lagi, suasana kembali tenang seperti semula.
Beberapa hari kemudian, muncullah sebuah pulau kecil di tempat kejadian itu, yaitu tepatnya di tengah-tengah Sungai Barumun dan berhadapan dengan kota Labuhan Bilik. Kemudian pulau itu oleh masyarakat setempat diberi nama Pulau Si Kantan.

.





ASAL USUL PULAU KEMARAU


Dikisahkan, Tan Bun An seorang bangsawan Tiongkok mengarungi samudera dalam kegiatannya berdagang. Kemudian ia singgah di sebuah negeri yang dikenal dengan nama Palembang. Setelah beberapa hari Tan Bun An ini berada di Palembang, ia berkenalan dengan Siti Fatimah, gadis asli Palembang yang cantik nan menawan.
Perkenalannya berlanjut dengan cinta sehingga Tan Bun An berniat memperistri Siti Fatimah. Namun, ia harus pulang terlebih dahulu ke negerinya untuk mengabarkan keinginannya kepada keluarga besarnya. Beberapa bulan kemudian, Tan Bun An dengan beberapa armada kapal laut dan dikawal beberapa prajurit asal negerinya kembali berlayar ke Palembang. Dia sampai dengan selamat dan langsung menuju ke kediaman Siti Fatimah yang dijaga ketat para punggawa kerajaan. Singkat cerita, keduanya menikah dengan perayaan meriah.
Tiba-tiba, hati raja dan permaisuri gelisah ketika mendengar putri mereka akan diboyong ke negeri Tiongkok guna diperkenalkan Tan Bun An kepada keluarga besarnya. Semula sang raja dan permaisuri dengan berat hati melepaskan kepergian anaknya untuk berlayar menempuh samudera yang luas. Namun, dengan bijaksana sang raja dan permaisuri pun melepaskan anaknya pergi ke Tiongkok setelah mendengar Tan Bun An berjanji akan menjaga Siti Fatimah seperti menjaga nyawanya sendiri. Tan Bun An berjanji akan membawa kembali Siti Fatimah ke Palembang setelah enam purnama.
Tan Bun An ternyata bukan seorang bangsawan yang tidak menepati janji. Ketika waktu enam purnama tiba, ia langsung menceritakan janjinya kepada ayah dan ibunya untuk kembali ke negeri Palembang. Keinginan Tan Bun An direstui keluarganya. Bahkan, Tan Bun An dibawakan emas yang akan dipersembahkan ke negeri Palembang.
Hari demi hari, sampailah armada perahu layar Tan Bun An di Sungai Musi. Saking senangnya, Tan Bun An minta diperlihatkan upeti yang akan dipersembahkannya kepada sang Raja Negeri Palembang. Betapa kecewanya Tan Bun An setelah melihat upeti emas yang dimasukkan dalam kotak-kotak kayu itu berisi sayuran. Tan Bun An merasa malu jika sampai ketahuan upetinya hanya berupa sayuran. Maka, dengan emosi, dibuangnyalah peti-peti itu ke sungai. Ternyata, dalam peti-peti itu memang ada emas yang dicampurkan dengan sayur supaya terhindar dari para perompak. Karena menyesal, akhirnya Tan Bun An beserta Siti Fatimah dan armada kapalnya menenggelamkan diri di alur Sungai Musi. Bangkai kapal dan muatannya yang tenggelam itu akhirnya menjadi onggokan tanah yang sekarang kita kenal sebagai Pulau Kemarau.



LEGENDA TERBENTUKNYA PULAU SANGKAR AYAM

Alkisah, di Pantai Solop, Indragiri Hilir, Riau, Indonesia, ada seorang guru mengaji dan silat yang bernama Tuk Solop. Umurnya sudah mulai udzur. Janggutnya yang lebat sudah berwarna putih. Jika berjalan, ia harus ditopang dengan tongkat sakti pemberian gurunya. Tuk Solop seorang guru yang sakti dan terkenal hingga ke pelosok negeri. Walaupun sakti, ia tetap rendah hati. Ia sangat sopan dan santun jika bertutur sapa. Kepada yang muda ia sayangi, dan kepada yang tua ia hormati. Ia memiliki banyak murid yang datang dari berbagai pelosok negeri. Namun herannya, sejak tujuh purnama yang lalu tidak ada lagi yang hendak berguru kepadanya. Murid-muridnya yang sudah tamat kini sudah pergi, tidak tersisa seorang murid pun. Pantai Solop pun menjadi sepi.
Sementara itu, tidak jauh dari Pantai Solop, ada sebuah dusun yang bernama Serimba. Di dusun itu ada seorang pemuda bernama Pendekar Katung. Ia sangat sakti dan memiliki ilmu silat tingkat tinggi. Kerisnya dapat menyala bagaikan halilintar. Tubuhnya kebal terhadap segala jenis senjata tajam. Namun, sifatnya bertolak belakang dengan sifat Tuk Solop. Ia sangat angkuh dan sombong. Ia memiliki berpuluh-puluh murid dan pengawal yang setia.
Pendekar Katung adalah seorang pendekar yang kaya-raya. Ia menjadi kaya karena selalu menang taruhan menyabung ayam. Ia memiliki ayam jago yang belum terkalahkan. Sudah ratusan ayam yang mati oleh ayam jagonya itu, sehingga Pendekar Katung semakin terkenal sampai ke pelosok negeri. 
Pendekar Katung juga memiliki seorang adik perempuan yang cantik jelita bernama Suri. Sebenarnya, Suri bukanlah adik kandungnya, tapi ia adalah anak dari seorang penyabung yang sudah meninggal, karena mempertaruhkan nyawanya dengan Pendekar Katung. Ayah Suri dibunuh oleh pengawal Pendekar Katung di tengah hutan Serimba. Suri yang masih bayi saat itu kemudian diasuh oleh Pendekar Katung hingga menjadi seorang gadis cantik jelita.
Pada suatu ketika, seorang pengembara muda datang ke Pantai Solop. Kedatangannya ke pantai itu hendak menuntut ilmu. Ia pernah mendengar bahwa di pantai itu ada seorang guru sejati yang tidak memiliki murid dan tengah mencari murid yang setia untuk mewariskan ilmunya, karena sebentar lagi akan menghadap kepada Yang Kuasa.
Sesampainya di Pantai Solop, pengembara muda itu kebingungan, karena tidak seorang pun yang ditemuinya. Ia hanya menyaksikan pantai pasir putih yang begitu indah dan deburan ombak yang memecah suasana sunyi.
”Kenapa tidak ada siapa-siapa di tempat ini? Di mana sang Guru itu?” tanya Pengembara Muda itu dalam hati.
Setelah melayangkan pandangan ke sekelilingnya, orang yang dicarinya tidak juga ditemukan. Akhirnya, untuk menghilangkan rasa letih setelah berjalan cukup jauh, ia pun duduk di bawah sebuah pohon di pantai itu sambil menikmati siliran angin laut dan menyaksikan gulungan ombak sedang berkejar-kejaran.
Di tengah menikmati pemandangan yang indah itu, tiba-tiba dari kejauhan tampak seseorang menuju ke arahnya. Mulanya ia mengira bahwa sosok itu hanyalah sebuah bayangan. Namun, setelah orang itu mulai mendekat hatinya pun mulai lega.
“Mmm, berarti memang ada kehidupan di tempat ini,” gumam Pengembara Muda itu.
“Apakah dia itu sang Guru yang sedang saya cari?” tanyanya dalam hati.
Ketika orang itu betul-betul berada di dekatnya, tiba-tiba keraguan bercampur rasa kagum menyelimuti hatinya. Ternyata orang yang menghampirinya itu adalah seorang gadis cantik jelita nan elok rupawan.
“Amboi, cantik sekali gadis ini! Jangan-jangan ia seorang bidadari yang turun dari kayangan,” pikirnya dalam hati.
Laksana tersihir, Pengembara Muda itu diam tidak bergerak, saat gadis itu menyapanya dengan lemah lembut.
“Abang mau ke mana? Sepertinya Abang bukan orang daerah ini?”
Pengembara itu masih tetap diam menatap gadis itu tanpa berkedip sedikit pun. Keraguan kembali menyelimuti hatinya. Ia berpikir, jangan-jangan gadis itu adalah hantu jambangan yang hendak mengganggunya. Mustahil seorang gadis cantik tinggal sendirian di tempat yang sunyi itu.
”Kenapa Abang menatapku seperti itu? Abang tidak usah takut. Saya juga manusia seperti Abang,” ujarnya meyakinkan Pengembara Muda itu.
”Benarkah? Tapi, kenapa kamu ada di tempat ini seorang diri?” Pengembara Muda itu balik bertanya berusaha menghilangkan keraguannya.
”Benar, Bang! Nama saya Suri. Saya tinggal di balik hutan sebelah sana. Kampung kami di sana,” jelas gadis yang menyebut namanya Suri itu.
Mendengar penjelasan Suri, keraguan Pengembara Muda itu pun mulai hilang. Namun, matanya tidak berkedip terus menatap Suri.
”Sudahlah, Bang! Janganlah menatapku seperti itu, saya jadi takut!” seru Gadis itu.
”Maaf, Abang hanya kagum melihat kecantikan, Dik Suri. Secantik-cantik gadis di negeri Abang, tidak seorang gadis pun yang dapat menyamai kecantikan, Dik Suri!” puji Pengembara Muda itu.
”Ah, Abang! Suri jadi malu,” kata Suri sambil tersenyum malu.
”Benar, Dik! Abang benar-benar kagum dengan keelokan wajahmu dan kelembutan tutur sapamu,” puji Pengembara itu mencoba untuk mencuri hati sang Gadis.
”O iya, nama saya Bujang Kelana,” sambung Pengembara Muda itu sambil memperkenalkan namanya.
”Kalau boleh tahu, Abang dari mana dan apa maksud kedatangan Abang ke tempat ini?” tanya Suri ingin tahu.
”Abang ini seorang pengembara hendak berguru di tempat ini. Kabar yang tersiar di negeri Abang, di tempat ini ada seorang guru yang alim sedang mencari murid untuk mewariskan ilmunya. Apakah Adik mengetahui guru itu?” Bujang Kelana balik bertanya.
”Iya, memang di tempat ini ada seorang guru terkenal yang bernama Tuk Solop. Namun, sejak murid-muridnya pindah berguru kepada Pendekar Katung, ia pun pergi entah ke mana,” jelas Suri.
”Pendekar Katung? Rasanya Abang pernah mendengar nama itu. Apakah adik juga mengenalnya?” tanya Bujang Kelana penasaran.
Mendengar pertanyaan itu, gadis cantik langsung pergi tanpa memberikan jawaban sedikit pun. Sepertinya ia sedang menyembunyikan sesuatu.
”Suri....! Kenapa kamu pergi?” teriak Bujang Kelana.
”Kembalilah, Abang belum selesai bicara!” teriaknya lagi.
”Kalau Abang mau bicara denganku, tunggu aku besok pagi di tempat ini,” jawab Suri sambil berlari pergi meninggalkan tempat itu.
Bujang Kelana sangat heran dan terdiam. Kenapa saat menyebut nama Pendekar Katung, tiba-tiba ia pergi begitu saja. ”Ada apa gerangan dengan Suri? Apa aku telah menyinggung perasaannya?” pikirnya dalam hati sambil melayangkan pandangannya ke arah Suri yang berlari menuju ke hutan.
Setelah Suri menghilang di balik pepohonan, Bujang Kelana pun berniat pergi. Namun, ketika hendak beranjak, tiba-tiba seorang laki-laki buta sedang memegang tongkat keluar dari balik semak-semak sambil berjalan tertatih-tatih menghampirinya. Bujang Kelana pun mulai takut.
”Hai, Anak Muda! Kamu tidak usah takut. Aku telah mendengar semua pembicaraan kalian. Perlu kamu ketahui, gadis cantik itu adalah adik Pendekar Katung,” ujar Datuk Buta itu.
”Tapi, kenapa dia pergi saat saya menyebut nama Abangnya itu?” tanya Bujang Kelana penasaran.
”Pendekar Katung adalah pemuda yang gagah berani dan sakti. Tapi sayang, ia tidak menggunakan ilmu kesaktiannya untuk kebajikan. Ia seorang pendekar aliran ilmu hitam. Kesaktiannya ia gunakan untuk menyiksa orang lain. Selain itu, ia juga sangat gemar menyabung ayam. Apa pun ia jadikan sebagai taruhan. Jangankan harta, nyawanya sekali pun ia pertaruhkan,” jelas Datuk Buta itu.
”O, iya, Anak Muda! Kamu siapa dan kenapa datang ke tempat ini?” Datuk Buta itu balik bertanya kepada Bujang Kelana.
”Kedatangan saya ke tempat ini hendak berguru kepada Tuk Solop,” jawab Bujang Kelana.
”Ooo... begitu!” sahut Datuk Buta sambil mengangguk-anggukkan kepala.
”Apakah Datuk mengetahui keberadaannya?” tanya Bujang Kelana.
”Tuk Solop sudah lama meninggalkan tempat ini. Saya juga tidak tahu ke mana perginya.
Ia pergi karena tidak ada lagi yang mau berguru kepadanya. Orang-orang benci kepadanya, karena dipengaruhi oleh Pendekar Katung. Sebenarnya, ia sudah lama mencari seorang murid yang setia untuk mewariskan ilmunya, namun tidak seorang pun yang bersedia. Akhirnya, ia pun pergi entah ke mana,” jelas Datuk Buat itu.
Usai memberikan penjelasan kepada Bujang Kelana, Datuk Buta itu bergegas mohon diri, karena dari kejauhan ia merasakan seseorang sedang menuju ke arah mereka melalui indra keenamnya. Bujang Kelana pun semakin heran.
”Kenapa orang-orang yang saya temui di tempat ini semuanya tergesa-gesa pergi? Aneh, sungguh aneh!” gumam Bujang Kelana penuh rasa heran.
Benar firasat Datuk Buta itu, beberapa saat kemudian, Suri tampak berlari menuju arah Bujang Kelana.
”Bang! Tolong Suri, Bang!” seru Suri tergesa-gesa dengan nafas yang masih tersengau-sengau.
”Apa yang terjadi denganmu, Suri? Bukankah Suri besok pagi baru kembali ke mari?” tanya Bujang Kelana penasaran.
”Pendekar Katung hendak menikahiku,” jawab Suri sambil menoleh ke belakang, karena takut Pendekar Katung menyusulnya.
”Kenapa bisa? Bukankah dia itu Abangmu?” tanya lagi Bujang Kelana.
”Sudahlah, Bang! Jangan banyak tanya dulu! Ayo kita pergi dari sini!” ajak Suri sambil menarik tangan Bujang Kelana.
Bujang Kelana tidak dapat berbuat apa-apa, kecuali menuruti kemauan Suri. Setelah merasa aman dari kejaran Pendekar Katung, Suri pun menceritakan perihal dirinya bahwa sebenarnya ia bukanlah adik kandung Pendekar Katung. Ibunya telah meninggal semasa Suri masih kecil. Sejak itu Suri hidup bersama ayahnya. Namun, ayahnya dipengaruhi oleh Pendekar Katung untuk menggelar sabung ayam. Ayahnya selalu kalah taruhan dalam gelar sabung ayam.
Akhirnya, ayahnya bangkrut. Rumah sebagai harta mereka satu-satunya juga melayang, karena kalah taruhan. Oleh karena tidak lagi memiliki harta yang bisa dipertaruhkan, akhirnya ayahnya nekad mempertaruhkan nyawanya. Namun, malang nasib ayahnya, ayam jagonya kalah dan mati di tengah gelanggang. Ayahnya pun disiksa dan dibunuh, lalu dibuang ke tengah hutan. Sejak itu, Suri diasuh oleh Pendekar Katung hingga dewasa seperti sekarang ini.
”Abang ikut prihatin atas musibah yang menimpa ayahmu, Suri!” kata Bujang Kelana dengan perasaan haru setelah mendengar cerita Suri.
Dalam suasana haru itu, tiba-tiba mereka dikejutkan dengan kehadiran Datuk Buta di hadapan mereka.
”Eh, Datuk! Kenapa Datuk masih di sini? Bukankah tadi Datuk sudah pergi?” tanya Bujang Kelana terkejut.
”Aku tidak pergi. Aku bersembunyi di balik semak-semak itu,” jawab Datuk Buta itu.
”Kalau benar yang diceritakan Suri itu, berarti aku adalah ayahnya,” lanjutnya.
”Apa maksud, Datuk?” tanya Suri terkejut seolah-olah tidak percaya.
”Benar, Suri! Aku adalah ayahmu. Dulu namamu adalah Intan. Namun rupanya Pendekar
Katung yang bejat itu telah mengganti namamu. Tapi, tak apalah, Nak! Karena semua orang lebih mengenalmu Suri daripada Intan. Mulai sekarang namamu Intan Suri,” jelas Datuk Buta itu.
”Tapi, kenapa Datuk masih hidup? Bukankah Datuk telah dibunuh Pendekar Katung?” tanya Suri penasaran.
”Panjang ceritanya, Nak! Nanti Ayah ceritakan semua setelah Pendekar Katung yang biadab itu mati,” jawab Datuk Buta.
Suri pun merasa yakin, kalau Datuk Buta itu adalah ayahnya. Ia pun segera memeluknya. Sang Ayah pun membalas pelukan putrinya yang sudah lama ia rindukan.
”Maafkan Ayah, Nak! Ayah sangat menyesal, karena membuat hidupmu sengsara,” kata Datuk Buta itu sambil meneteskan air mata.
”Tidak apa-apa, Ayah! Yang penting sekarang kita sudah berkumpul kembali,” jawab Suri yang kini memanggil Ayah kepada Datuk Buta itu.
”Baiklah, Nak! Sekarang mari kita mengatur siasat bagaimana cara menyingkirkan Pendekar Katung dari muka bumi ini!” seru Ayah Suri.
”Tapi, Ayah! Pendekar Katung itu sangat sakti. Ia kebal terhadap segala senjata tajam,” kata Suri dengan perasaan khawatir.
”Tidak perlu khawatir, Nak! Ayah tahu kelemahannya,” jawab Ayahnya dengan penuh keyakinan.
Suri dan Ayahnya serta Bujang Kelana pun bermusyawarah untuk mengatur siasat bagaimana membinasakan Pendekar Katung. Pertama-tama mereka bermufakat untuk mengganti ayam jago Pendekar Katung dengan ayam milik Ayah Suri yang mirip sekali dengan ayam jago Pendekar Katung. Setelah itu, mereka akan menantang Pendekar Katung untuk menggelar sabung ayam yang diwakili oleh Bujang Kelana. Kini penantang Pendekar Katung bukan lagi penduduk Negeri Serimba, melainkan seorang pemuda dari sebuah negeri nun jauh di sana.
Pelaksanaan pagelaran akbar itu pun diumumkan di berbagai tempat. Seluruh penduduk Serimba maupun negeri-negeri di sekitarnya sudah mengetahui pagelaran akbar itu.
Pagelaran akbar yang ditunggu-tunggu oleh khalayak ramai pun tiba. Seluruh penduduk Negeri Serimba dan negeri-negeri sekitarnya telah berkumpul ingin menyaksikan pertarungan yang mendebarkan itu. Beberapa saat kemudian, pertarungan pun dimulai. Tampak Tim Yuri duduk di pinggir lapangan menyaksikan dengan seksama untuk memberikan penilaian.
Pada awalnya, pertandingan itu tampak seimbang. Ayam jago Pendekar Katung yang sebetulnya hanyalah ayam jago biasa mampu memberikan perlawanan. Namun, karena ayam jago Bujang Kelana adalah ayam jago Pendekar Katung yang terkenal ganas dan gesit itu, maka hanya dalam hitungan menit saja, ayam jago Pendekar Katung mulai terdesak dan akhirnya mati tidak berdaya.
Pendekar Katung yang menyaksikan pertarungan itu sangat terkejut melihat kejadian itu. Ia sangat malu, karena yang menyaksikan pertarungan tersebut tidak hanya penduduk Negeri Serimba, tetapi juga dari negeri-negeri lain.
”Ah, mustahil ayam jagoku mati!” seru Pendekar Katung mulai kesal.
Oleh karena tidak terima ayam jagonya kalah, Pendekar Katung mulai naik pitam. Ia pun segera memerintahkan beberapa pengawal setianya untuk mengusir Bujang Kelana. Mengetahui dirinya terancam, Bujang Kelana pun segera melarikan diri ke Pantai Solop untuk menemui Datuk Buta dan Suri yang sengaja tidak hadir menyaksikan pertarungan itu.
”Pengawal! Ayo kita kejar pemuda brengsek itu!” perintah Pendekar Katung.
Pendekar Katung beserta puluhan pengawalnya mengejar Bujang Kelana sampai ke Pantai Solop. Di pantai berpasir putih itu Bujang Kelana terdesak. Belum sempat menemui Datuk Buta, tiba-tiba ia sudah diserang oleh beberapa pengawal Pendekar Katung. Bujang Kelana pun tidak mau mengalah begitu saja. Pantang menyerah sebelum ajal tiba, tekadnya.
Bujang Kelana melakukan perlawanan dengan segala kemampuan yang dimiliki. Awalnya, ia mampu menghindari serangan yang datang bertubi-tubi kepadanya. Namun, karena dikeroyok oleh beberapa orang, ia pun mulai terdesak. Tidak dapat dielakkan lagi, seorang pengawal Pendekar Katung menusukkan tombaknya. Untung tombak itu hanya mengoyak paha Bujang Kelana.
Pada saat yang bersamaan, dengan secepat kilat, Datuk Buta melompat dari balik semak-semak langsung mencekik leher Pendekar Katung dari belakang. Pendekar Katung pun meronta-ronta dan berusaha untuk melepaskan diri. Namun, cekikan Datuk Buta sangat kuat, sehingga ia tidak dapat bergerak.
”Bujang Kelana! Cepat tusukkan senjatamu ke perut Pendekar Katung!” teriak Datuk Buta.
Bujang Kelana tidak dapat langsung menusukkan senjatanya kepada Pendekar Katung, karena ia masih kewalahan menahan serangan dari para pengawal Pendekar Katung yang datang bertubi-tubi.
”Cepat, Kelana! Tubuh Pendekar Katung akan tembus ditusuk senjata jika ia dipeluk oleh orang buta,” teriak lagi Datuk Buta.
Mengetahui kelemahan Pendekar Katung itu, Bujang Kelana segera mengadakan perlawanan. Dengan sisa-sisa tenaga yang dimiliki, ia berbalik menyerang. Setelah para pengawal Pendekar Katung terdesak, dan bahkan sebagian lari tunggang-langgang menuju ke semak-belukar, dengan secepat kilat Bujang Kelana segera menusukkan senjatanya bertubi-tubi ke bagian perut dan dada Pendekar Katung. Seketika itu pula, Pendekar Katung langsung lemas tidak berdaya. Datuk Buta pun segera menghempaskan tubuh Pendekar Katung ke atas pasir.
”Hei, Katung! Kamu tahu siapa aku. Aku adalah Ayah Suri yang pernah kamu bunuh dan buang di tengah hutan. Tapi karena umurku masih dipanjangkan oleh Yang Kuasa, aku masih bisa hidup hingga sekarang,” ujar Datuk Buta.
”Gurumulah yang telah menyelamatkanku. Beliau juga yang telah memberitahukan kepadaku tentang kelemahanmu,” tambah Datuk Buta.
Pendekar Katung yang sudah sekarat itu tidak dapat memberikan jawaban sedikit pun. Beberapa saat kemudian, Pendekar Katung pun mengembuskan nafas terakhirnya. Melihat tuannya mati, beberapa pengawalnya yang masih tersisa langsung melarikan diri.
”Terima kasih, Kelana, karena telah membantuku menyingkirkan Pendekar Katung. Mari kita temui Intan Suri!” ajak Datuk Buta.
Namun, baru akan beranjak dari tempat mereka, tiba-tiba Intan Suri keluar dari balik semak-semak dengan berlumuran darah.
”Suri, apa yang terjadi denganmu?” tanya Bujang Kelana panik.
”Seorang pengawal Pendekar Katung mengetahui tempat persembunyianku di balik semak-semak itu. Ia hendak membunuhku, karena mengetahui aku yang telah menukar ayam jago tuannya,” jelas Suri dengan nada lemas.
”Bang Bujang! Maafkan Suri, Bang! Suri mencintai Abang, tapi mungkin kita tidak ditakdirkan hidup bersama,” sambung Suri meneteskan air mata.
”Jangan berkata begitu, Dik! Kita pasti akan hidup bersama, karena Abang juga sangat mencintai Adik,” ungkap Bujang Kelana dengan sedih.
”Bang, tolong jaga negeri dan penduduk Serimba serta Pantai Solop ini agar tetap aman dan damai,” pesan Suri terbatuk-batuk.
Beberapa saat kemudian, denyut nadi Intan Suri berhenti berdetak. Rupanya pesan itu merupakan pesan terakhir Intan Suri sebelum mengembuskan nafas terakhirnya. Mengetahui kekasihnya telah meninggal dunia, Bujang Kelana berteriak dengan sekeras-kerasnya.
”Intan Suriiiiiii.....!!!”
Usai berteriak, Bujang Kelana terdiam kaku dengan air mata berlinang memandang wajah kekasihnya yang cantik jelita itu.
”Sudahlah, Nak Kelana! Aku juga sangat sedih ditinggal oleh putri semata wayangku. Aku merasa sangat berdosa, karena tidak dapat menjaganya dengan baik,” ucap Datuk Buta dengan penuh penyesalan.
”Sebaiknya jenazah Intan Suri kita bawa ke pondokku yang berada di di tengah hutan ini!” ujar Datuk Buta.
Usai menyiapkan segala sesuatunya, mereka pun segera menguburkan jenazah Intan Suri di dekat pondok Datuk Buta.
”Datuk! Kelana juga akan pergi dari negeri ini sebagaimana Intan Suri telah pergi untuk selama-lamanya,” ujar Bujang Kelana kepada Datuk Buta.
Setelah berkata begitu, Bujang Kelana mengambil sangkar ayam yang terletak di samping pondok Datuk Buta. Kemudian ia bergegas menuju ke Pantai Solop. Sesampai di pantai, dengan sekuat tenaga ia melemparkan sangkar ayam itu ke tengah laut.
”Aku bersumpah, walaupun sangkar ayam itu akan menjadi pulau, aku tidak akan kembali ke negeri ini!” teriak Bujang Kelana bersumpah.
Setelah itu, Bujang Kelana pun meninggalkan Pantai Solop yang indah itu. Ia pergi berkelana mengikuti ke mana kakinya melangkah tanpa arah dan tujuan. Ia tidak ingin tinggal di Pantai Solop, karena takut teringat dengan kekasihnya yang telah pergi untuk selama-lamanya.
Konon, setelah bertahun-tahun Bujang Kelana meninggalkan Pantai Solop, sangkar ayam yang dilemparkan ke tengah laut itu benar-benar menjelma menjadi sebuah pulau. Pulau itu berada tepat berhadapan dengan Pantai Solop. Oleh masyarakat setempat, pulau itu mereka beri nama Pulau Sangkar Ayam.
* * *



LEGENDA PULAU LIHAGA - LIKUPANG


Pulau Bangka adalah salah satu pintu gerbang antara dunia manusia dan dunia peri. Sampai saat ini, masih ada penduduk Bangka yang sering mengalami perpindahan dunia, kadangkala secara tak sengaja, kadangkala mereka mengaku diajak oleh peri berwujud wanita cantik untuk berkunjung ke dunia mereka. Para peri ini mengetahui rahasia untuk berpindah ke dunia manusia, sementara manusia, tidak. Sampai sekarang pun masih ada orang yang melihat peri-peri ini berkunjung ke dunia manusia. Penampilan mereka sebenarnya kelihatan sama dengan manusia, hanya ada satu perbedaan kecil yang diketahui, yaitu telinga mereka yang lebih panjang.
Legenda terciptanya pulau Lihaga di Likupang terjadi saat seorang putri dari dunia peri terpaksa melarikan diri ke dunia manusia karena dikejar oleh raksasa yang bernama Manupitu.
Manupitu menginginkan putri yang bernama Manuru untuk menjadi istrinya. Manuru tidak bersedia dan menolak permintaan Manupitu yang datang melamar dengan tidak sopan. Penolakan ini ternyata berakibat fatal karena Manupitu mengamuk dan mengacaukan dunia peri. Bahkan ketiga kakak Manuru yang kesemuanya memiliki kesaktian, tidak dapat menandingi Manupitu. Raksasa itu kebal terhadap senjata tajam maupun ilmu sihir, sehingga tidak ada yang bisa menghentikan amukannya.
Karena tidak ingin dunia peri menjadi hancur, Manuru memutuskan untuk melarikan diri ke dunia manusia melalui pintu gerbang pulau Bangka, sebuah pulau yang pada saat itu kosong, tak dihuni oleh manusia. Ia lalu bersembunyi di dalam hutan.
Manupitu yang sudah bertekad untuk memperistri Manuru walaupun harus memaksa dengan kekerasan, mengejar sampai ke dunia manusia. Dengan kesaktiannya, dalam sekejap ia sudah mengelilingi seluruh pulau Bangka, namun tidak bisa menemukan Manuru. Dengan marah, Manupitu menghancurkan hutan di pulau Bangka, merobohkan pohon-pohonnya.
Di daratan sebelah yang memiliki penghuni, ada sebuah desa kecil bernama Likupang. Penduduk desa Likupang melihat pohon-pohon yang tumbang di pulau Bangka. Mereka mengira bahwa seseorang yang sakti sedang menggunakan ilmunya untuk membuka lahan perkebunan. Karena penasaran ingin mengetahui siapa orang sakti tersebut, beberapa orang penduduk mengayuh perahu ke pulau Bangka. Belum lagi sampai di pulau tersebut, mereka melihat bahwa pepohonan itu roboh karena raksasa yang mengamuk. Dengan ketakutan mereka segera berbalik arah, kembali ke kampung mereka.
Manupitu melihat para penduduk itu menjauh tergesa-gesa dengan perahu mereka, mengira bahwa mereka telah menyelamatkan Manuru. Manupitu mengejar perahu tersebut, sehingga Manuru yang bersembunyi di hutan selamat dari amukannya.
Penduduk yang dikejar oleh Manuhitu menjadi sangat ketakutan saat raksasa itu mengejar perahu mereka. Mereka berteriak minta tolong dengan putus asa, karena daratan masih jauh. Teriakan mereka terdengar oleh seorang nelayan bernama Lahope yang sedang memancing bersama ayahnya. Melihat penduduk kampung mereka dalam bahaya, Lahope berteriak menantang Manupitu.
Saat melihat Lahope, tergelaklah Manupitu, sebab pikirnya, mana mungkin manusia yang kecil dan lemah berani menantang dirinya yang sakti, yang tak dapat ditandingi oleh siapa pun di dunia peri.
Tapi Lahope lalu mengambil pisau, memotong pangkal pancingannya yang terbuat dari bambu, dan menajamkannya. Dengan sekuat tenaga ia melempat bambu tersebut ke dalam mulut Manupitu yang sedang tertawa terbahak-bahak. Bambu itu menancap ke dalam kerongkongan Manupitu sehingga ia meronta-ronta berusaha mencabutnya. Tapi walaupun telah berusaha sekuat tenaga dan mengeluarkan kesaktiannya, bambu itu tidak bisa tercabut dari kerongkongan Manuhitu. Akibat dari kesaktian Manupitu, ikan-ikan di sekitarnya mati dan terdampar di pantai. Ribuan ikan mati yang terdampar ini setelah beberapa hari kemudian menimbulkan bau busuk yang menyengat, sehingga pantai tersebut diberi nama Kinabuhutan, yang artinya ikan busuk.
Manupitu yang kebal senjata tajam di dunia peri akhirnya tewas karena bambu yang tertancap di kerongkongannya. Tubuhnya mengapung di laut, lalu perlahan-lahan berubah menjadi sebuah batu karang. Manuru yang melihat bahwa Manupitu telah tewas, datang menemui Lahope dan berterima kasih. Lahope yang terkesima dengan kecantikan Manuru, jatuh hati kepadanya dan memintanya Manuru untuk menjadi istrinya. Manuru yang merasa berhutang budi, sebenarnya bersedia menjadi istri Lahope, namun ia terpaksa menolak karena mereka berasal dari dunia yang berbeda.
Manuru tidak bisa tinggal selamanya di dunia manusia. Semakin lama ia berada di dunia manusia, ia akan semakin lemah, dan pada akhirnya akan mati dan menghilang. Lahope juga tidak bisa tinggal selamanya di dunia peri karena fisik manusia yang lemah akan jatuh sakit dan mati jika terlalu lama di sana. Satu-satunya cara yang bisa ditempuh adalah tinggal terpisah dan sesekali bertemu.
Akhirnya mereka sepakat untuk bertemu sebulan sekali saat bulan bercahaya terang dan ikan cakalang berkilau di balik air tertimpa cahayanya. Tempat pertemuan mereka adalah tubuh Manupitu yang telah menjadi batu karang. Lahope melarang penduduk untuk berkunjung ke batu karang dengan membohongi mereka bahwa raksasa itu akan hidup kembali jika ada manusia yang menginjakkan kakinya di karang tersebut sebelum ia terkikis menjadi pasir dan menutupi seluruh permukaannya.
Pertemuan antara Lahope dan Manuru terus berlangsung selama bertahun-tahun dan setiap kali Manuru menanti kedatangan Lahope, ia akan menyanyikan lagu kerinduan. Sampai pada suatu saat, Lahope tak lagi datang ke batu karang tersebut sehingga Manuru terus menyanyi menanti kedatangannya sampai pagi tiba.
Saat bulan terang berikutnya, Lahope tak juga kunjung datang dan nyanyian kerinduan Manuru berubah, setiap bulan semakin sendu. Waktu berlalu dan Manuru terus menanti kedatangan Lahope setiap bulan terang sambil menyanyi. Saat nelayan mencari ikan di malam bulan terang, mereka akan mendengar nyanyian sendu dari batu karang tersebut sehingga mereka menyebutnya "I Hoga" yang artinya "Ih, hantu".
Seiring dengan waktu, batu karang tersebut terkikis menjadi pasir putih dan menutupi permukaannya sehingga menjadi sebuah pulau kecil. Namun penduduk desa tak ada yang berani mendekat ke pulau tersebut karena takut dengan nyanyian hantu. Lama kelamaan sebutan I Hoga menjadi nama untuk pulau tersebut, Lihaga.





LEGENDA PULAU KAPAL

 

Cerita ini berasal dari Belitung. Dahulu, ada sebuah keluarga miskin bertempat tinggal di dekat sungai Cerucuk. Kehidupan keluarga tersebut sangatlah miskin. Mereka hidup dari mencari dedaunan maupun buah-buahan yang dalam hutan. Hasil pencahariannya dijual di pasar.

Keluarga tersebut mempunyai seorang anak laki-laki bernama Si Kulup. Si Kulup senang membantu orang tuanya mencari nafkah. Mereka saling membantu. Meskipun mereka hidup berkekurangan namun tidak pernah merasa menderita.

Suatu ketika, ayah Si Kulup pergi ke hutan untuk mencari rebung yang masih muda. Rebung itu dijadikan sayur untuk makan bertiga. Saat menebang rebung, terlihatlah oleh ayahnya Si Kulup sebatang tongkat yang berada pada rumpun bambu. Pak Kulup demikian orang menyebut ayah Si Kulup mengamati tongkat tersebut. Semula tongkat itu akan dibuang, tetapi setelah diperhatikan betul tongkat tersebut bertabur dengan intan permata, dan merah delima. Akhirnya tongkat itu diambilnya.

Pak Kulup berucap dalam hati karena gembiranya: “Ini pertanda baik! Apakah ini tongkat Nabi Sulaiman atau harta karun? Aduhai…. Saya jadi kaya mendadak sekarang ini.”

Rebung tidak jadi dibawa pulang. Pak Kulup dengan perasaan was-was, takut membawa tongkat pulang ke rumah. Sesampai di rumah, didapatinya Si Kulup sedang tiduran sedang istrinya berada di rumah tetangga.

Si Kulup disuruh memanggil ibunya, tapi pemuda itu tidak mau. Ia baru saja pulang mendorong kereta. Badannya masih terasa lelah. Ia tidak tahu bahwa ayahnya membawa tongkat yang bertabur intan permata.

Pak Kulup pergi menyusul istrinya yang sedang bertandang di rumah tetangga. Pak Kulup dan Mak Kulup terlihat asyik bercerita menuju rumahnya. Sampai di rumah, mereka bertiga berunding tentang tongkat yang ditemukan tadi siang.

Pak Kulup mengusulkan supaya tongkat itu disimpan saja. Mungkin nanti ada yang mencarinya. Mak Kulup menjawab: “Mau disimpan di mana. Kita tidak punya almari.” Kemudian Si Kulup pun usul: “Lebih baik dijual saja, supaya kita tidak repot menyimpannya.

Akhirnya mereka bertiga bersepakat untuk menjual tongkat temuannya. Si Kulup ditugasi untuk menjual tongkat tersebut ke negeri lain. Si Kulup pergi meninggalkan desanya. Tidak lama kemudian tongkat itupun telah terjual dengan harga yang sangat mahal.

Setelah Si Kulup menjadi kaya, ia tidak mau pulang ke rumah orang tuanya. Ia tetap tinggal di rantauan. Karena ia selalu berkawan dengan anak-anak saudagar paling kaya di negeri tersebut.

Si Kulup sudah beristri. Mereka hidup serba berlebihan. Si Kulup sudah lupa akan kedua orang tuanya yang menyuruh menjual tongkat.

Setelah bertahun-tahun mereka hidup dirantau, oleh mertuanya si Kulup disuruh berdagang ke negeri lain bersama istrinya. Si Kulup lalu membeli sebuah kapal besar. Ia juga menyiapkan anak buahnya yang diajak serta berlayar. Mereka berdua minta doa restu kepada orang tuanya agar selamat dalam perjalanan dan berhasil mengembangkan dagangannya.

Mulailah mereka berlayar meninggalkan daerah perantauannya. Saat itu Si Kulup teringat kembali akan kampung halamannya. Ketika sampai di muara sungai Cerucuk mereka berlabuh. Suasana kapal sangat ramai karena suara dari binatang perbekalannya, seperti ayam, itik, angsa, burung.

Kedatangan Si Kulup di desanya terdengar oleh kedua orang tuanya. Sangatlah rindu kedua orang tuanya, terlebih-lebih emaknya. Emaknya menyiapkan makanan kesukaan si Kulup seperti : ketupat, rebung, belut panggang dan sebagainya. Kedua orang tuanya datang di kapal sambil membawa makanan kesukaan anaknya.

Sesampainya di kapal kedua orang tua itu mencari anaknya Si Kulup. Si Kulup sudah menjadi saudagar kaya melihat kedua orang tuanya merasa malu, maka diusirnyalah kedua orang tuanya. Buah tangan yang dibawa oleh emaknya pun dibuang. Saudagar kaya itu marah sambil berucap “Pergi! Lekas pergi. Aku tidak punya orang tua seperti kalian. Jangan kotori tempatku ini. Tidak tahu malu, mengaku diriku sebagai anakmu. Apa mungkin aku mempunyai orang tua miskin seperti kau. Enyahlah, engkau dari sini!

Pak Kulup dan istrinya merasa terhina sekali. Mereka cepat-cepat meninggalkan kapal. Putuslah harapannya bertemu dan mendekap anak untuk melepas rindu. Yang mereka terima hanyalah umpatan caci maki dari anak kandungnya sendiri.

Setibanya di darat, emak Si Kulup tidak dapat menahan amarahnya. Ia benar-benar terpukul hatinya melihat peristiwa tadi. Ia berucap “Kalau saudagar itu benar-benar anakku Si Kulup dan kini tidak mau mengaku kami sebagai orang tuanya, mudah-mudahan kapal besar itu karam.

Selesai berucap demikian itu, ayah dan emak Si Kulup pulang ke rumahnya dengan rasa kecewa. Tidak berapa lama terjadi suatu keanehan yang luar biasa, tiba-tiba gelombang laut sangat tinggi menerjang kapal saudagar kaya. Mula-mula kapal itu oleng ke kanan dan ke kiri, menimbulkan ketakutan yang luar biasa pada seluruh penumpangnya. Akhirnya kapal itu terbalik, semua penumpangnya tewas seketika.

Beberapa hari kemudian di tempat karamnya kapal besar itu, muncul sebuah pulau yang menyerupai kapal. Pada waktu-waktu tertentu terdengar suara binatang bawaan saudagar kaya. Maka hingga sekarang pulau itu dinamakan “Pulau Kapal”.

Sumber : http://www.bali-directory.com/education/folks-








LEGENDA TERBENTUKNYA PULAU PAKU

Konon, pada zaman dahulu, Negeri Riau (sekarang Provinsi Riau) sangat makmur dan sejahtera. Bandar-bandarnya ramai dikunjungi oleh para pedagang dari berbagai negeri. Negeri Riau itu memiliki hulubalang-hulubalang yang pemberani dan gagah perkasa. Selain itu, juga memiliki seorang panglima yang sangat sakti, Panglima Kawal namanya.
Kemakmuran dan kesejahteraan Negeri Riau terkenal sampai ke berbagai negeri. Banyak sudah lanun yang berusaha untuk menguasai negeri itu. Namun, berkat kesaktian dan ketangkasan Panglima Kawal dan para hulubalangnya, negeri Riau selalu dapat diselamatkan.
Pada suatu hari, pelabuhan Riau begitu ramai dengan pedagang yang baru tiba dari negeri-negeri jauh. Kuli-kuli sibuk mengangkat barang dagangan yang diturunkan dari kapal. Di tengah kesibukan di pelabuhan tersebut, tiba-tiba terdengar letusan meriam beberapa kali sebagai tanda datangnya sekelompok kapal asing. Mendengar bunyi meriam tersebut, para hulubalang yang bertugas di pelabuhan segera merapatkan perahu mereka ke kapal-kapal asing tersebut.
“Selamat datang di negeri kami. Jika boleh kami tahu, siapa sebenarnya Tuan-tuan ini? Dari mana dan apa maksud kedatangan Tuan-tuan?” tanya Ketua Hulubalang.
“Hei, bodoh! Aku adalah Jangoi, pemimpin perampok yang ditakuti di Kamboja, Serawak, Brunei, dan Sumatra!” jawab pemimpin rombongan itu dengan sombong. “Jika rakyat negeri ini ingin selamat, tunduklah padaku!” lanjutnya. Ketua Hulubalang geram melihat kesombongan dan tingkah laku Jangoi dan anak buahnya yang kurang sopan. Tetapi dia masih mempunyai rasa santun. “Tunggulah di sini! Saya akan melaporkan kedatangan kalian kepada panglima kami,” ujar Ketua Hulubalang. “Wahai, pengawal! Awasi si Jangoi dan anak buahnya, kalau-kalau mereka membuat kekacauan di negeri kita!” perintah Ketua Hulubalang, kemudian ia bergegas melaporkan kedatangan rombongan tersebut kepada Panglima Kawal.
“Maaf, Panglima! Kita kedatangan tamu yang tak diundang. Sepertinya mereka mempunyai maksud tidak baik terhadap negeri ini,” lapor Ketua Hulubalang dengan penuh hormat. Mendengar laporan itu, Panglima Kawal segera memerintahkan beberapa hulubalang untuk mempersiapkan pertahanan negeri.
Sementara itu, Panglima Kawal berniat untuk menemui kepala rombongan itu. “Wahai, Hulubalang! Siapkan perahu, aku ingin mengadakan perundingan dengan orang asing itu!” perintah Panglima Kawal. Panglima Kawal adalah seorang panglima yang cinta damai. Dia memilih jalan perundingan sebelum terjadi peperangan. Dia tidak ingin rakyat sengsara akibat perang. Dengan diiringi beberapa hulubalang, Panglima Kawal menemui si Jangoi di atas kapalnya.
Walaupun sombong, si Jangoi tetap bertingkah laku sopan saat bertemu dengan Panglima Kawal. Dia segera menghidangkan sirih lengkap dengan kapur dan pinangnya. “Silakan, Tuan,” kata Jangoi menawarkan sirih. Panglima Kawal tahu bahwa daun sirih yang dihidangkan Jangoi adalah daun jelatang, maka dia menolak untuk memakannya.
Melihat hal itu, tahulah Jangoi bahwa Panglima Kawal tidak suka makan sirih. Maka, dikeluarkannya tepak sirih yang berisi beberapa batang bakik. Tapi, itu hanya tipu muslihat Jangoi. Sebenarnya tepak sirih tidak berisi bakik, melainkan paku beracun. Panglima Kawal pun mengetahui hal itu. Dia kemudian mengambil bakik yang dihidangkan itu dan memakannya. Karena kesaktiannya, Panglima Kawal tidak keracunan sedikitpun. Bahkan dia menawari Jangoi untuk turut serta memakan bakik itu.
“Mari, Tuan Jangoi! Kita makan bakik ini bersama-sama,” tawar Panglima Kawal. Mendengar tawaran itu, Jangoi hanya terdiam. Dia terheran-heran melihat Panglima Kawal setelah makan bakik itu. Dikiranya Panglima Kawal akan mati keracunan, namun ternyata ia sehat-sehat saja. Melihat Jangoi heran, Panglima Kawal mengambil beberapa bakik dan dipatahkannya menggunakan jarinya. Jangoi pun semakin heran bercampur rasa takjub melihat kesaktian Panglima Kawal. 
“Ketahuilah, Jangoi! Bagi orang Riau, bakik seperti inilah pengganti sirih,” ujar Panglima Kawal tenang. “Maafkan kami, Tuan. Kami mengaku kalah,” kata Jangoi. Dia mengakui tingginya ilmu orang-orang Riau. Ia pun membatalkan niatnya untuk menaklukkan Negeri Riau.
Setelah itu, Jangoi segera memerintahkan anak buahnya untuk meninggalkan Negeri Riau. Namun, sebelum layar terkembang, Jangoi mengambil bakik dari tepak sirihnya seraya bersumpah, “Jika bakik ini tenggelam ke dalam laut, aku tidak akan datang ke tempat ini lagi.” Selesai berkata demikian, Jangoi melemparkan bakiknya ke laut lepas dan ternyata bakik itu tenggelam. Jangoi tidak menyadari apa yang sudah diucapkan dan dilakukannya itu.
Waktu terus berlalu. Beberapa tahun berselang, Panglima Kawal meninggal dunia. Seluruh rakyat Riau bersedih kehilangan panglima terbaiknya. Pada hari itu, seluruh rakyat Riau tampak sibuk untuk mempersiapkan pemakamannya. Mereka menghentikan seluruh pekerjaan mereka untuk turut mengantarkan jenazah Panglima Kawal sampai ke pamakaman.
Kabar kematian Panglima Kawal pun tersebar hingga ke berbagai negeri. Kabar tersebut juga sampai kepada si Jangoi. Dia sangat senang mendengar kabar itu. “Inilah saatnya untuk menguasai negeri yang kaya itu. Kini tidak ada lagi yang akan menghalangi niatku,” gumam Jangoi. Menurutnya, jika Panglima Kawal telah meninggal, pastilah Negeri Riau sangat mudah untuk ditaklukkan.
Keesokan harinya, Jangoi bersama anak buahnya berangkat dengan menggunakan kapal besar untuk menaklukkan Negeri Riau yang dahulu belum tercapai. Dalam perjalanan, di atas kapal, di benak Jangoi sudah terbayang-bayang mengenai kekayaan yang akan dimilikinya setelah menguasai Negeri itu.
Namun, kenyataan berkata lain. Sesampainya di perairan Riau, saat kapal melepas jangkar di tempat dahulu Jangoi bersumpah, tiba-tiba dia terjatuh dan terkena penyakit yang sulit disembuhkan. Banyak sudah tabib yang didatangkan untuk mengobatinya. Namun, sakit Jangoi tak kunjung sembuh.
Semakin hari tubuh Jangoi semakin lemah. Sudah beberapa hari dia tidak mau makan, sehingga badannya semakin kurus. Di atas pembaringannya, tiba-tiba Jangoi teringat dengan sumpah yang pernah diucapkannya di tempat itu dahulu. Dia sangat menyesali ucapan dan perbuatannya itu. Namun, apa hendak dikata, nasi sudah menjadi bubur. Sumpah itu tidak bisa ditarik kembali. Jangoi tinggal menanti saat-saat kematiannya.
Namun sebelum meninggal, Jangoi berpesan agar dikubur di tempat dia bersumpah. Tak berapa lama kemudian, Jangoi pun meninggal dunia karena melanggar sumpahnya sendiri. Sesuai dengan pesan Jangoi, anak buahnya kemudian menenggelamkan mayatnya di tempat dia bersumpah. Tepatnya di antara Pulau Penyengat dan Teluk Keriting. Beberapa saat setelah mayat Jangoi tenggelam, tiba-tiba di tempat itu muncul sebuah pulau. Oleh penduduk di sekitarnya, pulau itu diberi nama Pulau Si Jangoi atau Pulau Paku. Hingga kini, kita masih dapat menyaksikan pulau itu di antara Pulau Penyengat dan Teluk Keriting di wilayah Provinsi Riau, Indonesia.
Sumber : http://melayuonline.com/ind/culture/dig/1718/panglima-kawal-dan-si-jangoi-asal-mula-pulau-si-jangoi



LEGENDA ASAL USUL PULAU NUSA

Sekali, pada hari-hari dahulu kala, hiduplah seorang pria bernama Nusa. Dia tinggal bersama istri dan adik iparnya kakak di sebuah desa di tepi Sungai Kahayan, Kalimantan Tengah. Nusa setiap hari kerja mertua dan adik adalah bertani dan menangkap ikan di Sungai Kahayan.
Pada suatu waktu, kekeringan melanda daerah di mana mereka tinggal. sehingga mereka memutuskan untuk pindah ke sebuah desa dengan harapan mendapatkan penghidupan yang baik.
Setelah menyiapkan makan siang seadanya, mereka pergi dengan perahu ke udik. Setelah tiga hari menyusuri sungai Rungan, mereka tiba di sungai persimpangan. Namun, mereka tidak bisa melanjutkan perjalanan, karena ada sebuah pohon besar dan jatuh di sungai. Untuk menyeberangi sungai, mereka harus menebang pohon. Akhirnya Nusa dan adik iparnya pada gilirannya memotong pohon dengan kapak.
Sampai malam, pohon tersebut belum diputuskan. Perut mereka sudah keroncongan. Sementara saham yang mereka bawa sudah habis. Akhirnya, Barat memutuskan untuk pergi mencari makanan ke hutan di sekitar sungai.
"Aku akan pergi mencari makanan di tengah hutan. Anda hanya menyelesaikan pekerjaan," kata adik ipar Nusa yang sedang memotong pohon.
"Bagus, Bang!" Kata adik ipar.
Setelah mengucapkan selamat tinggal kepada istrinya, pergi ke Nusa hutan. Tidak lama kemudian, Barat sudah kembali membawa telur ukuran telur angsa dua kali.
"Hei, lihat aku membawa makanan yang baik untuk makan malam kami. Dik!, Gunakan telur rebus ini!" Mengaku Nusa kepada istrinya.
"Maaf, Bang Suster tidak! Tidak mau, karena adik tahu apa telur hewan Abang membawanya," jawab istri Nusa menolak.
"Ah, Saudara tidak peduli apa telur hewan ini. Yang penting Brother akan puas. Saudara telah tidak lagi menahan lapar," kata Nusa dengan nada ketus.
Akhirnya, telur itu dimasak oleh Nusa. Hampir tengah malam telur baru dimasak. Dia terbangun istri dan adik iparnya yang sedang tertidur. Namun mereka tidak ingin makan telur.
Akhirnya, telur dimakan oleh Nusa sampai habis. Sementara istri dan adik iparnya kembali tidur.
Hari berikutnya, terkejut Nusa saat terbangun dari tidur. Tubuhnya penuh dengan ruam merah dan sangat gatal. Dia mulai panik dan kemudian menyuruh istri dan adik iparnya untuk membantu menggaruk tubuhnya. Namun anehnya, tergores, tubuhnya semakin gatal dan sakit. Melihat kondisi seperti itu, Nusa segera mengirim saudara iparnya untuk mencari bantuan. Sementara istrinya terus membantu menggaruk tubuhnya.
Menjelang siang, Nusa keadaan semakin mengerikan. Ruam merah yang berubah menjadi sisik koin memenuhi sebagian besar tubuhnya. Beberapa saat kemudian, tubuhnya bertambah besar dan meluas sampai sekitar lima depa. [1] Dari kaki sampai ke ketiaknya telah berubah menjadi naga, sedangkan tangan, leher dan kepala masih bentuk manusia.
"Maaf saudara, adik Rupanya saudara makan telur! Adalah telur naga tadi malam. Lihat tubuh dan kaki Abang! Saudara akan segera menjadi seekor naga. Tapi, saudara jangan sedih, karena ini adalah takdir Allah," kata Nusa kepada istrinya.
Istrinya diam dan sedih melihat nasib buruk yang menimpa suaminya. Air matanya tidak terhentikan. Tidak lama kemudian, adik iparnya kembali dengan dua puluh warga yang siap membantu. Tetapi ketika ia melihat tubuh Nusa, mereka tidak dapat melakukan apapun, karena mereka tidak pernah melihat hal aneh seperti itu. Akhirnya, hampir sehari semalam mereka hanya duduk di sekitar tubuh Nusa terkapar tak berdaya di atas pasir menonton perkembangan selanjutnya.
Keesokan harinya, Nusa benar-benar telah berubah menjadi seekor naga. Tubuhnya semakin panjang dan lebih besar. Panjangnya sudah mencapai sekitar dua puluh lima depa, dan tiga kali ukuran pohon kelapa.
Menjelang siang, Nusa meminta semua warga untuk menggulingkan tubuhnya ke sungai.
"Tolong bantu saya berguling ke sungai! Saya tidak lagi menahan matahari," keluh Nusa.
Warga beramai-ramai mendorongnya ke sungai. Namun, hanya beberapa saat dalam air, tiba-tiba merasa sangat lapar Nusa.
"Oh ..., aku lapar Tolong ambilkan ikan!". Menangis sambil menahan kelaparan Nusa.
Warga segera berpisah untuk mencari ikan di danau atau kolam di sekitar hutan. Beberapa waktu kemudian, warga kembali dengan banyak ikan. Dalam sekejap, ikan itu habis dilahapnya. Menjelang senja, Nusa kepada istrinya.
"Saudara! Malam ini akan turun hujan deras disertai guntur dan petir sungai ini akan meluap. Hadir ini kepada warga, untuk segera meninggalkan tempat ini.. Ketika banjir sungai, saudara akan pergi ke Sungai Kahayan dan terus muara. Saudara akan tetap beberapa waktu di sana, dan kemudian melanjutkan ke laut. Di situlah saudara akan hidup selamanya, "kata Nusa dengan air mata di matanya.
Istrinya tidak kuat menahan tangis. Dia benar-benar akan kehilangan suaminya.
"Bang, jangan tinggalkan kakak! Suster tidak ingin kehilangan saudara saya," pintanya istri Nusa isak.
"Ayo, kakak itu takdir. Setelah kakak ke kiri, kembali dengan warga itu!" Kata Nusa kepada istrinya.
Saat malam terlambat, apa yang diramalkan Nusa benar-benar terjadi. Suara guntur gemuruh guntur disertai melesat. Cepat-cepat menghubungkan memancarkan. Tidak lama kemudian, hujan turun dengan hujan. Nusa istri dan semua warga cepat menjauh dari sungai. Mereka mantap ditelan oleh perasaan cemas dan ketakutan. Beberapa saat kemudian, air Sungai Rungan meluap. Nusa tubuh melayang ke arah banjir Sungai Kahayan. Mereka yang menyaksikan kejadian itu hanya diam tertegun. Mereka tidak bisa lagi membantu Nusa. Setelah air surut Sungai Rungan, warga kembali ke desa mereka. Istri dan adik ipar mengikuti kelompok Nusa.
Sementara itu, telah tiba di mulut Nusa Sungai Kahayan. Dia menetap sementara di sebuah teluk yang agak dalam. Dia sangat senang, karena ada banyak jenis ikan yang hidup di sana. Tapi kehadirannya ancaman bagi kehidupan ikan. Oleh karena itu, ikan ini berusaha mencari cara untuk mengusirnya. Mereka berkumpul di tempat yang tersembunyi.
"Apa yang harus kita lakukan untuk mengusir naga itu?" Kata Jelawat Ikan bingung.
"Saya punya ide. Saya akan memberitahukan bahwa naga di laut ada naga besar yang ingin mengadu kekuatan," kata Ikan Saluang (sejenis ikan).
"Lalu, apa rencanamu selanjutnya?" Kata Ikan Jelawat lebih bingung.
"Tenang, folks! Tinggalkan semua ini untuk saya, saya akan meminta bantuan Anda jika saya membutuhkannya.. Dapatkan siap hanya menunggu perintah dari saya," kata Ikan Saluang.
Akhirnya, semua ikan yang ada setuju dengan Ikan saluang keputusan. Hari berikutnya, Ikan Saluang memulai rencana. Dia diam termenung sendirian di tempat yang tidak jauh dari naga itu. Ia berpikir, naga itu tidak mungkin memangsa tubuhnya yang kecil, karena tentu tidak akan mengenyangkannya. Tidak lama kemudian, naga itu datang kepadanya.
"Hei, saluang Ikan Mengapa kamu sedih?!" Kata Naga Nusa.
"Ya, Mr Naga Ada! Sesuatu yang membuat Hamba sedih," kata Ikan Saluang.
"Apakah itu, Ikan Saluang? Katakanlah!" Desak Naga Nusa.
"Begini, Pak. Hamba Kemarin bertemu dengan naga besar di laut," kata Ikan Saluang.
"Apa katamu Dragon? Apakah dia lebih besar dari saya??" Tanya Nusa Dragons mulai gusar.
"Jumlah itu hampir sama dengan Pak. Rupanya dia sudah tahu keberadaan sini Pak. Bahkan, dia menantang Tuan untuk mencoba kekuatannya," kata Ikan Saluang.
Mendengar cerita yang Ikan saluang, Naga Nusa marah.
"Berani-beraninya menantang sang naga. Katakan padanya bahwa aku menerima tantangannya! Besok, suruh dia datang ke tempat ini, aku akan menunggu!" Menangis Nusa Naga.
"Yah, Mr Naga!" Kata Ikan Saluang dan kiri.
Keesokan harinya, Nusa Naga datang menunggu di tempat. Sementara Ikan Saluang, bukannya pergi untuk memanggil naga di laut sana, tapi bersembunyi di balik batu dengan teman-temannya, menonton pergerakan Nusa Dragon berjalan mondar-mandir menunggu kedatangan musuhnya. Namun, menunggu musuh yang tidak pernah datang, karena naga yang dimaksudkan Ikan Saluang itu tidak ada. Akhirnya ia merasa lelah dan tertidur di tempat itu.
Ikan saluang tidak membuang kesempatan itu. Perlahan-lahan ia mendekati ekor Naga Negara, lalu berteriak dengan suara keras.
"Tuanku musuh datang!"
Mendengar teriakan itu, Naga Nusa menjadi panik. Dengan kecepatan kilat, dia menoleh ke arah ekornya, sehingga gemerisik air sungai. Dia pikir itu suara gemerisik air adalah musuhnya. Tanpa pikir panjang, ia diserang dan menggigit dia. Namun, tanpa disadari, ia menggigit ekornya sendiri hingga terputus.
"Ouuwww ....!" Nusa suara Naga berteriak dengan rasa sakit.
Pada saat itu, Ikan Saluang segera memerintahkan semua teman-temannya untuk merusak Naga Nusa luka. Nusa naga ini lebih berteriak dan mengamuk. Tempat itu bergetar seolah-olah gempa. Namun, insiden itu tidak berlangsung lama. Naga Daya Nusa semakin lemah, karena kehabisan darah. Beberapa saat kemudian, Naga Nusa akhirnya mati.
Semua ikan yang berada di Nusa Kahayan bawah Naga datang untuk makan daging hingga habis. Hanya kerangka tetap. Akhirnya, kerangka terkubur di dalam tanah dan ditumbuhi pepohonan. Tumpukan pohon kemudian dibentuk sebuah pulau yang sekarang dikenal sebagai Pulau Nusa. ***




LEGENDA PULAU MAMBOR

Pulau Mambor tarmasuk salah satu pulau dari beberapa gugusan pulau di sebelah timur kota Nabire di Kabupaten Paniai. Di pulau ini terletak salah satu pegunungan dan slah satu puncaknya yang tertinggi adalah gunung Momurkotei.
Dahulu di gunung tersebut berdiamlah sepasang suami istri, berasal dari keturunan Mambri. Suami istri tersebut masing-masing bernama Mumu dan Waisei. Keduanya hidup rukun dan damai serta dikaruniai dua anak laki-laki.
Wonggora adalah nama kakaknya sedangkan adiknya bernama Nonambo. Keduanya diasuh hingga dewasa lalu dikawinkan. Dari perkawinan mereka lahirlah cucu-cucu Mumu dan Waisei.
Wonggora memperoleh seorang anak yang dinamai Tarahijori. Adiknya Nonambo memperoleh dua orang anak, yaitu seorang anak laki-laki yang bernama Dauma dan adiknya seorang anak perempuan. Mereka diasuh dan tumbuh menjadi dewasa. Dalam kehidupan sehari-hari mereka bermain dan bergaul seperti biasa, namun akhirnya Dauma dan Tarahijori memadu cinta. Hubungan antara keduanya semakin mendalam sehingga saling mengikat satu janji untuk sehidup semati. Keinginan mereka ini disampaikan kepada orang tua masing-masing.
Pada suatu hari Dauma bersama ayahnya berkunjung ke rumah Wonggora. Maksud kedatangannya hendak meminang Tarahijori agar dijodohkan dengan Dauma. Namun apa daya karena pinangannya ditolak oleh Wonggora. Bagi Dauna hal ini adalah suatu pukulan yang tidak habis dipikirkan olehnya. Sebab itu dari pada tidak memiliki kekasih lebih baik bunuh diri. Ia mencari akal bagimana cara membunuh kekasihnya dengan cara yang tidak mencurigakan. Oleh sebab itu ia mempelajari kebiasaan-kebiasaan Tarahijori yang setiap hari pergi membuang air besar di bawah pohon. Di tempat inilah Dauma melaksanakan niatnya dengan memasang sembilu di akar-akar pohon untuk mencelakakan kekasihnya.
Pada hari berikutnya Tarahijori hendak pergi membuang air besar seperti biasanya dilakukan. Tiba-tiba dari jauh terdengar suara jeritan di bawah pohon besar meminta pertolongan. Ternyata sembilu yang dipasang oleh Dauma kena kekasihnya dan banyak mengeluarkan darah.
Akibat sembilu yang dipasang maka meninggallah Tarahijori seketika itu juga. Kematian Tarahijori meninggalkan luka yang mendalam bagi keluarga Wonggora.
Akibat musibah ini, Wonggora menyatakan perang saudara terhadap adiknya, sebab musibah ini dilakukan oleh Dauma, karena lamarannya ditolak.
Nonambo pun menanyakan hal itu kepada anaknya dan ternyata Dauma mengakui perbuatannya. Sebagai orang tua yang bertanggung jawab terhadap perbuatan anaknya, maka tantangan Wonggora diterima.
Oleh sebab itu masing- masing mencari pengikutnya, lalu pecahlah perang sengit antar keluarga pihak Wonggora dengan Nonambo. Sementara perkelahian sedang berlangsung, tiba-tiba ada serangan masuk dari kampung lain di kampungnya. Akhirnya demi keselamatan dan kesatuan penduduknya, kedua bersaudara itu bersatu kembali untuk melawan musuh. Setelah mengusir lawannya, maka perang antara keduanya pun berhenti dengan sendirinya.
Untuk memulihkan persaudaraannya kembali, mereka bermaksud mengadakan pesta perdamaiaan. Berita pesta perdamaiaan itu tersiar keseluruh pelosok kampung di pulau itu. Terutama para pemudanya sangat tertarik lalu berdatangan hendak menyaksikan perayaan pesta tersebut. Saat pesta dilangsungkan, hadir pula seorang pemuda tampan yang membawa tifa di tangannya.
Pemuda tadi benar- benar terpesona oleh pandangan seorang gadis yang ikut melayani para tamu dengan makanan dan minuman. Gadis tersebut adalah anak dari Nonamba, dari pandang memandang akhirnya mereka berkenalan.
Mambarua, demikian nama pemuda itu putra raja kerajaan dasar laut. Ia menjelaskan bahwa sebelum naik takhta menggantingkan orang tuanya diharuskan mempersunting seorang gadis sebagai calon istrinya.
“Apakah anda tidak akan kecewa, bila mendapat gadis kampung seperti aku ini? Bukankah banyak wanita cantik di kalangan bangsawan?” tanya gadis itu.
“Betul adinda, tapi diantara mereka tidak ada seorang pun yang menarik perhatianku,” kata Mambarua.
Akhirnya gadis itu yakin terhadap Mambarua, lalu berpesan agar segera meminang melalui orang tuanya.
Malam berikutnya Mambarua berkunjung ke rumah orang tua gadis itu. Maksud kedatangannya hendak meminang anak gadis Nonambo. Setelah menungkapkan asal-usul dan keinginan hatinya, maka orang tua si gadis merestui kehendak kedua remaja itu. Namun Nonamba mengajukan suatu persyaratan yang harus dipenuhi sebelum mengadakan upacara pernikahan, yaitu pembayaran mas kawin berupa:
-sebuah dusun sagu
-sebuah jembatan penghubung pulau dan daratan
-serumpun bamboo
-sebuah tifa dan
-sebuah gelang paseda
Mambarau berjanji bahwa mas kawi tersebut akan di penuhi setelah perkawinan mereka.
Untuk mengukuhkan kedua remaja yang baru berkenalan sebagai suami istri yang sah, maka dilakukan lah upacara pernikahan secara adat,. Pernikahan ini dimeriahkan oleh penduduk semalam suntuk.
Keesokan harinya Mambarua meminta diri mendahului rombongan yang akan mengantar istrinya, untuk mempersiapkan upacara penyambutan dan pelantikan di istana. Sebelum pergi ia berpesan pada istrinya supaya segera menyusul dan menunggu dipantai. Bila istrinya melihat tiga buah gelombang besar, itulah tanda bahwa Mambarua sudah siap menjemput rombongan.
Benar juga, ketika rombongan istrinya dengan ketiga perahu menunggu di pantai, terlihatlah tiga buah gelombang besar yang beriringan ke pantai. Permaisuri bersama orang tuanya berada di perahu depan. Ketiga gelombang itu sampai di tempat perahu- perahu tersebut, maka terjadilah keajaiban dimana perahu-perahunya langsung terbawa ke dasar lautan.
Rasanya seakan- akan mereka tidak memasuki lautan, tetapi memasuki sebuah wilayah yang luas dan menyenangkan. Mereka di sambut oleh sepasukan pengawal istana yang berderet di sebelah kiri-kanan jalan masuk.
Setiba di istana, Mambarua menyambut calon istrinya lalu membawa masuk ke dalam kamar untuk berganti pakaian dan berdandan. Sedangkan rombongan diterima oleh para pelayan di ruang upacara.
Saat yang dinantikan oleh para tamu sudah tepat dan sang raja memasuki ruang upacara. Upacara segera dimulai dengan acara pertama perkenalan permaisuri beserta rombongannya kepada para tamu. Berikutnya adalah upacara penobatan Mambarua sebagai raja yang dilaksanakan dengan penuh hikmat. Upacara perkenalan dan penobatan raja muda diakhiri dengan makan bersama di istana.
Setelah tiga hari para pengantar permaisuri diperkenankan meninggalkan istana sedangkan permaisuri tetap tinggal di kerajaan lautan.
Pada suatu hari Mambarua memberitahukan niatnya pada sang istri, bahwa ia hendak membayar mas kawi pada orang tuanya di kampung. Sesudah sepakat berangkatlah keduanya bersama beberapa prajurit dan setiba di kampung raja muda menyerahkan mas kawin berupa :
-Sebuah tifa kebesaran yang disebut birinebisei
-Empat buah mata air yang masing- masing bernama Seru, Bataiboro, Kakuru,
dan Babinggatu.
-Sebuah jembatan yang bernama Babisir
-Serumpun bambu yang bernama Wahamu, dan
-Sebuah gelang poseda.
Hari berikutnya raja muda bersama istrinya meninggalkan kampung mertuanya lalu kembali ke dasar laut. Sedangkan penduduk kampung yang ditinggalkan berpestapora sehubungan dengan penerimaan mas kawin yang baru saja diselesaikan. Namun di tengah-tengah puncak keramaian pesta itu, tiba- tiba ada musuh yang menyerang. Akibat penyerangan itu banyak penduduk yang melarikan diri jauh dari kampung.
Pada saat bersamaan Mambarua merasa gelisah. Rasanya ada sesuatu firasat jelek. Firasat tersebut menimbulkan rasa curiganya dan ingin tahu akan keadaan di daratan.
Oleh sebab itu Mambarua bermaksud melihat-lihat keadaan di kampung mertuanya. Istrinya menyetujui keinginan suaminya serta berpesan agar berhati-hati dalam perjalanan.
Saat itu juga Mambarua berangkat dengan para pengawalnya dan setibanya di sana ternyata firasatnya benar sebab ada laporan dari penduduk, bahwa baru saja ada perampokan di kampungnya dan musuh telah melarikan diri ke arah barat.
Setelah memperoleh petunjuk, sang raja perintahkan para prajuritnya melakukan pengejaran dan ternyata mereka berhasil menguasai musuhnya serta membawa kembali barang- barang yang dirampas tadi. Namun masih ada satu benda yang paling berharga, yang tidak dapat di bawa olehnya, yaitu tifa kebesaran karena sempat di bawa kabur oleh musuhnya.
Karena Rao yang menyerang kampung mertuanya maka pulau yang digunakan untuk beristirahat, di balik oleh raja muda itu dengan gelombang dashyat. Akibatnya hingga kita tempat itu tidak ditumbuhi apa-apa hanya berkarang dan disebut : ROF KAREY.
Dari pertempuran ini sebagian dari pihak Rao dapat menyelamatkan diri ke daerah Wandamen dengan membawa tifa kebesaran, sedangkan pulau yang di mana mertua Mambarua bertempat tinggal dinamakan pulau MAMBOR.*
Sumber : http://tabloidjubi.wordpress.com/2008/02/06/asal-mula-pulau-mambor/
LEGENDA PULAU SANAU

Pulau Senua terletak di ujung Tanjung Senubing Bunguran Timur, Natuna, Provinsi Kepulauan Riau, Indonesia. Kata senua dalam bahasa setempat berarti satu tubuh berbadan dua. Menurut cerita, pulau yang terkenal sebagai sarang burung layang-layang putih ini merupakan penjelmaan dari seorang perempuan yang sedang berbadan dua (hamil) bernama Mai Lamah. Mengapa Mai Lamah menjelma menjadi pulau? Ikuti kisahnya dalam cerita Legenda Pulau Senua berikut ini!
 ***
Alkisah, di sebuah daerah di Natuna, Kepulauan Riau, hiduplah sepasang suami-istri miskin. Sang suami bernama Baitusen, sedangkan istrinya bernama Mai Lamah. Suatu ketika, mereka memutuskan merantau ke Pulau Bunguran untuk mengadu nasib. Mereka memilih Pulau Bunguran karena daerah tersebut terkenal memiliki banyak kekayaan laut, terutama kerang dan siput.
Ketika pertama kali tinggal di Pulau Bunguran, Baitusen bekerja sebagai nelayan sebagaimana umumnya warga yang tinggal di pulau tersebut. Setiap hari, ia pergi ke laut mencari siput-lolak (kerang-kerangan yang kulitnya dapat dibuat perhiasan), kelekuk-kulai (siput mutiara), dan beragam jenis kerang-lokan. Sedangkan istrinya, Mai Lamah, membantu suaminya membuka kulit kerang untuk dibuat perhiasan.
Baitusen dan istrinya pun merasa senang dan betah tinggal di Pulau Bunguran, karena warga pulau tersebut menunjukkan sikap yang ramah dan penuh persaudaraan. Kebetulan rumah mereka bersebelahan dengan rumah Mak Semah, seorang bidan kampung yang miskin, tapi baik hati.
“Jika suatu ketika kalian sakit-mentak (sakit-sakitan), panggil saja Emak! Emak pasti akan datang,” pesan Mak Semah kepada Mai Lamah, tetangga barunya itu.
“Terim kasih, Mak!” ucap Mai Lamah dengan senang hati.
Begitu pula warga Bunguran lainnya, mereka senantiasa bersikap baik terhadap Baitusen dan istrinya, sehingga hanya dalam waktu beberapa bulan tinggal di daerah itu, mereka sudah merasa menjadi penduduk setempat.
“Bang! Sejak berada di kampung ini, Adik tidak pernah merasa sebagai pendatang. Semua penduduk di sini menganggap kita sebagai saudara sendiri,” kata Mai Lamah kepada suaminya.
“Begitulah kalau kita pandai membawa diri di kampung halaman orang,” pungkas Baitusen.
Waktu terus berjalan. Baitusen semakin rajin pergi ke laut mencari kerang dan siput. Ia berangkat ke laut sebelum matahari terbit di ufuk timur dan baru pulang saat matahari mulai terbenam. Daerah pencariannya pun semakin jauh hingga ke daerah pesisir Pulau Bunguran Timur.
Pada suatu hari, Baitusen menemukan sebuah lubuk teripang, di mana terdapat ribuan ekor teripang (sejenis binatang laut) di dalamnya. Sejak menemukan lubuk teripang, ia tidak pernah lagi mencari kerang dan siput. Ia berharap bahwa dengan mencari teripang hidupnya akan menjadi lebih baik, karena harga teripang kering di bandar Singapura dan di pasar Kwan Tong di Negeri Cina sangatlah mahal. Ia pun membawa pulang teripang-teripang untuk dikeringkan lalu dijual ke Negeri Singapura dan Cina.
Akhirnya, hasil penjualan tersebut benar-benar mengubah nasib Baitusen dan istrinya. Mereka telah menjadi nelayan kaya raya. Para tauke dari negeri seberang lautan pun berdatangan ke Pulau Bunguran untuk membeli teripang hasil tangkapan Baitusen dengan menggunakan tongkang-wangkang (kapal besar). Setiap enam bulan sekali segala jenis tongkang-wangkang milik para tauke tersebut berlabuh di pelabuhan Bunguran sebelah timur.
Sejak saat itu, Baitusen terkenal sebagai saudagar teripang. Langganannya pun datang dari berbagai negeri. Tak heran jika dalam kurun waktu dua tahun saja, pesisir timur Pulau Bunguran menjadi Bandar yang sangat ramai. Istri Baitusen pun terkenal dengan panggilan Nyonya May Lam oleh para tauke langganan suaminya itu. Rupanya, gelar tersebut membuat Mai Lamah lupa daratan dan lupa dengan asal-usulnya. Ia lupa kalau dirinya dulu hanyalah istri nelayan pencari siput yang miskin dan hidupnya serba kekurangan.
Sejak menjadi istri seorang saudagar kaya, penampilan sehari-hari Mai Lamah berubah. Kini, ia selalu memakai gincu, bedak, dan wangi-wangian. Bukan hanya penampilannya saja yang berubah, tetapi sikap dan perilakunya pun berubah. Ia berusaha menjauhkan diri dari pergaulan, karena jijik bergaul dengan para tetangganya yang miskin, berbau anyir, pedak-bilis (sejenis pekasam atau ikan asin, makanan khas orang Natuna), dan berbau kelekuk (siput) busuk. Selain itu, ia juga menjadi pelokek (sangat kikir) dan kedekut (pelit).
Pada suatu hari, Mak Semah datang ke rumahnya hendak meminjam beras kepadanya. Namun malang bagi Mak Semah, bukannya beras yang ia peroleh dari Mai Lamah, melainkan cibiran.
“Hai, perempuan miskin! Tak punya kebun sekangkang-kera (bidal untuk menentukan luas tanah ladang/perkebunan), masih saja pinjam terus. Dengan apa kamu akan membayar hutangmu?” Mai Lamah mencemooh Mak Semah.
Mendengar cemoohan itu, Mak Semah hanya terdiam menunduk. Sementara suami Mai Lamah yang juga hadir di tempat itu, berusaha untuk membujuk istrinya.
“Istriku, penuhilah permintaan Mak Semah! Bukankah dia tetangga kita yang baik hati. Dulu dia telah banyak membantu kita.”
“Ah, persetan dengan yang dulu-dulu itu! Dulu itu dulu, sekarang ya sekarang!” seru Mai Lamah dengan ketus.
Begitulah sikap dan perlakuan Mai Lamah kepada setiap warga miskin yang datang ke rumahnya untuk meminta bantuan. Dengan sikapnya itu, para warga pun menjauhinya dan enggan untuk bergaul dengannya.
Suatu ketika, tiba juga masanya Mai Lamah membutuhkan pertolongan tetanggannya. Ia hendak melahirkan, sedangkan Mak Bidan dari pulau seberang belum juga datang. Baitusen telah berkali-kali meminta bantuan Mak Semah dan warga lainnya, namun tak seorang pun yang bersedia menolong. Mereka sakit hati karena sering dicemooh oleh istrinya, Mai Lamah.
“Ah, buat apa menolong Mai Lamah yang kedekut itu! Biar dia tau rasa dan sadar bahwa budi baik dan hidup bertegur sapa itu jauh lebih berharga dari pada harta benda,” cetus Mak Saiyah, seorang istri nelayan, tetangga Mai Lamah.
Baitusen yang tidak tega lagi melihat keadaan istrinya itu segera mengajaknya ke pulau seberang untuk mencari bidan.
“Ayo, kita ke pulau seberang saja, Istriku!” ajak Baitusen sambil memapah istrinya naik ke perahu.
“Bang! Jangan lupa membawa serta peti emas dan perak kita! Bawa semua naik ke perahu!” seru Mai Lamah sambil menahan rasa sakit.
“Baiklah, Istriku!” jawab Baitusen.
Setelah mengantar istrinya naik ke atas perahu, Baitusen kembali ke rumahnya untuk mengambil peti emas dan perak tersebut. Setelah itu, mereka pun berangkat menuju ke pulau seberang. Dengan susah payah, saudagar kaya itu mengayuh perahunya melawan arus gelombang laut. Semakin ke tengah, gelombang laut semakin besar. Percikan air laut pun semakin banyak yang masuk ke dalam perahu mereka. Lama-kelamaan, perahu itu semakin berat muatannya dan akhirnya tenggelam bersama seluruh peti emas dan perak ke dasar laut.
Sementara Baitusen dan istrinya berusaha menyelamatkan diri. Mereka berenang menuju ke pantai Bungurun Timur mengikuti arus gelombang laut. Tubuh Mai Lamah timbul tenggelam di permukaan air laut, karena keberatan oleh kandungannya dan ditambah pula dengan gelang-cincin, kalung lokit (liontin emas), dan subang emas yang melilit di tubuhnya. Untungnya, ia masih bisa berpegang pada tali pinggang suaminya yang terbuat dari kulit kayu terap yang cukup kuat, sehingga bisa selamat sampai di pantai Bunguran Timur bersama suaminya. Namun, malang nasib istri saudagar kaya yang kedekut itu, bumi Bunguran tidak mau lagi menerimanya. Saat itu, angin pun bertiup kencang disertai hujan deras. Petir menyambar-nyambar disusul suara guntur yang menggelegar. Tak berapa lama kemudian, tubuh Mai Lamah menjelma menjadi batu besar dalam keadaan berbadan dua. Lama-kelamaan batu besar itu berubah menjadi sebuah pulau. Oleh masyarakat setempat, pulau tersebut dinamakan “Sanua” yang berarti satu tubuh berbadan dua. Sementara emas dan perak yang melilit tubuh Mai Lamah menjelma menjadi burung layang-layang putih atau lebih kenal dengan burung walet. Hingga kini, Pulau Bunguran terkenal sebagai pulau sarang burung layang-layang putih itu.
* * *



ASAL MULA NAMA IRIAN

 

Dahulu kala, di kampung sopen, biak barat tinggal sebuah keluarga yang memiliki beberapa anak laki-laki. Salah satu anak tersebut bernama mananamakrdi. Ia sangat dibenci oleh saudara-saudaranya karena seluruh tubuhnya dipenuhi kudis, sehingga siapa pun tak tahan dengan baunya. Maka, saudara-saudaranya selalu meminta mananamakrdi tidur di luar rumah. Jika manana­­­­makrdi melawan, tak segan-segan saudara-saudaranya akan menendangnya keluar hingga ia merasa kesakitan.
Suatu hari, saudara-saudaranya sudah tak tahan dengan bau kudis itu. Maka, mananamakrdi diusir dari rumah. Dengan langkah gontai, mananamakrdi berjalan ke arah timur. Sesampai di pantai, diambilnya satu perahu yang tertambat. Diarunginya laut luas hingga ia menemukan sebuah darat­an yang tak lain adalah pulau miokbudi di biak timur.
Ia membuat gubuk kecil di dalam hutan. Setiap hari ia pergi memangkur sagu untuk mencukupi kebutuhan makannya. Selain itu, ia juga membuat tuak dari bunga kelapa. Kebetulan di hutan itu terdapat beberapa pohon kelapa yang dapat disadapnya. Setiap sore, ia memanjat kelapa, kemudian memotong manggarnya. Di bawah potongan itu diletakkan ruas bambu yang diikat. Hari berikutnya, ia tinggal mengambil air nira itu kemudian dibuat tuak. Suatu siang, ia amat terkejut, nira di dalam tabungnya telah habis tak bersisa. Mananamakrdi sangat kesal. Malam itu ia duduk di pelepah daun kelapa untuk menangkap pencurinya. Hingga larut malam pencuri itu belum datang. Menjelang pagi, dari atas langit terlihat sebuah makhluk memancar sangat terang mendekati pohon kelapa tempat mananamakrdi bersembunyi. Makhluk itu kemudian meminum seluruh nira. Saat ia hendak lari, mananamakrdi berhasil menangkapnya. Makhluk itu meronta-ronta.
“siapa kamu?” Tanya mananamakrdi.
“aku sampan, si bintang pagi yang menjelang siang. Tolong lepaskan aku, matahari hampir menyingsing,” katanya memohon.
“sembuhkan dulu kudisku, dan beri aku seorang istri cantik,” pinta mananamakrdi.
“sabarlah, di pantai dekat hutan ini tumbuh pohon bitanggur. Jika gadis yang kamu inginkan sedang mandi di pantai, panjatlah pohon bitanggur itu, kemudian lemparkan satu buahnya ke tengah laut. Kelak gadis itu akan menjadi istrimu,” kata sampan. Mananamakrdi kemudian me­lepaskan sampan.
Sejak itu setiap sore mananamakrdi duduk di bawah pohon bitanggur memperhatikan gadis-gadis yang mandi. Suatu sore, dilihatnya seorang gadis cantik mandi seorang diri. Gadis itu tak lain adalah insoraki, putri kepala suku dari kampung meokbundi. Segera dipanjatnya pohon bitanggur. Kulitnya terasa sakit bergesekan dengan pohon bitanggur yang kasar itu. Diambilnya satu buah bitanggur, dan dilemparnya ke laut.
Bitanggur itu terbawa riak air dan mengenai tubuh insoraki hingga ia merasa terganggu. Dilemparnya buah itu ke tengah laut. Namun, buah itu kembali terbawa air dan mengenai insoraki. Kejadian itu berlangsung berulang-ulang hingga insoraki merasa jengkel. Ia kemudian pulang.
Beberapa hari kemudian, insoraki hamil. Kejadian aneh di pantai ia ceritakan kepada orangtuanya. Tentu saja orangtuanya tak percaya. Beberapa bulan kemudian, insoraki melahirkan seorang bayi laki-laki. Saat lahir, bayi itu tak menangis, namun tertawa-tawa. Beberapa waktu kemudian, diadakan pesta pemberian nama. Anak itu diberi nama konori. Mananamakrdi hadir dalam pesta itu. Saat pesta tarian berlangsung, tiba-tiba konori berlari dan menggelendot di kaki mananamakrdi. “ayaaah ...,” teriaknya. Orang-orang terkejut. Pesta tarian kemudian terhenti.
Akhirnya, isoraki dan mananamakrdi dinikahkan. Namun, kepala suku dan penduduk kampung merasa jijik dengan mananamakrdi. Mereka pun meninggalkan kampung dengan membawa semua ternak dan tanamannya. Jadilah kampung itu sepi. Hanya mananamakrdi, insoraki, dan konori yang tinggal. Suatu hari, mananamakrdi mengumpulkan kayu kering, kemudian membakarnya. Insoraki dan konori heran. Belum hilang rasa heran itu, tiba-tiba mananamakrdi melompat ke dalam api. Spontan, insoraki dan konori menjerit. Namun ajaib, tak lama kemudian mananamakrdi keluar dari api itu dengan tubuh yang bersih tanpa kudis. Wajahnya sangat tampan. Anak dan istrinya pun gembira. Mananamakrdi kemudian menyebut dirinya masren koreri yang berarti pria yang suci. Beberapa lama kemudian, mananamakrdi mengheningkan cipta, maka terbentuklah sebuah perahu layar. Ia kemudian mengajak istri dan anaknya berlayar sampai di mandori, dekat manokwari.
Pagi-pagi buta, anaknya bermain pasir di pantai. Dilihatnya tanah berbukit-bukit yang amat luas. Semakin lama, kabut tersibak oleh sinar pagi. Tampak pegunungan yang amat cantik. Tak lama ke­­mudian matahari bersinar terang, udara menjadi panas, dan kabut pun lenyap.
“Ayah ... Irian. Iriaaan,” teriak konori. Dalam bahasa biak, irian berarti panas.
“Hai, anakku, jangan memekik begitu. Ini tanah nenek moyangmu,” kata mananamakrdi.
“Iya, ayah. Maksud konori, panas matahari telah menghapus kabut pagi, pemandangan di sini indah sekali,” kata Konori.
Konon, sejak saat itu wilayah tersebut disebut dengan nama irian. Air laut yang membiru, pasirnya yang bersih, bukit-bukit yang menghijau, dan burung cendrawasih yang anggun dan molek membuat irian begitu indah.

Penulis: Daryatun
Sumber :Buku 366 Cerita Rakyat Nusantara




ASAL MULA NAMA PULAU MADURA

Di sebuah pulau tanpa nama, tepatnya di Jawa Timur. Berdirilah sebuah kerajaan yang di pimpin oleh Raja Singka. Raja Singka punya seorang anak laki-laki yang tampan dan perkasa. Anak laki-laki itu bernama JIRA yang artinya perkasa.
Suatu hari Raja Singka bermimpi, dalam mimpi itu berkata, “Wahai Singka suatu hari kerajaamu akan hancur dan rakyatmu akan mati. Carilah madu berwarna merah dan putih yang dipegang oleh seorang gadis berambut hitam legam, bibirnya merah seperti darah dan kulitnya putih nan awan”. Raja Singka terbangun.
“Siapakah dia ? dan apakah maksud dari mimpiku ini??” pagi harinya, Raja Singka menyuruh pengawalnya untuk memanggil Ciek Piek. Dia adalah peramal kerajaan yang mandraguna.
“Ada gerangan apa Raja memanggil saya?”
Lalu raja singka menceritakan semua mimpinya..
“Apa yang harus aku lakukan??”, Tanya Raja Singka
“Raja harus memenuhi permintaan dalam mimpi itu jika tidak, itu akan benar-benar terjadi”, jawab Ciek Piek.
Raja Singka benar-benar khawatir mendengar perkataan peramalnya itu, karena ramalannya selalu benar. Raja singka lalu mengadakan sayembara secara besar-besaran, bahkan Raja Singka ikut turun tangan dalam sayembara itu.
“Siapa saja gadis yang memiliki madu berwarna merah dan putih, akan saya angkat menjadi putri kerajaan dan akan saya nikahkan dengan putra saya sendiri, Pangeran Jira”, kata Raja Singka panjang lebar. Semua gadis tertarik untuk mengikuti sayembara itu baik gadis-gadis dalam kerajaan hingga rakyat jelata. Tapi semua itu sia-sia, tak ada satu gadispun yang memiliki madu berwarna merah dan putih itu. Jikapun ada, tapi madu berwarna merah dan putih yang palsu.
Terpaksa Pangeran Jira harus turun tangan. Pangeran Jira keluar dari kerajaan dengan meninggalkan sepucuk surat.

Kepada ayah handa
Raja Singka
Ayah handa, maafkan jira telah meninggalkan kerajaan ini tanpa pamit. Nanda berjanji akan mendapatkan madu berwarna merah dan putih itu demi kerajaan dan rakyat ini walaupun itu harus mengorbankan nyawa nanda sendiri.
Pangeran Jira terus berkelana tanpa arah, hingga akhirnya tiba di sebuah sungai. Di sungai itulah Pangeran Jira berhenti untuk menghilangkan rasa lelahnya dan juga untuk membasuh mukanya.
“Hai manusia! Tolong bantu aku”, seru seekor ikan mas
“Siapa itu??”, tanya Pangeran Jira.
“Ini aku, ikan emas di depanmu!”, jawab ikan itu.
“Hah, kamu bisa bicara?”, kata pangeran jira.
“Tentu saja, sekarang tolong singkirkan jala ini dari tubuhku. Aku berjanji akan mengabulkan segala permintaanmu dengan syarat hanya satu permintaan saja”, kata ikan emas.
“Baiklah ”, jawab pangeran Jira seraya menyingkirkan jala menjauh dari tubuh ikan emas itu.
“Terimakasih, lalu apa yang akan kau minta dari aku?”, tanya ikan itu
“Apakah kamu tau seorang gadis berambut hitam legam, bibirnya merah seperti darah, dan kulitnya putih nan awan yang memiliki madu berwarna merah dan putih??”, kata pangeran Jira panjang lebar.
“Ya tentu saja. Tapi untuk menuju tempatnya itu, kamu harus melewati beberapa rintangan”, jawab ikan emas
“Apa rintangan itu??”, tanya Pangeran Jira penuh penasaran.
“Kamu harus melewati sungai berduri dan dua ular raksasa yang melindungi gadis itu”, jawab ikan emas.
“Terimakasih, sekarang aku harus pergi”, kata Pangeran Jira kepada ikan emas.
“Tunggu! Hati-hati!!”, kata ikan emas.
Pangeran Jira lalu melanjutkan perjalanannya. Hingga akhirnya dia sampai di sungai berduri yang dikatakan ikan emas kepadanya.
“Hah, bagaimana aku bisa melewati sungai ini??”, kata Pangeran Jira.
“Hei, siapa itu??”, kata kakek-kakek tua keluar dari goa yang tak jauh dari sungai berduri itu.
“Aku adalah Jira”, jawab Pangeran
“Kenapa kau ingin melewati sungai berduri ini?”, tanya kakek tua itu
“Saya ingin mencari madu berwarna merah dan putih”, jawab Pangeran Jira.
“Untuk apa kau mencari madu itu ??”, tanya kakek tua itu
“Saya harus menyelamatkan kerajaan dan rakyat, karena ayah handa bermimpi jika tidak mendapatkan madu itu. Kerajaan kami akan hancur dan rakyat akan mati,” kata Pangeran Jira
“Walaupun itu akan merenggut nyawamu sendiri?,” tanya kakek tua
“Ya, tentu saja demi rakyat dan kerajaan kami,” jawab pangeran
“Kau benar-benar tulus, baiklah aku akan membantu,” kata kakek tua itu, lalu di pergi menuju goa.
“Peganglah keris ajaib ini, jika kau bertemu dengan 2 ulat raksasa yang melindung gadis itu keluarkanlah keris ini! Dan untuk melewati sungai berduri ini, tetap jalan seperti biasa tapi kau harus tetap melihat keris itu. Jika ada yang memanggilmu jangan kau menoleh hingga kau tiba di tepi sebrang sana. Jika kau menoleh kaki kudamu akan merasa kesakitan,” kata kakek tua itu panjang lebar.
“Terimakasih kek,” kata Pangeran Jira
Pangeran Jira melanjutkan perjalanannya, dia terus berjalan walaupun ada yang memanggilnya. Hingga ia tiba di tepi sebrang sungai berduri itu.  Dan melanjutkan perjalanannya, ia melihat rumah mungil yang di jaga oleh dua ular raksasa. Ia mendekati rumah mungil itu.
“Hai ular raksasa bolehkah aku menemui gadis yang kau lindungi itu?” tanya pangeran jira
“Siapa kau,?” Kata ular jantan raksasa balik bertanya.
Pangeran Jira lalu mengeluarkan keris pemberian kakek tua itu. Dan tanpa bertanya lagi ular itu mempersilahkan Pangeran Jira masuk. Pangeran Jira bertemu dengan Putri Rara yang dimaksud mimpi itu, berambut hitam legam, bibirnya merah seperti darah dan kulitnya putih nan awan. Dan sejak pertama kali melihat Putri Rara, Pangeran Jira jatuh cinta kepadanya.
“Kenalkan saya Jira, apakah benar anda yang memiliki madu berwarna merah dan putih itu??,” Tanya Pangeran Jira.
“Saya Rara, ya benar saya yang memilik madu itu. Untuk apa anda mencari madu itu, dan dari mana anda tau bahwa sayalah yang memilikinya??,” Tanyan Putri Rara
“Saya tau itu dari mimpi ayah handa saya, dalam mimpi itu berkata agar mencari madu yang berwarna merah dan putih jika tidak kerajaan kami akan hancur dan rakyat kami juga akan mati,” Kata Pangeran Jira panjang lebar. Putri Rara lalu menuju kamarnya untuk mengambil madu itu.
“Ambillah madu ini,” kata Putri Rara seraya menyuruh Pangeran Jira untuk mengambilnya.
“Terimakasih, maukah kamu ikut dengan ku menuju kerajaanku dan menjadi istriku??,” kata Pangeran Jira.
“Aku tidak mau menolak jika madu ini yang mempertemukan kita,” jawab Putri Rara.
Pangeran Jira lalu membawa Putri Rara menuju kerajaan. Sesampainya di kerajaan, Pangeran Jira dan Putri Rara pun menikah.
“Karena yang menemukan dan memberi madu ini adalah Putraku Jira dan Putri Rara, hingga kita semua selamat. Maka aku memberi nama Kerajaan dan Pulau ini MADURA”

COACHING DALAM PENDIDIKAN

A. Pendahuluan            Senin, 1 Februari 2021 merupakan hari bersejarah bagi pendidikan Indonesia. Pada hari itu Menteri Pendidikan dan K...