Aspek
Bunyi dalam Teks Puisi
Rasmian, Curnia 2012
1. Pendahuluan
Dalam puisi, bunyi
berfungsi untuk memperdalam ucapan, menimbulkan bayangan angan yang jelas,dan
suasana yang khusus (Pradopo, 1997: 22). Apalagi dalam sastra romantik (abad
ke-18 s.d 19) dan aliran simbolis, para penyairnya ingin menciptakan puisi yang
mendekati musik; merdu bunyinya dan berirama kuat. Lebih lanjut, teori simbolisme
(Slametmuljana, 1956:57 dalam Pradopo, 1997: 22) menyatakan bahwa; (1) setiap
kata itu menimbulkan asosiasi dan menciptakan tanggapan di luar arti yang
sebenarnya, (2) untuk mencapai asosiasi, dapat menggunakan gaya bahasa, (3)
tugas puisi adalah mendekati kenyataan dengan cara tidak perlu memikirkan arti
katanya melainkan mengutamakan suara, lagu, irama, dan rasa yang timbul
karenanya dan tanggapan-tanggapan yang mungkin dibangkitkannya.
Bagaimanapun pentingnya
anasir bunyi/musik dalam puisi, puisi tetap berbeda dengan musik
(Slametmuljana, 1956: 61 dalam Pradopo, 1997: 32). Bunyi kata tidak sanggup
menjelmakan perasaan girang, sedih, gundah, murung, dll sekuat musik. Bunyi
kata hanya dapat digunakan untuk memberi sugesti tentang suara riang dan sedih.
Bunyi kata lepas dari artinya tidak dapat memberikan suasana sedih dan gembira
seperti suara musik.
2.
Pembahasan
Di dalam puisi, bunyi kata
bertugas sebagai simbol arti, orkestrasi, peniru bunyi (onomatope), lambang suara (klanksymboliek),
dan kiasan suara (klankmetaphoor)
(Slametmuljana, 1956: 61 dalam Pradopo, 1997: 32). Onomatope dapat menimbulkan tanggapan yang jelas dari kata-kata yang
tidak menunjukkan adanya hubungan dengan hal yang ditunjuk. Klankmetaphoor tidak begitu banyak
digunakan dalam puisi. Lambang rasa
banyak digunakan oleh penyair dalam sajak-sajaknya. Lambang rasa dihubungkan
dengan suasana hati (Slametmuljana, 1956: 72 dalam Pradopo, 1997: 33).
Suasana hati yang
ringan, riang dapat dilukiskan dengan bunyi vokal e dan i yang terasa ringan,
tinggi, dan kecil. Misalnya pada kata-kata; sepi, kering, seni, pekik, perih,
detik, rintik, gerimis, renik, terik, dll. Konsonan b-d-g-z-v-w dan vokal a, o,
dan u terasa berat dan rendah yang dapat menyatakan perasaan sedih, gundah, dan
murung. Misalnya pada kata-kata; gajah, gunung, gulung, salung, guruh, aduh,
seru, debur, gaung, raung, dll.
Unsur kepuitisan bunyi
yang lain ialah sajak (rima). Sajak ialah pola estetika bahasa yang berdasarkan
ulangan suara yang diusahakan dan dialami dengan kesadaran (Slametmuljana,
1956:75). Sajak digunakan untuk mempertinggi mutu dan menimbulkan pengertian.
Sajak dapat berupa ulangan suara yang diusahakan dengan penuh kesadaran.
Dalam kepuisian di
Indonesia, terdapat sajak akhir, sajak dalam, sajak tengah, aliterasi, dan
asonansi. Asonansi dan aliterasi berfungsi untuk memperdalam rasa selain untuk
orkestrasi dan memperlancar ucapan. Asonansi dan aliterasi banyak digunakan
oleh Amir Hamzah. Sajak akhir mengandung ekspresi apabila dapat membantu
melahirkan dan melancarkan imajinasi dari penyairnya. Dengan demikian, sajak
dapat memberikan dan memperkuat kepuitisan apabila mengandung hakikat ekspresi dan
daya evokasi.
Sajak sebagai sarana
estetika dibantah oleh aliran ekspresionis. Menurut aliran ekspresionis, sajak
dapat menghalangi penjelmaan angan yang harus timbul oleh ucapan yang spontan
keluar dan tepat (Slametmuljana, 1956: 93). Akibatnya, timbul sajak-sajak bebas
yang tidak mementingkan pola sajak pada bagian akhir. Tokohnya antara lain
Chairil Anwar.
Perkembangan
selanjutnya, pemakaian bunyi dan persajakan dihidupkan kembali sesudah tahun
1950. Perbedaannya, tidak semata-mata memperhatikan pembuatan pola-pola bunyi
yang teratur. Bunyi digunakan sebagai orkestrasi, menimbulkan bunyi musik yang
merdu, dan disesuaikan dengan anasir-anasir kepuitisan yang lain. Apabila bunyi
menghalangi ekspresi, dapat ditinggalkan. Asrul Sani, Sitor Situmorang, Toto
Sudarto Bachtiar, W.S Rendra merupakan penyair-penyair yang mempergunakan unsur
bunyi dengan baik sehingga sajak-sajaknya kedengaran merdu, kaya orkestrasi,
dan melodius.
Kreasi penulisan sastra
tidak dapat dilepaskan dari penggunaan bahasa dengan berbagai bentuk
manipulasinya berupa unsur kebahasaan. Unsur kebahasaan tersebut meliputi
bunyi, kata, kalimat, maupun hubungan dalam satuan lain yang lebih besar
(Aminuddin, 1995: 125). Dalam penulisan puisi, intensitas pemanipulasian bunyi
sangat tinggi dan dalam penulisan prosa fiksi, yang dominan adalah
pemanipulasian kalimat sebagai dialog ( Aminuddin, 1995:125). Unsur kebahasaan
yang dipakai oleh pengarang dan penyair tidak dapat dilepaskan dari konteks
keberadaan penutur sesuai dengan karakteristik zamannya ( Aminuddin, 1995: 125)
sehingga perbedaan zaman juga ikut menentukan perbedaan ciri karya sastranya.
Dalam perkembangannya,
bunyi dimanfaatkan sebagai sarana penciptaan suasana maupun kesamaran hubungan
semantis (Aminuddin, 1995: 129). Misalnya pada puisi Sutardji Calzoum Bachri
bunyi lebih penting daripada arti atau penampikan kekuatan kata atau bahasa
sebagai alat estetik satu-satunya (Aminuddin, 1995: 129). Di tengah
keterbatasan bahasa, gaya dapat membuka peluang penutur mengatasi keterbatasan
bahasa sebagai sarana ekspresi.
Pemahaman bunyi dalam
teks sastra dalam konteks kajian Stilistik
meliputi:
1. memahami bunyi sebagai unsur yang
terpisah dan memelajari ciri hubungannya
dengan unsur lain dalam satuan teksnya,
2. bunyi
dalam teks sastra keberadaannya bukan disikapi sebagai benda melainkan sebagai
tanda yang secara asosiatif berperan sebagai unsur dalam merealisasikan
gagasan, suasana, dll. yang terkait dengan tujuan dan motif penuturnya,
3. kajian
bunyi dalam karya sastra tidak dapat dilepaskan dari hubungan fungsionalnya
dengan unsur lain dalam satuan sistem tandanya, hubungan fungsionalnya dengan
tujuan dan motif penutur, dan efek yang ditimbulkannya pada pembaca (Aminuddin,
1995: 132).
Cara lain yang dapat
digunakan untuk mengkaji pemahaman bunyi dalam teks sastra dalam konteks kajian
Stilistik, yaitu;
1. pemenggalan
hubungan antar larik atau enyambemen,
2. penggunaan
tanda baca titik atau huruf besar di awal urutan kata,
3. penggunaan
enyambemen yang disertai oleh
penggunaan tanda baca koma,
4. penggunaan
tanda titik dua maupun tanda pisah (Aminuddin, 1995: 136).
Penggunaan
bunyi dalam karya sastra, khususnya puisi memiliki beberapa ciri antara lain;
1. paduan
bunyi vokal dari kata yang berbeda, baik itu dikuti oleh konsonan yang sama
atau berbeda dalam satuan larik yang sama yang lazim disebut asonansi,
2. perulangan
satuan bunyi pembentuk kata dalam larik yang sama yang lazim disebut
mesodiplosis,
3. paduan
bunyi konsonan pada akhir kata dalam larik yang sama, baik itu diawali oleh
vokal yang sama atau berbeda yang lazim disebut konsonansi,
4. paduan
bunyi konsonan pada awal kata dalam satuan larik yang sama yang lazim disebut aliterasi,
5. paduan
bunyi konsonan pada akhir larik yang
berbeda tetapi berurutan dan diawali oleh vokal yang sama yang lazim disebut
rima,
6. paduan
bunyi vokal pada akhir larik yang berbeda tetapi berurutan, baik itu diawali
oleh konsonan yang sama atau berbeda yang lazim disebut rima vokal,
7. paduan
bunyi vokal pada akhir larik yang berbeda tetapi diselingi oleh larik yang
diakhiri oleh bunyi vokal yang berbeda,
8. bunyi
suprasegmental meliputi penyendian, penjedaan, tempo, dan intonasi yang
ditandai lewat cara penulisan dan tipografi (Aminuddin, 1995: 147).
Efek
manipulasi bunyi dalam teks sastra dapat mengakibatkan:
1. efek
keindahan yang terjadi akibat adanya paduan bunyi yang memberikan unsur
musikalitas,
2. gambaran
dunia acuan tertentu secara imajinatif
yang tertampil lewat penciptaan anomatopoeia,
3. gambaran
arti tertentu sejalan dengan gambaran makna yang dinuansakan kata-kata
pembentuk paduan bunyinya,
4. gambaran
suasana tertentu sebagaimana tertampilkan lewat ciri artikulasi, bentuk, dan
cara penulisan,
5. gambaran
hubungan kata atau unsur pembentuk teks sastra secara paradigmatis,
6. gambaran
kemungkinan pemilahan satuan-satuan hubungan sintagmatis yang dapat
dianalogikan sebagai satuan kalimat maupun paragraf,
7. gambaran
gejala yang bersifat khas dan baru sesuai dengan etos penciptaan yang
melatarbelakangi kreasi penciptaan yang dilakukan pengarangnya,
8. memberi
horison lain untuk mencoba keluar dari keterbatasan bahasa sebagai wahana
ekspresi sejalan dengan motif maupun tujuan penuturnya (Aminuddin, 1995: 155).
Cara
penggunaan bunyi dapat digunakan untuk menandai; (1) ciri teks yang terkait
dengan ciri intensionalitas pengarangnya, (2) ciri referensialitas yaitu ciri
karya sastra sebagai gejala komunikasi yang memiliki objek tuturan, (3) ciri keberterimaan
dari penikmat karya sastra tersebut, (4) ciri kohesifitas ditandai oleh
kesatuan hubungan unsur pembentuk teks sastra sebagai kesatuan yang muncul
secara serempak, (5) ciri koherensifitas yaitu kesatuan hubungan konfigurasi
gagasan yang ditampilkan lewat sistem tandanya, (6) ciri informativitas yaitu
kebermaknaan teks sebagai sarana penyampaian pesan, dan (7) ciri
intertekstualitas merujuk pada ketergantungan dan hubungan pemahaman suatu teks
dengan teks lainnya.
4.
Kajian
Puisi Berjudul Seribu Masjid Satu Jumlahnya karya Emha Ainun Najib dengan Menggunakan
Aspek Bunyi
Puisi
berjudul Seribu Masjid Satu Jumlahnya
karya Emha Ianun Najib yang dianalisis dalam makalah ini merupakan
salah satu puisi yang terkumpul
dalam buku Seribu Mesjid Satu Jumlahnya: Tahajjud Cinta Seorang Hamba yang
diterbitkan oleh penerbit Mizan Bandung tahun 1990. Dalam buku tersebut termuat
lima puluh judul puisi. Puisi ini dipilih dengan pertimbangan bahwa puisi
tersebut dianggap puisi yang paling menarik. Hal tersebut masuk akal, buktinya
penerbit memilih judul puisi tersebut sebagai judul buku antologi puisi
tersebut.
Puisi ini sebenarnya merupakan sembilan judul puisi. Hal ini terlihat
dari penggunaan kata satu, dua, tiga sampai sembilan yang diletakkan dibagian
awal bait sebagai tanda pergantian judul. Seribu Masjid Satu Jumlahnya Satu
terdiri atas dua bait, Seribu Masjid Satu Jumlahnya Tiga terdiri atas satu bait,
Seribu Masjid Satu Jumlahnya Satu terdiri atas tiga bait, Seribu Masjid Satu
Jumlahnya Empat terdiri atas dua bait, Seribu Masjid Satu Jumlahnya Lima
terdiri atas tiga bait, Seribu Masjid Satu Jumlahnya Enam terdiri atas dua
bait, Seribu Masjid Satu Jumlahnya Tujuh terdiri atas tiga bait, Seribu Masjid
Satu Jumlahnya Delapan terdiri atas tiga bait, Seribu Masjid Satu Jumlahnya
Sembilan terdiri atas empat bait. Sehinggga jumlah seluruhnya menjadi dua puluh
empat bait.
Dalam makalah ini akan diulas aspek bunyi dan efek yang ditimbulkkannya.
Berikut ini data aspek bunyi dalam puisi Seribu Masjid Satu Jumlahnya.
a)
Aspek Bunyi ( Asonansi dan Konsonansi)
Pemanfaatan bunyi dengan
cara lain dapat pula dilakukan, yaitu dengan cara mengulang pemakaian bunyi.
Pengulangan bunyi itu berupa pengulangan bunyi yang sama. Paduan
bunyi konsonan pada akhir kata dalam larik yang sama, baik itu diawali oleh
vokal yang sama atau berbeda yang lazim disebut konsonansi.
Sedangkan asonansi merupakan pemanfaatan unsur bunyi vokal
secara berulang –ulang dalam satu baris sajak. Paduan bunyi vokal dari kata yang
berbeda, baik itu dikuti oleh konsonan yang sama atau berbeda dalam satuan
larik yang sama yang lazim disebut asonansi.
Tabel 1 Aspek Bunyi Asonansi dan Konsonansi Puisi Seribu Masjid Satu
Jumlahnya.
Bait
|
Bunyi
Dominan
|
Temuan
Data
|
Vokal
|
Konsonan
|
Ke-1
|
[a] [u] [i]
|
-
|
Dua,
macamnya, satu, ruh, di, berdiri, di, hati
|
Ke-2
|
[u] [a]
|
[n]
|
Kalau, ruh,
batu ;kalau, hantu ; kepada, bisa ; badan, didikan ;
|
Ke-3
|
[a]
|
|
dua,
macamnya ;
|
Ke-4
|
[a]
|
|
antara, ada,
tiada
|
Ke-5
|
[a] [i]
|
|
Di,
hati ;jiwa, sukma ;membisikkanya, allah, taala ;kita,-nya,
di,di ;diajri, menggali
|
Ke-6
|
[a] [i]
|
|
Memasuki,
sunyi, tanpa, tanpa, warna
|
Ke-7
|
[a]
|
[n]
|
temboknya,
karena ;bisa, kerena, asma,-Nya, kita ; dengan, ketakjuban
|
Ke-8
|
[a]
|
[k]
|
ketika,
gentingnya ;gempa dindingnya ; bisa, membidiknya ; politik,
tak
|
Ke-9
|
[a]
|
|
kita, bawa,
mana-mana ; kita, bawa, sepeda, kota ; tanpa, mencopetnya
|
Ke-10
|
[a]
|
|
dada,
cakrawala ; para, penguasa, betapa, kerdilnya ; semesta, raya
|
Ke-11
|
[a]
|
[n]
|
Jika,
kita ;kuasa, para, kita ; kita,-nya ; mereka, hanya,
kita ; terjun, genggaman
|
Ke-12
|
[a]
|
[n]
|
Dua,
macamnya ; mungkin, kuburan
|
Ke-13
|
[a] [u]
|
|
Seribu,
seribu ; cinta, -nya
|
Ke-14
|
[a]
|
|
Dua,
macamnya ; hanya, punya, pertama ; segera, semesta ; karena,
kiblatnya, hanya, berhala
|
Ke-15
|
[a]
|
[n]
|
Mereka,
kedua ; sehingga, kakinya ; berkeliaran, gentayangan
|
Ke-16
|
[a]
|
[t]
|
maka,
waspada ; dua, jumlahnya ; syariat, hakekat ; tarikat,
makrifat
|
Ke-17
|
[a]
|
[d] [h]
|
niscaya,
hanya, belaka, jumlahnya ; masjid,masjid ; tujuh,sejarah ;
ukhuwah, islamiyah
|
Ke-18
|
[i]
|
[h] [t]
|
Suami,
istri ; jumlah, sebuah, sunah ; rakaat, shalat
|
Ke-19
|
[a]
|
|
Para,
bercuriga
|
Ke-20
|
|
[n]
|
Pesan,
ubun-ubun ; tagihan, depan, cicilan
|
Ke-21
|
[u] [a]
|
[n]
|
Seribu,
satu ; ketika, kepada ; peradapan, kebuntuan
|
Ke-22
|
[a]
|
[h] [n]
|
Digemgamnya,
dunia ; sejumlah, allah, tumbuh, sejarah ; melainkan, dengan,
kepemimpinan
|
Ke-23
|
[a]
|
[h] [n]
|
Kepada,
berjuta ; kita, hayya ; allah, kalah ; muadzin,
mengumandangkan
|
Puisi
“Seribu
Masjid Satu Jumlahnya” secara keseluruhan
didominasi dengan adanya vocal /a/ /i/
dan
/u/. Hal ini terlihat dari data pada tabel di atas vokal
/a/terdapat pada bait 1,2,3,4,5,6,7,8,9,10,11,12,14,15,16,17, dan 19. Sedangkan
vocal /i/ ada di bait 1,5,6, dan 10, serta vocal /u/ ada di bait 1, 2, 13, dan
14. Berdasarkan hal di atas asonansi dalam puisi ini didominasi oleh volak /a/,
/i/, /u/.
Asonansi dalam puisi ini secara keseluruhan
menciptakan efek estetika. Misalnya saja pasa bait pertama penggunaan kata dua, macamnya, satu, ruh, di, berdiri,
di, hati menimbukan efek bunyi yang merdu menyerupai musik, sehingga menimbulkan efek keindahan
dalam bait ini. Sedangkan penggunaan kata kita,
bawa, mana-mana ; kita, bawa, sepeda, kota ; tanpa, mencopetnya pada
bait kesembilan menimbulkan efek suasana bersemangat. Hal tersebut terutama
didukung pilihan kata sekolah, kantor, pasar dan tamasya di baris kedua bait
kesembilan.
Sedangkan bunyi konsonan yang dominan yaitu bunyi
/n/
dan /h/. Vokal /n/ terdapat di bait 1, 7, 11, 12, 15, 20, 21,
22, dan 23, sedangkan vocal /h/ terdapat di bait 17, 18, 22, dan 23. Meski
tidak dominan konsonan /d/, /k/ dan /t/ juga ditemukan di puisi ini. Konsonan
/d/ terdapat di bait 17, konsonan /k/ terdapat di bait 8 dan konsonan /t/
terdapat di bait 16 dan 17.
Seperti halnya
asonansi, konsonansi pada puisi ini memimbulkan efek tertentu dalam puisi.
Misalnya saja penggunaan konsonan /n/ pada terjun, genggaman bait kesebelas menimbulkan efek suasana
yang semangat. Senada dengan penggunaan /n/ di bait kesebelas, penggunaan /n/
di bait lima belas juga menimbulkan efek penekanan makna tertentu. Hal tersebut
dapat ditemukan pada penggunaan /n/ dalam kata berkeliaran dan gentayangan di baris kedua. Hal ini dikuatkan oleh penggunaan /n/ di baris ketiga dan keempat
pada kata pijakan dan berjalan.
b)
Aspek Bunyi (Rima)
Rima adalah pengulangan bunyi dalam puisi yang berfungsi
untuk membentuk musikalisasi atau orkestrasi. Dengan adanya rima itulah, efek
bunyi, makna yang dikehendaki penyair semakin indah dan makna yang ditimbulkannyapun
lebih kuat; pengulangan bunyi yang berselang, baik di dalam larik sajak maupun
akhir larik sajak yang berdekatan.
Tabel 2 Aspek Bunyi (Rima) Puisi Seribu Masjid Satu Jumlahnya
Bait
|
Rima
|
Temuan
Data
|
Ke-1
|
abcc
|
Macamnya,
badan, berdiri, hati
|
Ke-2
|
abbb
|
Satunya,
batu, hantu, bertamu
|
Ke-3
|
abcc
|
Macamnya,
logam, terperi, sejati
|
Ke-4
|
aaaa
|
bata, mana,
tinggalnya, tiada
|
Ke-5
|
aaaa
|
Bata, sukma,
taala,-nya
|
Ke-6
|
abaa
|
Bata,
bersujud, jiwa, warna
|
Ke-7
|
aaaa
|
Badan, hujan,
ketakjuban, zikirkan
|
Ke-8
|
aaaabaaa
|
Binasa,
warnanya,gentinya, dindingnya, mengabdi, menikamnya, membidiknya,
memenjarakannya
|
Ke-9
|
aaaa
|
Mana,
tamasya, kota, mencopetnya
|
Ke-10
|
aaaa
|
Pendeknya,
cakrawala, kedilnya, raya
|
Ke-11
|
abbb
|
Ruh, kita,
-nya, kita
|
Ke-12
|
abcd
|
Macamnya,
kaku, digenggam, kuburan
|
Ke-13
|
aaaa
|
Kita, sana,
semesta, -nya
|
Ke-14
|
aaaa
|
Macamnya,
pertama, dagingnya, berhala
|
Ke-15
|
abbb
|
Kedua,
gentayangan, pijakan, berjalan
|
Ke-16
|
aabb
|
Waspada,
jumlahnya, hakikat, makrifat
|
Ke-17
|
abcc
|
Masjid,
jumlahnya, sejarah, islamiyah
|
Ke-18
|
aabb
|
Bidah, sunah,
istri, kembali
|
Ke-19
|
aabb
|
Bercuriga,
lainya, khalifah, imamah
|
Ke-20
|
aaaa
|
Dibangun,
didirikan, ubun-ubun, cicilkan
|
Ke-21
|
aab
|
Badan,
kebubtuan, kawruh
|
Ke-22
|
aabb
|
Sejarah,
allah, kekuasaan, kepemimpinan
|
Ke-23
|
aaaa
|
Kalah,
nubuwah, langkah, falah
|
Rima yang ditemukan di dalam puisi Seribu Masjid Satu Jumlahnya adalah rima aaaa,
aabb, abcc, abbb, abaa, abcd, aab, dan aaaabaaa. Rima aaaa meupakan rima yang paling sering
muncul dalam puisi tersebut. Rima ini muncul
Sembilan kali yaitu di bait 4, 5, 7, 9, 10, 13, 14, 20, dan 23. Rima
aabb muncul empat kali yaitu di bait 16, 18, 19 dan 22. Rima abbb dan abcc
masing-masing muncul tiga kali yaitu di bait 2, 11, 15 dan 1, 3,
17. Rima abaa, abcd, aab, dan aaaabaaa masing- masing muncul satu kali yaitu di bait 6, 12, 21, dan 8.
Berdasarkan data tersebut dalam puisi
ini rima yang dominan adalah aaaa dan aabb.
Seperti halnya pada aspek asonansi dan konsonansi, aspek rima dalam
puisi ini juga mencipkakan keindahan puisi yang ditulis Emha ini. Sebagai
contoh penggalan berikut.
Masjid
batu bata
Berdiri
di mana-mana
Masjid
sejati tak menentu tempat tinggalnya
Timbul
tenggelam antara ada dan tiada (bait 4).
Pengganaan kata bata,
mana, tinggalnya, dan tiada pada
akhir baris kesatu, kedua, ketiga dan
keempat dengan variasi dan rima pada puisi tersebut
menimbulkan sebuah irama yang menciptakan sebuah irama yang indah.
c)
Aspek Bunyi (Anafora)
Satu lagi cara memanfaatkan bunyi didalam sajak guna menimbulkan unsur
kepuitisan disebut Anafora dan Epifora. Pengulangan bunyi dalam bentuk kata
yang sama pada awal larik disebut Anafora. Sedangkan Epifora adalah penghilangan bunyi dalam bentuk kata yang sama pada
akhir-akhir larik saja. Karena adanya persamaan bentuk yang diulang maka
sekaligus pengulangan itu menyangkut pengulangan bunyi yang sama.
Makalah ini hanya
membahas anafora dalam puisi Seribu Masjid Satu Jumlahnya.
Korpus data
1
Masjid itu dua
macamnya
Satu ruh, lainnya badan
Satu di atas tanah berdiri
Lainnya bersemayam di hati (bait 1)
Tak boleh hilang
salah satunya
Kalau ruh ditindas, masjid hanya batu
Kalau badan tak didirikan, masjid hanya hantu
Masing-masing kepada Tuhan tak bisa bertamu
(bait 2)
Masjid batu bata
Berdiri di mana-mana
Masjid sejati tak menentu tempat tinggalnya
Timbul tenggelam antara ada dan tiada
(bait 4)
Masjid itu dua
macamnya
Masjid badan berdiri kaku
Tak bisa digenggam
Tak mungkin kita bawa masuk kuburan
(bait 12)
Seribu masjid
dibangun
Seribu lainnya didirikan
Pesan Allah dijunjung di ubun-ubun
Tagihan masa depan kita cicilkan (bait 20)
Sebagaimana
yang terlihat dalam bait 1, 2, 4, 12, 20 puisi
Seribu Masjid Satu Jumlahnya
meski tadak dominan Emha Ainun Najib mesih menggunakan anaphora untuk
meciptakan keindahan bunyi dalam puisinya. Ketidakdominan penggunaan anaphora
terlihat dari jumlah bait dalam puisi tersebut yang menggunakan anfora. Puisi
tesebut terdiri atas 23 bait, sedangkan anaphora dalam puisi tersebut hanya 5
bait.
Anafora yang digunakan Emha dalam puisi
tersebut selain menimbulkan efek keindahan juga difiungsikan untuk memberikan
penekanan makna. Hal tersebut terlihat pada bait dua puluh. Penggunaan kata
seribu pada baris pertama dan diulang pada baris kedua merupakn upaya penyair
menekankan makna ‘banyak masjid’.
5.
Simpulan
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa
a)
Aspek bunyi dalam karya
sastra merupakan bagian kajian stilistika.
b)
Aspek bunyi dalam karya
sastra dalam konteks kajian stilistika dapat dikaji dari aspek 1) memahami
bunyi sebagai unsur yang terpisah dan
memelajari ciri hubungannya dengan unsur lain dalam satuan teksnya, 2) bunyi dalam teks sastra
keberadaannya sebagai tanda yang secara asosiatif berperan sebagai unsur dalam
merealisasikan gagasan, suasana, dll. yang terkait dengan tujuan dan motif
penuturnya, 3) kajian
bunyi dalam karya sastra tidak dapat dilepaskan dari hubungan fungsionalnya
dengan unsur lain dalam satuan sistem tandanya, hubungan fungsionalnya dengan
tujuan dan motif penutur, dan efek yang ditimbulkannya pada pembaca.
c)
Aspek bunyi
dalam kajian stilistika dapat mengakibatkan 1) efek
keindahan, 2) gambaran dunia acuan
tertentu secara imajinatif,
3)
gambaran arti tertentu, 4) gambaran suasana tertentu, 5) gambaran
hubungan kata atau unsur pembentuk teks sastra secara paradigmatis, 6) gambaran
kemungkinan pemilahan satuan-satuan hubungan sintagmatis yang dapat
dianalogikan sebagai satuan kalimat maupun paragraf, 7) gambaran gejala yang
bersifat khas dan, 8) memberi horison lain
untuk mencoba keluar dari keterbatasan bahasa sebagai wahana ekspresi sejalan
dengan motif maupun tujuan penuturnya.