A. Pendahuluan
Senin, 1 Februari 2021 merupakan hari bersejarah bagi pendidikan Indonesia. Pada hari itu Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud), Nadiem Anwar Makarim meluncurkan Merdeka Belajar Episode 7: Program Sekolah Penggerak, secara daring di Jakarta. Dalam kesempatan itu Mendikbud menyampaikan, “Program ini dirancang sebagai upaya untuk mewujudkan Indonesia maju yang berdaulat, mandiri, dan berkepribadian melalui terciptanya Pelajar Pancasila yang beriman, bertakwa kepada Tuhan YME, dan berakhlak mulia, mandiri, bernalar kritis, kreatif, bergotong royong, dan berkebinekaan global” Selain itu, program ini bertujuan mengembangkan SDM sekolah. SDM yang dikembangkan pada program ini mulai dari siswa, guru, sampai kepala sekolah. Kualitas siswa diukur melalui pencapaian hasil belajar di atas level yang diharapkan dengan menciptakan lingkungan belajar yang aman, nyaman, inklusif, dan menyenangkan. Melalui pembelajaran yang berpusat pada murid, Mendikbud melakukan perencanaan program dan anggaran yang berbasis pada refleksi diri, refleksi guru, sehingga terjadi perbaikan pada pembelajaran.
Hasil yang diharapkan dari perbaikan pembelajaran adalah peningkatan kualitas hasil pembelajaran. Untuk meningkatkan kualitas hasil pembelajatan tersebut, peran kepala sekolah dan guru sangtlah strategis. Kepala sekolah dan guru merupakan dua factor yang dapat meningkatkan kualitas hasil pembelajaran. Menurut Leithwood, dkk (2006) kepala sekolah dan guru memiliki peran besar dalam peningkatan kualitas pembelajaran. Hal tersebut sebagaimana bagan berikut ini.
Sumber :Leithwood, dkk. 2006Di pihak lain, guru memiliki peran menciptakan pebelajaran yang berkualitas. Pembelajaran berkualitas adalah pebelajaran yang mampu menciptakan situasi belajar yang menyenangkan serta sesuai dengan kebutuhan murid dengan hasil belajar yang tinggi. Berbagai upaya dapat dilakukan untuk mencapai hal di atas. Misalnya guru mengajar dengan berbagai metode, media, dan strategi. Salah satu strategi yang dapat dipakai seorang guru adalah coaching. Coaching merupakan salah satu materi pada Program Guru Penggerak (PGP). Pemilihan materi tersebut didasarkan pada alasan bahwa coaching merupakan salah satu alternatif yang dapat dilakukan agar meningkatkan hasil belajar siswa. Apa yang dimaksud coaching? Bagaimana coaching dilaksanakan? Apa dampak coaching bagi murid? Berikut ini penjelasannya.
B. Pengertian Coaching
Secara etomologi, coaching berasal dari bahasa Inggris coach yang berarti pelatih, sedang coaching berarti pelatihan. Jika kita melihat sejarah coaching, istilah coaching sangat dekat dengan dunia olah raga. Dalam bidang olah raga, seseorang yang disebut sebagai coach adalah orang yang memiliki otoritas mengajari atlet. Coach adalah orang yang memberi instruksi ketika melatih (Yuliawan, 2011). Perubahan istilah terjadi setelah terbitnya sebuah karya dalam bidang coaching berjudul “The Inner Game of Tennis”. Timothy Gallwey, seorang pelatih tenis, menyatakan bahwa proses melatih seorang atlet profesional tidak bisa dijalankan secara instruksional. Menurut Gallwey (1974) atlet adalah orang yang telah memiliki pengetahuan dan keterampilan yang cukup untuk menampilkan performa optimal. Gallwey (1974) melanjutkan, seorang atlet tidak dapat memunculkan kemampuannya disebabkan apa yang disebutnya sebagai ‘inner game’, yaitu kondisi mental dan emosional seorang atlet.
Berdasarkan hal tersebut, Gallwey mengubah gaya melatihnya dari proses memberi instruksi menjadi proses memfasilitasi, dari memberi petunjuk menjadi mengajukan pertanyaan (Hall & Duval, 2004). Definisi coaching salah satunya disampaikan oleh Grant dalam (Wijayanti, dkk, 2020:9), coaching merupakan sebuah proses kolaborasi yang berfokus pada solusi, berorientasi pada hasil dan sistematis, dimana coach memfasilitasi peningkatan atas performa kerja, pengalaman hidup, pembelajaran diri, dan pertumbuhan pribadi dari coachee. Berdasarkan pendapat tersebut, coaching merupakan kegiatan kolaboratif antara coach dengan coachee. Bentuk kolaborasi yang dimaksud adalah komunikasi antara coach dan coachee dalam sebuah diskusi yang berfokus pada solusi dari kesulitan atau masalah coachee yang dilaksananakan secara sistematis dengan tujuan meningkatkan performa kerja sang coachee. Ahli lain, Whitmore, menjelaskan coaching sebagai kunci pembuka potensi seseorang untuk untuk memaksimalkan kinerjanya. Coaching lebih kepada membantu seseorang untuk belajar dari pada mengajarinya (Wijayanti, dkk, 2020:9).
Berdasarkan beberapa sumber di atas, penulis menyimpulkan definisi coaching. Coaching dalam makalah ini dimaknai sebagai pembinaan atau pembelajaran. Coaching merupakan suatu pendekatan kemitraan antara dua orang atau lebih yang salah satu pihaknya disebut coach dan pihak lainnya disebut coache (peserta didik). Peran pembina dalam program coaching adalah untuk membimbing dan menggali potensi serta kemampuan yang dimiliki oleh peserta didik untuk mencapai tujuan yang telah dirumuskan sebelumnya. Setiap coache memiliki potensi dan kemampuan yang berbeda-beda, disinilah peran coach menjadi penting untuk menigkatkan kemampuan, motivasi, bakat dan minat dari seorang coachee.
Istilah coaching, selama ini tumpang tindih dengan istilah mentoring dan konseling. Ketiga istilah tersebut memang memiliki beberapa persamaan dan perbedaan. Untuk memhamami ketiga istilah tersebut, mari kita lihat table berikut ini.
C.Coaching dalam Konteks Pendidikan
Penjelasan mengenai coaching dalam
dunia pendidikan tidak terlepas dari filosofi pendidikan yang disampaikan oleh
Ki Hajar Dewantara. Menurut Ki Hajar Dewantara tujuan pendidikan itu ‘menuntun’
tumbuhnya atau hidupnya kekuatan kodrat anak sehingga dapat memperbaiki lakunya
(Wijayanti, dkk, 2020:11). Berdasarkan pandangan tersebut pendidik merupakan
seorang coach. Coach memiliki peran menuntun.
Apa yang dimaksud menuntun? Dalam
Kamus Besar Bahasa Indonesia menuntun dimaknai membimbing dan menunjuk.
Membimbing dalam pengertian di atas adalah mengarahkan dengan cara menggandeng
tangan. Sedangkan menunjuk dimaknai mengarahkan ke jalan yang benar. Oleh
karena itu (Wijayanti, dkk, 2020:11) menjelaskan peran seorang coach (pendidik)
adalah menuntun segala kekuatan kodrat (potensi) agar mencapai keselamatan dan
kebahagiaan sebagai manusia maupun anggota masyarakat.
Selanjutnya (Wijayanti, dkk, 2020:11) menjelaskan,
dalam proses coaching, murid diberi kebebasan namun pendidik sebagai ‘pamong’
dalam memberi tuntunan dan arahan agar murid tidak kehilangan arah dan
membahayakan dirinya. Seorang ‘pamong’ dapat memberikan ‘tuntunan’ melalui pertanyaan-pertanyaan
reflektif agar kekuatan kodrat anak terpancar dari dirinya.
Dikaitkan dengan
pendidikan saat ini, coaching merupakan praktik implementasi merdeka belajar.
Di era merdeka belajar, murid diberikan
kebebasan dalam proses pembelajaran di sekolah. Namun demikian seorang
guru diberikan kewajiban menuntun siswa agar potensi yang dimiliki siswa dapat
berkembang secara optimal menurut kodratnya.
Siswa dapat berkembang
secara optimal menurut kodratnya manakala guru menerapkan pembelajaran berdiferensiasi
dan pembelajaran sosial emosiaonal. Melalui pembelajaran bersiferensiasi dan
soasial emosional, kebutuhan individu dapat terlayani. Demikian halnya dengan coaching,
coaching merupakan praktik layanan pembelajaran yang berfirensiasi sebab
melalui coaching kebutuhan individu siswa dapat dilayani.
Masih terkait dengan
kemerdekaan belajar, proses coaching merupakan proses untuk mengaktivasi kerja
otak murid. Pertanyaan-pertanyaan reflektif dapat membuat murid melakukan
metakognisi. Selain itu, pertanyaan-pertanyaan dalam proses coaching juga
membuat murid lebih berpikir secara kritis dan mendalam. Yang akhirnya, murid
dapat menemukan potensi dan mengembangkannya (Wijayanti, dkk, 2020:12).
Coaching, sebagaimana telah dijelaskan
pengertiannya dari awal memiliki peran yang sangat penting dalam dunia
pendidikan. Data penelitian yang dilakukan Ummayyah (2018) program coaching di
bimbingan belajar Smartplus Indonesia berpengaruh terhadap nilai try out SBMPTN
bidang bahasa Indonesia siswa kelas XII IPA SMA.
Coaching juga berpengaruh terhadap
proses pembelajaran yang menyenangkan. Hal ini disampaikan (Yahya, Rachmi Nursifa dan Triana Lestari,
2021) bahwa hasil dari berbagai temuan memperlihatkan metode coaching di dalam pembelajaran mampu
menjadikan pengajaran yang diberikan oleh guru lebih menyenangkan dan
memerdekakan peserta didik.
Mengingat pentingnya proses coaching ini sebagai alat untuk memaksimalkan potensi murid, guru hendaknya memiliki keterampilan coaching. Keterampilan coaching seperti apa yang perlu dimiliki guru? Menurut International Coach Federation (ICF), ada empat kompetensi dasar bagi seorang coach (Wijayanti, dkk, 2020:11). Empat kompetensi tersebut yaitu a) keterampilan membangun dasar proses coaching, b) keterampilan membangun hubungan baik, c) keterampilan berkomunikasi, dan d) keterampilan memfasilitasi pembelajaran.
D. Keterampilan Membangun Dasar Proses Coachi
Keterampilan membangun dasar proses
coaching meliputi dua aspek yaitu: a) mengikuti pedoman etik, b) membuat
kesepakatan sebelum coaching. Etika adalah ilmu yang membahas perbuatan baik
dan perbuatan buruk manusia sejauh yang dapat dipahami oleh pikiran manusia
seperti prinsip-prinsip moral dan pedoman perilaku. Kesepakatan adalah
perjanjian dan kesepakatan atas aturan main antara coach dengan coachee.
Seorang coach seyogyanya
memahami etika-etika yang berlaku di lingkungan di mana coach sedang melakukan
coaching. Misalnya saja, coach berada di lingkungan pendidikan berbasis pondok
pesantren, maka coach harus memahami kebiasaan-kebiasaan seorang santri, kyai,
hubungna santri dan kyai serta hal-hal yang tabu dilaksanakan oleh santri atau
kyai. Dengan memahami hal-hal tersebut, coach akan lebih optimal dalam
menjalankan tugasnya.
Mengenai kesepakatan, coach seyogyanya juga membuat kesepakan dengan coachee mengenai hak dan kewajiban coach dan coachee. Dengan demikian, baik coach maupun coachee akan dapat memahami posisi masing-masing.
E. Keterampilan
Membangun Hubungan Baik
Coach yang baik adalah coach yang
mampu membangun hubungan baik dengan coachee. Hubungan antara coach dengan
coachee berdampak pada rasa percaya coachee kepada sang coach.
Dalam tahap awal
melakukan coaching, seorang seharusnya membangun sebuah hubungan yang baik dan terbuka. Adanya
pengungkapan diri secara timbal balik juga sangat penting karena seseorang akan
mau membuka diri apabila orang lain juga membuka dirinya. Seseorang akan lebih
tertutup karena ada kemungkinan orang lain dapat mengkhianati kepercayaan atau
menolak orang lain karena adanya fakta yang disembunyikan.
Perasaan tersebut dapat dikurangi apabila orang lain juga mengurangi kerentanan tersebut dengan membuka diri. Coach dapat meningkatkan hubungan dan kepercayaan tersebut melalui hubungan saling terbuka satu sama lain.
F. Keterampilan Berkomunikasi
Berkomunikasi merupakan proses
menyampaikan gagasan, ide kepada orang lain. Pernyataan tersebut sejalan dengan
pandangan A.W. Wijaya sebagaimana dikutip Dwihartanti (2004) komunikasi adalah penyampaian
informasi dan pengertian dari seseorang kepada orang lain. Komunikasi akan
dapat berhasil apabila sekiranya timbul saling pengertian, yaitu jika kedua
belah pihak, si pengirim dan si penerima informasi dapat memahaminya.
Dalam proses coaching, pasti
terjadi sebuah proses komunikasi antara coach dengan coachee. Oleh karena itu
seorang coach seyogyanya memiliki keterampilan berkomunikasi. Pada bagian ini,
dibahas tiga hal berkaitan dengan keterampilan komunikasi yang perlu dipahami
seorang coach. Tiga hal tersebut sebagaimana disampaikan (Wijayanti, dkk,
2020:21-37).
Coach yang baik menurut
Wijayanti (2020) memiliki tiga keterampilan dasar, yaitu: a) komunikasi yang
memberdayakan/ komunikasi asertif, b) pendengar aktif, c) bertanya efektif. Pertama,
komunikasi yang memberdayakan. Untuk memahami komunikasi yang memberdayakan,
perlu disampaikan beberapa jenis komunikasi. Sebagai ilustrasi, Amin berbicara
dengan Ahmad. Ahmad tidak mendengarkan pembicaraan Amin. Beberapa menit
kemudian Ahmad mendengarkan, tetapi tidak merespon pembicaraan Amin.
Jika Anda menjadi Amin,
Apa yang akan Anda lakukan? Bagaimana tanggapan Anda? Situasi yang dialami oleh
Amin merupakan situasi komunikasi yang tidak baik. Komunikasi yang baik,
kuminkasi yang baik ditandai keaktifan kedua belah pihak dalam merespon topik
komunikasi. Jika kita mengalami hal yang demikian, seyogyanya kita meningkatkan
kemampuan kita menjadi seorang komunikator yang asertif.
Untuk memahami makna
komunikasi asertif, perlu dijelaskan beberapa bentuk komunikasi. Menurut
(Wijayanti, dkk, 2020:21), ada tiga tipe orang berkomunikasi, yaitu
berkomunikasi tipe agresif, berkomunikasi tipe pasif dan berkomunikasi tipe
asertif. Komunikasi agresif terjadi manakala komunikator lebih menguasi atau
mendominasi proses komunikasi. Komunikator
agresif akan cenderung mendominasi pembicaraan dan menghakimi permasalahan yang
sedang diskusikan. Umumnya komunikator yang agresif ditunjukkan oleh seorang
pimpinan.
Ada juga
tipe orang yang berkomunikasi dengan gaya pasif. Orang tersebut cenderung diam,
kurang berekspresi dan tidak mau menyuarakan apa yang dirasakan. Orang pasif
akan menerima apa yang dikatakan orang lain atau mengikuti suara mayoritas.
Mereka yang di posisi sebagai staf akan cenderung bersifat pasif. Hal tersebut
terkadang membuat mereka sulit untuk berkembang.
Diantara dua
tipe komunikasi di atas, ada yang disebut sebagai komunikasi asertif.
Komunikasi asertif merupakan komunikasi yang memberdayakan (Wijayanti, dkk, 2020:22). Komunikator asertif adalah seorang komunikator yang
memiliki kepercayaan diri dalam menyampaikan pendapat dan melihat bahwa status
mereka (komunikator dan komunikan) sama sama-sama berhak untuk menyampaikan
pendapat. Komunikasi yang demukian disebut
sebagi komunikasi asertif. Komunikasi yang asertif akan selalu mencari jalan
tengah dalam penyelesaian masalah. Mereka akan berpendapat namun juga belajar
mendengarkan pendapat orang lain. Mereka akan mencari pendapat yang terbaik dan
tepat untuk penyelesaian masalah.
Seorang
coach yang baik, ia akan menjalankan komunikasi dengan coachee dengan
komunikasi asertif. Kedudukan coach dan coachee dipandang mitra yang saling
mebutuhkan.
Kedua, pendengar aktif. Coach
yang baik memiliki keterampilan menjadi pendengar aktif. Coba kita lebih mendalami
makna sebuah proses mendengarkan. Mari kita mendalami perbedaan mendengar dan
mendengarkan. Kegiatan mendengar merupakan proses fisiologis saat gelombang
bunyi sampai kepada telinga manusia. Hal tersebut senada dengan pendapat Moeliono (1988:246),
mendengar diartikan sebagai menangkap bunyi (suara) dengan telinga.
Sementara mendengarkan,
menyangkut penerimaan rangsangan. Pengertian menerima di sini menegaskan bahwa
seseorang dalam aktivitas mendengarkan itu berarti menyerap rangsangan yang diterima
kemudian memprosesnya dengan cara tertentu. Setidaknya selama beberapa waktu,
isyarat yang diterima itu ditahan dan mengalami proses (Martoredjo, 2014).
Berdasarkan penjelasan
tersebut, mendengarkan merupakan sebuah keterampilan yang dapat dipelajari,
terdapat proses mendengar, berpikir, memilih, mengorganisasi, menterjemahkan,
merespon dan mengingat. Intinya mendengarkan bersifat aktif, sementara
mendengar bersifat pasif.
Ketiga, bertanya efektif. Wijayanti, dkk, (2020:33)
memberikan penjelasan bertanya efektif dalam coaching sebagai berikut, bertanya
pada coaching merupakan kemampuan bertanya dengan tujuan tertentu. Bukan
sekedar jawaban singkat yang diharapkan, namun pertanyaan yang diberikan dapat
menstimulasi pemikiran coachee, memunculkan hal-hal yang mungkin belum
terpikirkan sebelumnya, mengungkapkan emosi atau nilai dalam diri dan yang
dapat mendorong coachee untuk membuat sebuah aksi bagi pengembangan potensi
diri.
Menurut Wijayanti, dkk, (2020:33-34) ada enam jenis
pertanyaan yang perlu dikuasai coach, yaitu: a) pertanyaan terbuka, b)
pertanyaan berfokus pada tujuan, c) pertanyaan reflektif, d) pertanyaan
eksploratif, e) pertanyaan mengukur pemahaman, f) pertanyaan aksi.
Berikut ini table tentang keenam pertanyaan di atas.
G. Keterampilan Memfasilitasi Pembelajaran
Saat ini berkembang istilah pendidikan
menggunakan paradigm baru. Istilah
paradigma baru merujuk pada peran guru di kelas atau sekolah. Dulu guru
merupakan subjek pembelajaran atau sering disebut dengan pembelajaran berpusat
pada guru. Saat ini pembelajaran diharapkan berpusat pada siswa. Artinya proses
pembelajaran seyogyanya mengedepankan kepentingan dan kebutuhan siswa. Oleh
sebab itu, kedudukan guru tidak lagi menjadi actor, tetapi guru sebagai
fasilitator.
Guru sebagai fasilitator
artinya guru memfasilitasi proses pembelajaran. Fasilitator bertugas
memfasilitasi kegiatan belajar peserta didik. Sebagai fasilitator guru berperan
memfasilitasi kegiatan pembelajaran dalam rangka mencapai tujuan pendidikan.
Guru sebagai fasilitator tugasnya bukan sekedar mengajarkan pengetahuan
melainkan membina, membimbing, memotivasi serta memberikan penguatan-penguatan positif
kepada peserta didik.
Ada lima indikator
keberhasilan guru sebagai fasilitator, yaitu: 1) Guru menyediakan seluruh
perangkat pembelajaran sebelum pembelajaran dimulai (seperti silabus,
kurikulum, RPP, bahan evaluasi dan penilaian), 2) Guru menyediakan fasilitas
pembelajaran berupa metode, media serta peralatan belajar, 3) Guru bertindak
sebagai mitra, bukan atasan, 4) Guru melaksanakan tugas dan fungsinya yang
telah ditentukan dalam Undang-undang, dan 5) Guru tidak bertindak
sewenang-wenang kepada peserta didik (Wina Sanjaya:2008:42).
Untuk mencapai hal di
atas, seorang guru seyogyanya dapat memerankan diri menjadi seorang coach,
selain sebagi mentor yang baik. Jika guru sudah berberan menjadi coach, maka
guru telah bentindak menjadi fasilitator.
H. Teknik Coaching Model TIRTA
Teknik coaching model TIRTA dijelaskan
dengan panjang lebar oleh Wijayanti, dkk. Wijayanti, dkk, (2020:38-42)
menyatakan bahwa TIRTA dikembangkan dari satu model coaching yang dikenal
sangat luas dan telah diaplikasikan, yaitu GROW model. GROW adalah kepanjangan
dari Goal, Reality,Options dan Will. Pada tahapan 1) Goal (Tujuan): coach perlu
mengetahui apa tujuan yang hendak dicapai coachee dari sesi coaching ini, 2)
Reality (Hal-hal yang nyata): proses menggali semua hal yang terjadi pada diri
coachee, 3) Options (Pilihan): coach membantu coachee dalam memilah dan memilih
hasil pemikiran selama sesi yang nantinya akan dijadikan sebuah rancangan aksi.
Will (Keinginan untuk maju): komitmen coachee dalam membuat sebuah rencana aksi
dan menjalankannya.
TIRTA kepanjangan dari T: Tujuan, I:
Identifikasi, R: Rencana aksi, dan TA: Tanggung jawab.
Tabel 3 Langkah Coaching
Model TIRTA dan Contoh Pertanyaanya.
I. Manajemen Coaching di Sekolah
Coaching memiliki dua fungsi, sebagai
metode menyampaikan materi pembelajaran dan sebagai instrumen manajemen dalam
melakukan monitoring dan evaluasi. Sebagai metode menyampaikan materi
pembelajaran coaching dilakukan guru (coach) kepada siswa (coachee). Sementara
sebagai alat monitoring dan evaluasi, coaching dapat dilakukan oleh pimpinan
sekolah, yayasan, pengawas sekolah dan lain sebagainya.
Menurut Firdaus (tth:
39) prinsip yang harus dipegang oleh seorang Coach dalam konteks pembelajaran
yaitu a)mendengarkan secara aktif apa yang ingin disampaikan oleh cache, b)
memperlakukan hasil diskusi secara rahasia, kecuai jika ada kesepakatan dengan
Coachee untuk membukanya ke public, c)memberi insprasi agar Coachee memiliki
kemauan dan motivasi untuk menemukan sendiri solusi terhadap permasalahannya,
d) mendorong Coachee untuk melihat gambaran besar pengembangan karir dan
peribadinya, e)memberi umpan balik yang jujur, akurat dan konstruktif untuk
menantang perspektif dan kepercayaan Coachee yang sempit dan membantunya untuk
mengeksplorasi berbagai opsi yang dapat digunakan untuk mengatasi
permasalahannya.
Bagian ini hanya akan
mebahas coaching sebagai metode menyampaikan materi pembelajaran. Guru sebagai
coach akan banyak memperoleh gambaran bagaimana coaching dilakukan di kelas.
Beberapa hal yang akan dibahas yaitu a) siswa sebagai coachee, b) pemilihan
waktu coaching, c) pengadminitrasian coaching.
Pertama, siswa sebagai coachee. Coachee adalah
orang yang menerima bantuan dari coach untuk memaksimalkan kemampuannya melalui
proses coaching. Jadi guru harus menyadari bahwa coachee bukanlah siswa yang
bermasalah, bodoh atau nakal.
Kedua, pemilihan waktu coaching. Pemilihan
waktu coaching pembelajaran dapat pilih oleh guru dalam beberapa bentuk
pilihan, yaitu a) dilaksanakan di luar jam intrakurikuler, b) dilaksanakan pada
jam intrakurikuler. Pemilihan waktu
tersebut harus disesuaikan dengan kondisi siswa dan permasalahan yang akan
didiskusikan. Manakala permasalahan yang didiskusikan menyangkut hal-hal yang
bersifat pribadi sebaiknya guru memilih waktu di luar jam intrakurikuler dan
dilaksanakan secara individu. Tetapi jika masalah yang didiskusikan menyangkut masalah
yang bukan rahasia, guru dapat menyelenggarakan coaching kelompok di ruang
kelas. Itu pun harus dihitung penggunaan waktu agar tidak mengganggu target
kurikulum.
Ketiga, pengadminitrasian coaching. Penjelasan
mengenai pengadminitrasian coaching diadopsi dari buku “Pedoman Pembelajaran di
Tempat Kerja" ditulis oleh Muhammad Firdaus, diterbitkan Lembaga
Administrasi Negara RI.
Tahapan coaching dalam
pembelajaran ada tiga langkah: a) Persiapan Coaching, b) Pelaksanaan, c)
Monitoring dan Evaluasi.
Tahap persiapan coaching
meliputi kegiatan a) identifikasi dan pemilihan Coachee, b) penyiapan dan
penandatanganan kontrak komitmen tiga pihak: yang mewakili sekolah, coachee dan
coach sesuai contoh instrument 3, c) untuk memastikan setiap pihak memahami ketentuan,
hak dan kewajiban masing-masing maka perlu ada kerangka acuan kerja yang
minimal memuat 1) mengapa coaching penting diprogramkan, 2) tujuan dan sasaran
program Coaching, 3) hak dan kewajiban masing-masing pihak, 4) durasi dan
jumlah sesi Coaching yang harus dipenuhi, dan 5) pelaporan; d) jika diperlukan
siapkan surat tugas dari kepala sekolah kepada coach dan coachee.
Tahap pelaksanaan
Coaching, pada tahap ini sebaiknya direncanakan pertemuan coaching dengan
beberapa tahapan, misal a) tahap perkenalan, b) tahap coaching berkelanjutan.
Pada tahap perkenalan,
coach dapat melakukan hal-hal berikut ini a) saling berkenalan dan menunjukkan
sikap terbuka dan komitmen untuk bersama-sama menjalani peroses Coaching, b)
menyusun bersama dan menyepakati tata-tertib dan tujuan dari Coaching, c)
menyepakati peran dan tanggung jawab masing-masing, tetapi tetap terbuka untuk
di ditinjau ulang bilamana diperlukan, d) menyepakati target hasil yang ingin
dicapai. Hal ini sangat menentukan efektivitas Coaching dan manfaat yang
diperoleh, e) menyusun dan menyepakati jadwal untuk beberapa sesi kedepan, f)
membicarakan dan menyepakati hal-hal yang harus dirahasiakan, yang hanya boleh
dibuka kepada pihak ketiga jika ada kesepakatan bersama.
Tahap coaching
berkelajutan, tahap ini guru melaksanakan coaching dengan model TIRTA. Lakukan pencatatan coaching pada “ Coaching
Log” sebagimana contoh Instrumen 4.
Coachee juga perlu
menyusun Jurnal Coaching Reflektif untuk merekam dan merefleksikan apa saja
yang dipelajari dari setiap sesi dan bagaimana agar dia dapat memperoleh
pembelajaran secara maksimal pada sesi berikutnya. Format Jurnal Coaching
Reflektif dapat dilihat pada Instrumen 5.
Untuk mengakhiri kegiatan coaching dilaksanakan tahap monitoring dan evaluasi. Pada tahap ini guru melakukan monitoring dan evalauasi keberhasilan coaching. Monitoring dan evaluasi dapat dibantu teman sejawat atau kepala sekolah.
Ikhtisar
Berdasarkan uraian di
atas, dapat disimpuklan sebagai berikut.
- Coaching merupakan suatu pendekatan
kemitraan antara dua orang atau lebih yang salah satu pihaknya disebut coach
dan pihak lainnya disebut coache (peserta didik). Peran pembina dalam program
coaching adalah untuk membimbing dan menggali potensi serta kemampuan yang
dimiliki oleh peserta didik untuk mencapai tujuan yang telah dirumuskan
sebelumnya.
- Coaching dalam dunia pendidikan dapat
dipandang dari dua fungsi, a) coaching sebagai metode pembelajaran, b) coaching
sebagai instrument monitoring dan evaluasi program pendidikan di sekolah.
- Empat kompetensi seorang coach yaitu
a) keterampilan membangun dasar proses coaching, b) keterampilan membangun
hubungan baik, c) keterampilan berkomunikasi, dan d) keterampilan memfasilitasi
pembelajaran.
- Coaching
Model TIRTA merupakan
adopsi GROW model. TIRTA kepanjangan dari T: Tujuan, I: Identifikasi, R:
Rencana aksi, dan TA: Tanggung jawab.
- Tahapan coaching dalam pembelajaran ada tiga langkah: a) Persiapan Coaching, b) Pelaksanaan, c) Monitoring dan Evaluasi.
Daftar Bacaan
Dwihartanti,
Muslikhah. 2004. Komunikasi Yang Efektif
. (Makalah) disampaikan pada kegiatan Pengabdian Kepada Masyarakat Tahun 2004
“Penyuluhan tentang Komunikasi yang Efektif bagi Guru TK di Kecamatan Panjatan.
Firdaus,
Muhammad. Tth. Pedoman Pembelajaran di
Tempat Kerja. Jakarta: Lembaga Administrasi Negara RI.
Leithwood,
dkk. 2006. Learning to Realize Education
Promise. World Bank World Development
Gallwey,
T. 2008. The Inner Game of Tennis.
New York: Random House Trade Paperbacks
Hall,
L. M., & Duval, M. 2004. Meta
Coaching Vol I: Coaching Change. Colorado: Neuro Semantic Publication.
Martoredjo,
Nikodemus Thomas. 2014. Keterampilan
Mendengarkan Secara Aktif dalam Komunikasi Interpersonal. Jakarta: Jurnal Humaniora Vol.5 No.1 April 2014,
hal.501-509.
Moeliono, A. M. 1988. Kamus Besar Bahasa Indonesia.
Jakarta: Balai Pustaka.
Sanjaya,
Wina. 2006. Strategi Pembelajaran
Berorientasi Standar Proses Pendidikan. Jakarta: Kencana.
Siti
Sayyidah Ummayyah. 2018. Pengaruh Program
Coaching (Pembinaan) di Bimbingan Belajar Smartplus Indonesia terhadap Nilai
Try Out (Uji Coba) SBMPTN Bidang Bahasa Indonesia Siswa Kelas XII IPA SMA
(Skripsi). Jakarta: Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu
Tarbiyah dan Keguruan, UIN Syarif Hidayatullah.
Yahya,
Rachmi Nursifa dan Triana Lestari. 2021. Pengaruh
Guru Menyenangkan Melalui Metode Coaching Terhadap Proses Perkembangan Daya
Pikir Anak Sekolah Dasar. Bandung: DWIJA CENDEKIA: Jurnal Riset Pedagogik,
Volume 5 Nomor 2 Tahun 2021.
Yuliawan,
Teddi Prasetya. 2011. Coaching
Psychology: Sebuah Pengantar. Yogyakarta: Buletin Psikologi Fakultas
Psikologi Universitas Gadjah Mada. Volume 19, NO. 2.hal.45 – 54.
Wijayanti,
Murti Ayu, dkk. 2020. Paket
Modul 2, Praktik Pembelajaran yang Berpihak Pada Murid, Modul 2.3 Coaching
(Modul Program Guru Penggerak). Jakarta:
Direktur Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan, Kemendikbud.